Raga mulai disepak lagi oleh Mangngalasa. Naik turun, melayang kian kemari dari pemuda yang satu ke pemuda lain dengan indahnya. Seakan-akan bola rotan itu menurut perintah orang yang menyepaknya.
Seorang pemuda tiba-tiba menyepakkan bola raga kepada Datu Museng. Raga melayang ke arah Datu Museng, segera disambutnya dengan sepakan yang didahului gerakan indah, tapi apa yang terjadi, Datu Museng ternyata hanya menyepak angin. Raga lari meninggalkan gelanggang, dikejar pemuda di sisinya.
Selasa, 09 Februari 2021
Datu Museng dan Maipa Deapati (6):
Datu Museng Dipermalukan, Kakek Adearangang Cabut
Pedang Lidah Buaya
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
Setiba keduanya di pintu gerbang istana,
mereka pun berhenti. Rupanya, gelanggang sudah dibuka. Keduanya menonton orang
yang asyik bermain raga, dari luar pekarangan istana, layaknya seperti tempayan
yang tidak ditimpa air saluran. Tak dipanggil, tidak ditegur dan tiada ajakan.
Pangeran Mengngalasa yang melihat
kehadiran Datu Museng di luar, justru mempersibuk dirinya dengan mempermainkan
raga seenak dan sesuai keahliannya. Penonton kian bersorak, terdengar jerit
manja gadis-gadis rupawan makin riuh. Ia sengaja berbuat demikian, untuk
memberi kesan bahwa kehadiran Datu Museng, tidak diketahuinya.
Dua hal yang menyebabkan I
Mangngalasa bertindak demikian. Pertama,
ia tahu Datu Museng pemuda tampan yang keahliannya bermain raga, kurang
tandingannya. Kedua, ia tahu, pemuda itu cinta kepada tunangannya Maipa Deapati.
Demikian pula sebaliknya, Maipa pun menaruh hati kepada Datu Museng.
Mangngalasa maklum, kedatangan Datu Museng
untuk memenangkan kedua hal tersebut. Dan jika diberi kesempatan, akan
menghancurkan reputasinya sebagai ahli ragai daratan di Lombok bukan saja, tapi
juga bakal merampas tunangannya di depan matanya sendiri dan disaksikan oleh
khalayak yang kini sedang mengelu-elukannya.
Jika hal ini sampai terjadi, rasanya tak
ada lagi celaka di atas celaka. Maka, ia pun meneruskan permainannya tanpa
membuang pandangannya sedikit pun ke pintu gerbang. Melihat ini, kakek
Adearangan mulai tak enak perasaan. Jika tak disabar-sabarkan cucunya, maulah
rasanya ia menyerbu ke dalam gelanggang menghajar anak muda yang sombong itu.
Ketika itu pandangan Datu Museng menyapu
jendela istana. Ia mencari bulan purnama yang mungkin bersembunyi di sana, tapi
tak ditemuinya. Ia hanya melihat bintang-bintang saja yang menhiasi seluruh
jendela, yaitu gadis-gadis cantik sebaya Maipa.
Mengapa gerangan? Bisik hatinya, sambil
melayangkan pandangan sekali lagi, mencari yang dicari jangan sampai terselip
di antara dara-dara ayu yang sedang asyik menonton.
Akhirnya pandangannya melayang ke atas
anjung istana dimana Manggauka Datu Taliwang duduk bersama permaisuri.
Kebetulan Manggauka sedang memandang pula padanya sehingga pandangan mereka
bersirobok.
Datu Museng segera menundukkan kepala
memberi hormat. Manggauka lalu bertanya kepada Mangngalasa; “Siapakah anak muda
di luar itu? Panggillah juga masuk, tampaknya ia berhajat pula masuk gelanggang!”
“Datu Museng, tuanku,” sahut I
Mangngalasa.
“Oh…, kau ajaklah sahabatmu itu!” kata
Manggauka.
“Baik tuanku,” jawab putra Sultan Lombok
sembari dating menjemput Datu Museng dengan hati mengkal di pintu gerbang.
“Silakan saudara masuk gelanggang atas
permintaan Manggauka!” kata Mangngalasa.
“Baiklah, terima kasih atas
keramah-tamahan pangeran,” jawab Datu Museng.
Datu Museng lalu memberi isyarat kakeknya
agar tenang menonton. Ia mengikuti Pangeran Mangngalasa dan mengambil tempat di
antara pemuda-pemuda lainnya.
Raga mulai disepak lagi oleh Mangngalasa.
Naik turun, melayang kian kemari dari pemuda yang satu ke pemuda lain dengan
indahnya. Seakan-akan bola rotan itu menurut perintah orang yang menyepaknya.
Seorang pemuda tiba-tiba menyepakkan bola
raga kepada Datu Museng. Raga melayang ke arah Datu Museng, segera disambutnya
dengan sepakan yang didahului gerakan indah, tapi apa yang terjadi, Datu Museng
ternyata hanya menyepak angin. Raga lari meninggalkan gelanggang, dikejar
pemuda di sisinya.
Melihat hal itu, serentak semua pemuda
yang berada di gelanggang tertawa riuh. Datu Museng disoraki dan dicemooh oleh
barisan dara ayu di jendela atas.
Permainan berhenti sejenak. Para pemuda
masih terpingkal-pingkal memegang perutnya. I Mangngalasa apa lagi. Tertawa
membahana. Ia mengakak laksana sedang melihat peristiwa yang sangat lucu.
Memang inilah suasana yang menguntungkannya. Ia berharap, Datu Museng terpukul
oleh ejekan itu, tapi rupanya Datu Museng turut tersenyum gembira, laksana
sedang membadut.
Sadar bahwa harapannya tak kesampaian,
Mengngalasa berhenti tertawa. Sambil memaki di dalam hati, ia kembali menyepak
raga dan mempermainkannya sebentar. Kemudian, diiringi senyuman mengejek, ia
menyepak lagi raga ke arah Datu Museng. Dan, sang Datu menyambutnya dengan
sepakan kosong, seperti semula.
Pekarangan istana kini serasa hendak
meledak. Teriakan dan ejekan sambung-menyambung.
“Keluarkan saja Datu Museng dari
gelanggang, ia merusak permainan. Pangeran Mangngalasa! Hentikan saja badut
itu!” teriak penonton.
Mendengar teriakan itu, kakek Adearangang
yang berada di luar gelanggang, sudah tidak tahan lagi. Amarahnya menjilan
menyaksikan cucunya diperlakukan demikian. Tanpa berpikir panjang, ia mencabut
pedang lidah buaya lalu menyerbu masuk ke gelanggang permainan mengejar
pemuda-pemuda yang sedang asyik tertawa.
Para pemuda yang menyaksikan kakek Adearangang mengacung-acungkan pedang sembari menyerbu ke arah mereka, serentak lari sipat-kuping, putih tapak kaki, mencari selamat. (bersambung)
------
Kisah sebelumnya:
Datu Museng dan Maipa Deapati (5): Maggauka di Sumbawa Mengadakan Gelanggang Permainan Sepakraga
Datu Museng dan Maipa Deapati (4): Lekas Pulang Menjemput Dindamu Tambatan Hati
Datu Museng dan Maipa Deapati (7): Senyum Datu Museng Membakar Piala Hati Maipa