Muhammad melihat berkobarnya api permusuhan pada mata setiap orang dari masing-masing kabilah Quraisy. Keadaan ini benar-benar genting. Kalau salah mengambil keputusan, akan terjadi pertumpahan darah di antara kabilah-kabilah itu. Muhammad berpikir sejenak, lalu dia berkata, “tolong bawakan sehelai kain.”
----------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 12 Oktober 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (24):
Ka’bah
Dipugar, Kabilah Berselisih, Muhammad Jadi Penengah
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Membangun
Ka’bah
Dalam pengerjaan Ka’bah
orang-orang Quraisy dibagi menjadi empat bagian. Setiap kabilah masing-masing
mendapat pekerjaan satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali.
Pemugaran Ka’bah dimulai
dengan memindahkan patung Hubal dan patung kecil lainnya. Setelah itu,
pekerjaan dilanjutkan dengan membersihkan pelataran dan membongkar dinding
serta fondasi. Muhammad ikut terlibat dalam pekerjaan yang berlangsung
berhari-hari itu.
Ada sebuah batu fondasi
berwarna hijau yang tidak bisa dibongkar dengan cara apa pun. Karena itu, batu
itu mereka biarkan. Selanjutnya, didatangkanlah batu-batu granit biru dari
bukit sekitarnya. Sebuah bahan pencampur semen bernama bitumen yang didatangkan
dari Syria pun mulai digunakan.
Pemugaran Ka’bah ini
sebenarnya lebih menyerupai perbaikan hasil karya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Fondasi Ka’bah
ditinggikan sampai empat hasta ditambah satu jengkal atau sekitar dua meter.
Dalamnya diuruk tanah menjadi lantai yang sulit dicapai air apabila banjir
datang kembali. Bersamaan dengan itu, pintu di sisi timur laut pun diangkat
setinggi fondasi.
Dinding dinaikkan sampai
18 hasta. Saat itulah Ka’bah mulai diberi atap bekas kapal yang kandas itu. Sebuah
tangga untuk naik turun juga disiapkan. Kini Ka’bah bebas dari banjir. Isinya
terlindungi dari hujan, panas dan tangan jahil pencuri.
Pembangunan berjalan
lancar sesuai dengan rencana sampai dinding tembok mencapai tinggi satu
setengah meter dan tiba saatnya batu hitam, Hajar Aswad, ditempatkan kembali ke
tempatnya semula di sudut timur.
Karena ini merupakan
upacara suci penuh kehormatan, berebutlah setiap kabilah untuk melaksanakannya.
Kabilah Abdu Dar merasa lebih berhak daripada kabilah lain sehingga kedua
kelompok saling beradu mulut sampai suasana menjadi semakin panas.
Di tengah keadaan itu,
muncul Abu Umayyah bin Al Mughirah. Ia adalah orang tua yang dihormati dan
dipatuhi. Ia pun mengajukan sebuah usul yang disetujui oleh semua pihak.
“Serahkanlah putusan ini
di tangan orang yang pertama kali memasuki pintu Shafa,” kata Abu Umayah.
Hajar
Aswad
Ternyata yang datang
pertama kali dari pintu Shafa adalah Muhammad. Orang-orang pun bersorak lega.
“Ini dia Al Amin,” seru
mereka.
“Dia adalah orang yang
bisa dipercaya. Kami yakin dia bisa memecahkan persoalan ini. Kami akan
menerima putusannya,” ujar yang lain.
Orang-orang Quraisy pun
menceritakan persoalan yang mereka alami. Muhammad yang saat itu belum berumur
30 tahun, memandang mereka dengan matanya yang teduh dan bijaksana.
Muhammad melihat
berkobarnya api permusuhan pada mata setiap orang dari masing-masing kabilah
Quraisy. Keadaan ini benar-benar genting. Kalau salah mengambil keputusan, akan
terjadi pertumpahan darah di antara kabilah-kabilah itu.
Muhammad berpikir sejenak,
lalu dia berkata, “tolong bawakan sehelai kain.”
Kain pun segera
diberikan. Muhammad mengambil dan menghamparkan kain itu. Dia lalu mendekati
Hajar Aswad. Diangkatnya batu hitam itu dan diletakkan di tengah-tengah.
“Hendaknya, setiap ketua
kabilah memegang ujung kain ini,” kata beliau lagi.
Kemudian, para ketua
kabilah memegang ujung kain dan bersama-sama mengangkat Hajar Aswad. Di tempat
Hajar Aswad semula berada. Muhammad mengangkat dan meletakkannya kembali.
Semua pihak merasa amat
puas dengan keputusan Muhammad yang adil itu. Demikianlah, pada waktu muda.
Rasulullah telah menjadi orang yang cerdas dan bijaksana.
Putra
Putri Muhammad
Khadijah adalah wanita
teladan yang terbaik. Beliau wanita yang penuh kasih, setia, dan menyerahkan
seluruh hidupnya untuk suami tercinta. Khadijah juga wanita yang subur. Setelah
lima belas tahun berumah tangga, Khadijah melahirkan enam orang anak. Mereka
adalah Ruqayyah, Zainab, Ummi Kultsum, Fatimah, Qasim dan Abdullah.
Namun, Qasim dan Abdullah
wafat ketika masih bayi, sedangkan keempat anak perempuan yang lain tetap hidup
hingga dewasa. Kita dapat membayangkan betapa sedihnya Muhammad dan Khadijah
kehilangan kedua putra mereka.
Ketika pulang ke rumah
dan duduk di samping Khadijah, Muhammad sering melihat kesedihan di wajah
istrinya itu. Saat itu, mempunyai anak laki-laki bagi masyarakat jahiliah
adalah hal yang amat penting dan dianggap sebagai sebuah kebanggaan.
Sebaliknya, mempunyai
anak perempuan adalah hal yang amat memalukan, bahkan banyak orang yang memilih
mengubur bayi perempuannya hidup-hidup dari pada membesarkannya.
Tentu saja Muhammad dan
Khadijah tidak merasa malu memiliki anak-anak perempuan. Mereka menyayangi
semua anak mereka tanpa pilih kasih. Apalagi putri bungsu mereka, Fatimah, yang
saat itu masih berusia lima tahun, anak cantik yang sedang lucu-lucunya. Hanya
saja kehilangan dua anak laki-laki yang masih bayi merupakan derita yang berat
bagi orangtua mana pun.
Kekayaan
Terbesar
Rasulullah pernah berkata bahwa kekayaan terbesar adalah istri yang salehah. Khadijah adalah kekayaan terbesar Rasulullah pada saat-saat paling sulit dalam hidup beliau. (bersambung)
Kisah sebelumnya: