REUNI. Suatu hari, seorang mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dikenal bijak bestari, mengundang sepuluh wartawan yang pernah “dididiknya” dalam berorganisasi belasan tahun sebelumnya. Ke-10 wartawan tersebut sudah berhasil dalam kariernya masing-masing. Ada yang jadi pemimpin redaksi, ada pula yang jadi pemilik media.
-----------
PEDOMAN
KARYA
Jumat,
18 Desember 2015
Anekdot:
PWI, Cangkir, dan Kopi
Suatu hari, seorang mantan Ketua Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) yang dikenal bijak bestari, mengundang sepuluh wartawan
yang pernah “dididiknya” dalam berorganisasi belasan tahun sebelumnya. Ke-10 wartawan
tersebut sudah berhasil dalam kariernya masing-masing. Ada yang jadi Pemimpin
Redaksi, ada pula yang jadi pemilik media.
Mereka pun berjabat-tangan, berpelukan
satu sama lain, bernostalgia, dan tertawa-tawa. Mereka bernostalgia tentang
pengalaman ketika masih sama-sama aktif sebagai pengurus PWI, termasuk ketika mereka
berselisih karena berbeda pendapat dalam menjalankan program kerja PWI.
Mereka bercerita pengalaman dan kesuksesan
masing-masing. Mereka juga bercerita tentang seringnya mereka stres menghadapi
berbagai masalah, mulai dari masalah dalam pekerjaan, sampai dengan masalah yang
mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika obrolan sedang hangat-hangatnya,
sang mantan Ketua PWI diam-diam ke dapur dan muncul kembali dengan membawa tiga
belas cangkir serta sebuah teko besar berisi kopi panas nan harum.
Ke-13 cangkir yang dibawa sang mantan ketua, terdiri atas cangkir yang bagus nan mahal, hingga cangkir plastik
biasa nan murah.
Tanpa tunggu dipersilakan, para wartawan
yang diundang itu pun masing-masing memilih cangkir yang ada, mengisi
cangkirnya dengan kopi, dan kemudian minum kopi sambil tetap ngobrol
kesana-kemari.
Ketika suasana agak hening, sang mantan
Ketua PWI kemudian berbicara dengan tenang sambil tersenyum.
“Saya bangga kepada kalian semua, tetapi
ada satu hal yang perlu saya ingatkan,” katanya.
Para wartawan terdiam sambil menatap satu sama lain. Tentu saja mereka penasaran dan kemudian
menunggu kelanjutan ucapan sang mantan ketua.
“Apakah kalian sadar dengan apa yang
baru saja kalian lakukan?” tanya sang mantan ketua.
Mendengar pertanyaan itu, para wartawan kembali
saling menatap satu sama lain sambil mengangkat bahu.
“Lihatlah. Kalian mengambil cangkir sesuai
selera kalian. Kalian memilih cangkir yang bagus dan mahal. Tiga cangkir yang
tersisa semuanya adalah cangkir murahan dan sederhana,” lanjut sang mantan
Ketua PWI.
Ia kemudian mengatakan bahwa wajar-wajar
saja kalau cangkir yang diambil disesuaikan dengan selera masing-masing dan
kemudian menyisakan cangkir yang sederhana dan murah.
Sang mantan ketua kemudian melanjutkan
dengan mengatakan bahwa wajar-wajar saja kalau kita memilih yang terbaik,
termasuk mengupayakan yang terbaik dalam kehidupan kita.
“Begitu pun ketika kita semua masih bersama-sama
menjadi pengurus PWI. Kita mengupayakan melakukan yang terbaik untuk organisasi
dan untuk anggota. Kita mengupayakan melakukan dan memilih yang terbaik untuk
kehidupan kita masing-masing, tetapi sebenarnya justru di situlah letak
masalahnya. Itulah yang membuat kita stres,” ujarnya.
Para wartawan kembali saling tatap dan
penasaran ingin mendengarkan kelanjutan omongan sang mantan ketua.
“Sebenarnya cangkir yang kita pilih itu
tidak menambah atau mengurangi rasa kopi. Kita memakai cangkir yang sederhana
dan murah, atau memakai cangkir yang bagus dan mahal, rasa kopi tetap begitu.
Rasa dan kualitas kopi tetap sama. Kalau kita fokus pada cangkir atau cara,
maka kita akan direpotkan masalah-masalah perbedaan bentuk dan kualitas cangkir
atau cara dalam mengurus organisasi. Kita lupa pada tujuan awal berorganisasi.
Kita lupa keinginan untuk menikmati sedapnya rasa kopi,” tuturnya.
Para wartawan pun mulai menyadari diri
dan menerka-nerka arah pembicaraan sang mantan Ketua PWI.
“Yang kita inginkan sebenarnya adalah
kopi, buka cangkirnya, tetapi mengapa kita berlomba-lomba, bahkan bertengkar
soal cangkir. Jika hidup itu adalah kopi, sedangkan pekerjaan, uang, dan posisi
dalam organisasi atau di tengah masyarakat adalah cangkir, maka sesungguhnya cangkir
itu hanyalah alat untuk menampung kehidupan. Apa dan bagaimana pun jenis
cangkir yang kita miliki, tidak membentuk atau mengubah kualitas hidup kita,"
ujarnya.
Jika kita menaruh perhatian pada
cangkirnya saja, lanjutnya, maka kita akan direpotkan oleh masalah-masalah
perbedaan bentuk dan kualitas dari cangkir tersebut, sehingga lupa dan bahkan
tidak sadar tujuan awal dari kegiatan atau kehidupan kita yaitu untuk menikmati
sedapnya kopi.
“Ingat! Orang yang paling bahagia itu
tidak memiliki segala yang terbaik di dalam hidupnya, tapi menjadikan segala
yang dimilikinya menjadi terbaik. Sebenarnya, apa yang ada di dunia, tidak akan
ada habisnya jika dikejar. Yang tidak benar adalah ketika kita malah fokus pada
mengejar apa yang kita belum miliki, lalu mengabaikan yang sudah diberikan di dalam
hidup kita. Jadi, nikmatilah kopinya, bukan cangkirnya,” kata sang mantan Ketua
PWI sambil tersenyum. (Asnawin Aminuddin,
hasil kreasi setelah membaca kisah cangkir dan kopi di internet)
Jadi,
BalasHapusnikmatilah kopinya,
bukan cangkirnya....