PESAN. Tragedi kemanusiaan di Rohingya, Myanmar, merupakan satu di antara deretan tindakan teroris terkejam dalam sejarah perdamaian dunia, berpotensi mengoyak kerukunan umat beragama antarbangsa maupun kerukunan umat beragama dalam suatu bangsa. Oleh karena itu, segenap umat beragama di Indonesia patut meresapi pesan-pesan penting dari tragedi Rohingya. -- Dahlan Lama Bawa --
--------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
09 September 2017
Pesan dari
Tragedi Rohingya
Oleh:
Dr Dahlan Lama Bawa MAg
(Dosen
Unismuh Makassar & Pengamat Sosial Kemasyarakatan)
Tragedi kemanusiaan di Rohingya, Myanmar, merupakan satu di antara deretan tindakan teroris terkejam dalam
sejarah perdamaian dunia, berpotensi mengoyak kerukunan umat beragama antarbangsa
maupun kerukunan umat beragama dalam suatu bangsa. Oleh karena itu, segenap
umat beragama di Indonesia patut meresapi, minimal 10 pesan penting dari
tragedi Rohingya berikut ini.
Pertama; Pesan Kerukunan. Kerukunan umat beragama sangat diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka mewujudkan
perdamaian dunia.
Islam memberikan perhatian yang luar
biasa terhadap kerukunan hidup antar-umat beragama, bahkan sejak semula
Rasulullah Muhammad SAW membangun peradaban Islam di Madinah, tata kelola
pluralitas masyarakat dan manajemen sosial menjadi catatan tinta emas dalam
sejarah kerukunan yang diakui dan diapresiasi oleh dunia.
Kedua; Pesan Perdamaian. Setiap agama mengajarkan tentang
kedamaian dan keselarasan hidup, realitas menunjukkan pluralitas agama bisa
memicu pemeluknya saling berbenturan dan
terjadinya konflik.
Selama ini konflik selalu diidentikkan dengan
kekerasan, sebagaimana dijelaskan oleh Johan Galtung, bahwa konflik dapat
diartikan sebagai benturan fisik dan verbal di mana akan muncul penghancuran, tetapi
konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan permasalahan yang menghasilkan
penciptaan penyelesaian baru, sedangkan kekerasan adalah situasi
ketidaknyamanan yang dialami aktor di mana ketidaknyamanan adalah apa yang
seharusnya tidak sama dengan apa yang ada, bisa juga berupa suatu sikap yang
ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara fisik, verbal, atau pun
psikologi.
Ketiga; Pesan Faktor Konflik. Konflik bisa terjadi antar-umat
beragama dalam suatu bangsa atau bahkan konflik antar-bangsa yang disebabkan
berbagai faktor.
Menurut Mochammad Qasim Mathar, faktor-faktor penyebab
konflik itu adalah keengganan, takabbur (merasa diri lebih hebat dari yang
lain), dan sikap tidak mau mengakui dan menerima kebenaran atau menolak sesuatu
yang nyata-nyata benar.
Faktor keengganan dan merasa diri lebih hebat biasanya
melahirkan konflik antar-agama bahkan antar-bangsa, di sinilah sangat
diperlukan rasa saling menghargai dan membuka ruang dialog antar-agama
sebagaimana yang dilansir oleh Hans Kung,
tidak ada perdamaian antar-bangsa tanpa perdamaian antar agama, tidak ada
perdamaian antar-agama tanpa dialog antar agama-agama.
Krisis atau konflik pada masa kini bukanlah hasil dari
perkembangan jangka pendek, namun merupakan akibat dari krisis-krisis yang
berkepanjangan di masa lalu.
Keempat; Pesan Piagam Madinah.
Lima belas abad yang lalu sebelum banyak masyarakat dunia mengenal konstitusi
tertulis, tepatnya tahun pertama Hijriyah pada 622 M, Rasulullah Muhammad SAW telah
membuat Piagam Madinah yang dikenal sebagai konstitusi tertulis pertama di
dunia.
Penyebutan Konstitusi Pertama di Dunia
cukup beralasan, sebab Konstitusi Aristoteles Athena yang ditulis di Papirus, ditemukan
oleh seorang misionaris Amerika di Mesir tahun 1890, sedangkan Piagam Madinah (Madinah Charter) adalah Konstitusi
Tertulis pertama mendahului Marga Carta, yang berarti Piagam Besar, disepakati
di Runnymede, Surrey pada tahun 1215.
Landasan bagi Konstitusi Inggris ini
pula yang menjadi rujukan Amerika dalam membuat konstitusi yang selama ini
dianggap oleh Barat sebagai “dokumen penting dari dunia barat” dan menjadi
model/rujukan di banyak negara di dunia.
Membaca dokumen di atas, maka dapat
dihitung bahwa kehadiran Piagam Madinah 6 abad mendahului Marga Carta dan 12
abad mendahului konstitusi Amerika Serikat ataupun Prancis.
Kandungan Piagam Madinah berisi 47
pasal, 23 pasal membicarakan tentang hubungan umat Islam, yaitu antara kaum
Anshar dan kaum Muhajirin, sedangkan 24 pasal membicarakan tentang hubungan
Islam dengan umat lain, termasuk Yahudi.
Kelima; Pesan Sejarah
Islam. Tercatat dalam sejarah Islam, para orientalis pun mengakui bahwa telah
terjadi hubungan di antara orang-orang Kristian dan orang-orang Islam dari
Bangsa Arab di atas dasar Piagam Madinah.
Nabi Muhammad SAW sendirilah yang telah
mengadakan satu kesepakatan dengan suku-suku selain Islam dan berjanji
bertanggungjawab untuk melindungi mereka.
Beliau juga telah memberi kebebasan
untuk mengerjakan syariat agama mereka dan seterusnya beliau telah memberi kebebasan
kepada pegawai-pegawai gereja untuk menikmati hak-hak dan kuasa-kuasa
tradisional mereka yang lama dalam suasana aman dan tenteram.
Dari contoh-contoh mengenai sikap
toleransi yang ditunjukkan oleh orang-orang Islam terhadap orang-orang Arab
yang beragama Kristian di abad pertama Hijriah dan terus berlanjut pada
generasi-generasi yang silih berganti selepasnya, dapatlah kita pahami bahwa
suku-suku Kristian itu telah memeluk agama Islam dengan pilihan bebas dan
kerelaan hati mereka sendiri.
Di samping itu kedudukan orang-orang
Arab Kristian yang hidup di zaman sekarang di tengah-tengah masyarakat Islam
merupakan satu bukti yang jelas tentang sikap toleransi orang-orang Islam.
Keenam; Pesan Konflik Peradaban.
Krisis berkepanjangan itu antara lain karena konflik peradaban sebagaimana
tesis Samuel P Huntington dalam Vita Fitria (UNY), bahwa benturan peradaban akan menjadi sumber
konflik, di mana peradaban terdiferensiasi oleh unsur sejarah, bahasa, budaya,
tradisi, dan yang lebih penting lagi adalah agama.
Perbedaan agama melahirkan perbedaan
dalam memandang hukum manusia dengan Tuhan, individu dan kelompok, warga dan
negara, hak dan kewajiban, kebebasan dan sebagainya.
Perbedaan ini tidak mesti melahirkan
konflik, dan konflik bukan berarti munculnya kekerasan. Namun selama
berabad-abad dalam catatan sejarah, peradaban inilah yang menimbulkan konflik yang paling keras
dan berkepanjangan.
Huntington melihat bahwa sumber utama
konflik dalam dunia baru bukanlah ideologi, atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya
dalam manivestasi yang lebih luas adalah peradaban, suatu unsur yang membentuk
pola kohesi, distintegrasi dan konflik. Tesis
Samuel P Huntington tersebut, cukup beralasan mengingat terdapat keragaman
budaya yang ada di muka bumi ini.
Ketujuh; Pesan Postulat.
Keragaman budaya yang merupakan realitas sosial dalam kehidupan manusia,
keragaman suku bangsa, keragaman warna kulit, perbedaan jenis kelamin diakui
sebagai sesuatu yang postulat / sunnatullah.
Keragaman itu sesuatu yang niscaya dalam
realitas kehidupan umat manusia. Hal ini memberikan kesadaran mutlak kepada
umat manusia tentang pentingnya saling kenal mengenal, saling menjaga dan
memelihara persaudaraan serta saling memuliakan.
Dari perilaku saling mengenal, dapat
lahir perilaku saling memahami (tafa@hum),
saling menolong (ta‘a@wun), saling
menjamin keberadaan dan kemanan (taka@ful).
Hal ini berdasarkan firman Allah swt.
dalam QS. al-Hujura@t/49: 13.
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Makna ayat tersebut, di balik keragaman
suku, bangsa, dan agama, terdapat satu esensi yang menyatukan yakni
persaudaraan. Sesama umat manusia bersaudara karena sama-sama maklhuk ciptaan
Allah SWT, persaudaraan karena satu bangsa dan satu tanah air, serta persaudaraan
karena satu keyakinan/agama. Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang
tak terpisahkan dari sistem kehidupan dan sistem budaya umat manusia.
Ke delapan; Pesan Fitrah Manusia.
Sejak awal manusia berbudaya, beragama dan kehidupan beragama, telah menggejala
dalam kehidupan itu sendiri, bahkan memberi corak dan bentuk dari semua
perilaku budayanya.
Dengan demikian, rasa agama dan perilaku
keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari manusia atau
dengan istilah lain merupakan ‘fitrah’’ manusia.
Fitrah adalah kondisi sekaligus potensi
bawaan yang berasal dari dan ditetapkan dalam proses penciptaan manusia. Di
samping itu, manusia memiliki fitrah, yakni hidup bersama dengan manusia
lainnya atau bermasyarakat.
Para filsuf sejak sebelum Socrates,
sampai zaman sarjana-sarjana psikologi moderen, berpendapat bahwa manusia,
selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan makhluk hidup lainnya, juga merupakan
makhluk yang mempunyai sifat-sifat yang khas. Oleh karena itu, dalam mempelajari
manusia kita harus mempunyai sudut pandang yang khusus pula.
Plato merumuskan bahwa manusia harus
dipelajari bukan dalam kehidupan pribadinya, tetapi dalam kehidupan sosial dan
politiknya. Manusia tidak semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif
menerima keadannya, tetapi ia secara sadar dan aktif menjadikan dirinya
sesuatu, termasuk dalam mengelola potensi rasa, karsa dan cipta, itulah
sebabnya manusia dikatakan berbudaya atau berkebudayaan.
Kesembilan; Pesan Saling Menghargai.
Penganut agama yang berbeda-beda bisa saling menghargai dan menghormati, saling
belajar, dan memperkuat nilai keimanan dan keagamaan masing masing.
Perbedaan tidak perlu dipertentangkan,
tetapi dijadikan sebagai pembanding, pendorong dalam saling berinteraksi secara
baik dan benar. Masyarakat dengan agama yang berbeda-beda dapat hidup bersama
dengan rukun, damai bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling
mengasihi.
Pluralitas dan heterogenitas masyarakat
Indonesia dapat dipahami sebagai satu kekayaan dalam konteks keanekaragaman
budaya untuk membandingkannya dengan keanekaragaman hayati. Akan tetapi, dalam
banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu juga dieksploitasikan secara
struktural.
Kesepuluh; Pesan Pluralitas.
Pluralitas agama adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Perbedaan-perbedaan
yang ada baik suku, agama, ras, golongan ataupun keanekaragaman budaya
seharusnya menjadi tugas setiap warga Indonesia dalam menjaga dan membiarkan
untuk bertumbuh subur. Perbedaan juga bagaikan pedang bermata dua, sisi negatif
dan sisi positif.
Sisi negatif, kadangkala perbedaan yang
ada dapat menjadi sumber konflik, terutama bila berhadapan dengan kepentingan
yang saling bertolak belakang antara satu sama lain. Tetapi di sisi lain,
pluralitas memiliki potensi positif, terutama bila keanekaragaman yang ada
mampu dikelola secara baik sehingga memiliki kekuatan dalam membangun
kesejahteraan umum.
Di sinilah letak pentingnya konsep trilogi
kerukunan, yakni kerukunan antar-umat beragama, kerukunan intern umat beragama
dan kerukunan antara penganut agama dengan pemerintah.
Indonesia yang terdiri dari berbagai
ragam suku, agama, ras dan budaya pernah terjadi konflik horizontal yang
melanda beberapa wilayah di Nusantara ini, yang oleh sementara pihak menyebutnya
konflik agama atau agama menjadi faktor pemicu konflik, penyelesaiannya
membutuhkan waktu dan kesabaran. Hal ini disebabkan karena, fenomena agama itu
sangat kompleks.
Bila ingin diredam wilayah teologisnya,
muncul persoalan sosiologisnya. Ingin meredam persoalan sosiologisnya, muncul
persoalan politiknya, demikian seterusnya. Dalam jenis persoalan seperti ini
sangat dibutuhkan refleksi kritis sehingga dalam melihat persoalan tidak
semata-mata terfokus pada satu sudut pandang, akan tetapi mempertimbangkan dan
mengkaji sejumlah kemungkinan yang ada.
Dengan meresapi sepuluh pesan
tersebut, yakni pesan kerukunan, perdamaian, faktor penyebab konflik, piagam
madinah, sejarah Islam, konflik peradaban, postulat, fitrah manusia, saling
menghargai, dan pesan pluralitas, diharapkan dapat merefleksikan dan
mempertahankan perdamaian dunia.
Makassar,
07 September 2017