DESENTRALISASI KORUPSI, Termasuk pembagian perimbangan keuangan pusat dan daerah; dana bagi hasil, dana alokasi umum dan khusus serta gratifikasi fasilitasi investasi daerah. Dana hibah, dana darurat, dana penyesuaian, dana bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota dan dana bantuan keuangan provinsi atau dari Pemda lainnya. Kesemuanya merupakan desentralisasi korupsi yang berpeluang dimanfaatkan oleh kepala daerah. - Syamsuddin Radjab -
--------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 28 Februari 2018
Desentralisasi
Korupsi
Oleh: Syamsuddin Radjab
(Dosen HTN UIN Alauddin Makassar;
Direktur Eksekutif Jenggala Center)
Seolah tanpa henti, KPK kembali
melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat pemerintah daerah yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) terhadap Wali Kota Kendari,
Adriatma Dwi Putra bersama Asrun calon Gubernur Sulawesi Tenggara usungan PAN,
PDIP, PKS, Hanura dan Gerindra, pada Selasa malam
(27/2/2018) dalam kasus suap dan saat ini masih
dalam pemeriksaan intensif oleh penyidik KPK.
Sebelumnya, Bupati Subang, Jawa
Barat, Imas Aryumningsih pada Rabu pagi (14/2/2018)
terkait perizinan bersama tujuh orang lainnya dan langsung digelandang ke
kantor KPK, Kuningan, Jakarta.
Bupati Subang sebelumnya, Ojang
Sohandi, juga ditangkap KPK melalui OTT pada Senin (11/4/2016) karena menyuap
jaksa Fahri Nurmallo, Ketua Tim
Kejati Jawa Barat yang menangani kasus korupsi anggaran BPJS 2014 agar
diringankan hukumannya.
Sepanjang awal tahun 2018 ini,
setidaknya, KPK telah menangkap tujuh kepala daerah,
termasuk Imas, yakni Abdul Latif, Bupati Hulu Sungai
Tengah, Kalimantan Selatan (4/1/2018), Yahya Fuad, Bupati Kebumen, Jawa Tengah
(23/1/2018), Marianus Sae, Bupati Ngada dan juga calon Gubernur NTT
(11/2/2018), Rudi Erawan, Bupati Halmahera Timur, Maluku (12/2/2018), Zumi
Zola, Gubernur Jambi, telah ditetapkan sebagai tersangka (2/2/2018), dan Nyono
Suharli Wihandoko, Bupati Jombang, Jawa Timur (3/2/2018).
Mereka ditangkap karena
penerimaan suap, gratifikasi proyek, jual beli jabatan, uang ketok palu (APBD)
dan lain-lain.
Demikian pula tahun 2017, KPK
menangkap beberapa pejabat daerah seperti Ridwan Mukti, Gubernur Bengkulu
(21/6/2017), Achmad Syafii, Bupati Bangkalan, Jawa Timur (2/8/2017), Siti
Mashita, Wali Kota Tegal, Jawa Tengah (29/8/2017), OK Arya Zulkarnain, Bupati
Batubara, Sumatera Utara (14/9/2017), Edy Rumpoko, Wali Kota Batu, Jawa Timur
(17/9/2017), Tubagus Iman Ariyadi, Wali Kota Cilegon, Banten (22/9/2017), Rita
Widyasari, Bupati Kutai Kertanegara (29/9/2017), dan Taufiqurrahman, Bupati
Nganjuk, Jawa Timur (25/10/2017).
Dalam laporan akhir tahun 2017,
KPK merilis 12 kepala daerah terlibat korupsi, melibatkan pejabat pemerintahan
daerah maupun pusat sebanyak 43 orang dari pejabat eselon 1 hingga eselon 4.
Pihak swasta 27 kasus dan anggota DPRD maupun DPR sebanyak 20 kasus dengan
dominasi kasus suap sebanyak 93 perkara, 15 perkara pengadaan barang dan jasa
serta tindak pidana pencucian uang sebanyak 5 kasus. Sebanyak 19 perkara
merupakan hasil OTT, dan 72 tersangka dari pelbagai kalangan; kepala daerah,
penegak hukum dan anggota dewan.
Korupsi
Berkelanjutan
Perilaku kolusi, korupsi,
dan nepotisme (KKN) merupakan warisan rezim korup Soeharto. Di era reformasi,
korupsi tidak tumbang sebagaimana Soeharto yang rontok pada 21 Mei 1998. Watak
dan karakter koruptif kemudian bermutasi dan berkelanjutan layaknya konsep
pembangunan dari sustainability development menjadi sustainability corruption.
Korupsi bahkan dinilai sebagai
budaya sehingga perlu dirawat dan dilestarikan, demikian kaum fatalisme
mengganggapnya karena putus asa atas keadaan perilaku korupsi yang tidak dapat
dicegah. KPK dianggap musuh bersama para pengggarong uang rakyat yang memegang
kendali kekuasaan, dari pemegang kuasa legislatif, eksekutif hingga yudikatif.
Dulu, korupsi dimonopoli oleh
pemerintah pusat dengan sistem sentralisasi yang terpusat ditangan satu orang,
Soeharto. Para konco dan kawanannya juga melakukan hal sama tetapi harus
mengdapat lampu hijau dari Cendana, dan hukum pun takluk tak berkutik.
Sekarang, polanya berubah dari
sentralisasi menuju desentralsiasi seiring otonomi daerah yang menjadi tuntutan
reformasi. Sejak UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
diganti menjadi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)
untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya sendiri termasuk sumber daya
alamnya, korupsi pun akhirnya menjadi “kewenangan” kepala daerah.
Hingga saat ini, UU Pemda telah
mengalami enam kali perubahan dari UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004,
kemudian UU No. 23/2014, lali diubah menjadi Perpu No. 2/2014, dan ditetapkan
menjadi UU No. 2/2015 dan terakhir diubah menjadi UU No. 9/2015 yang didalamnya
memang membuka celah dan peluang korupsi baik pejabat pemerintah daerah, DPRD
maupun pihak swasta/korporasi.
Peluang itu di antaranya
kewenangan kepala daerah mengatur daerah otonom seperti izin eksplorasi sumber
daya alam, jabatan kepala dinas sebagai pembina kepegawaian, penguasaan
pelaksanaan pelbagai proyek disemua bidang selain urusan pemerintah pusat,
pengadaan barang dan jasa, uang “ketuk palu” persetujuan DPRD terhadap
pengesahan APBD.
Termasuk pembagian perimbangan keuangan
pusat dan daerah; dana bagi hasil, dana alokasi umum dan khusus serta
gratifikasi fasilitasi investasi daerah. Dana hibah, dana darurat, dana
penyesuaian, dana bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota dan dana
bantuan keuangan provinsi atau dari Pemda lainnya. Kesemuanya merupakan
desentralisasi korupsi yang berpeluang dimanfaatkan oleh kepala daerah.
Kegagalan
Perkaderan Parpol
Kepala daerah yang dipimpin oleh
Gubernur, Bupati dan Walikota rata-rata kader partai politik atau harus
didukung dan diajukan oleh partai selain calon independen yang kadang juga
diisi oleh kader partai. Pengisian jabatan elected official dapat dikatakan semua
berasal dari kader parpol, dari Presiden bahkan hingga kepala desa.
Begitu pentingnya kedudukan
parpol dalam sistem ketatanegaraan kita sehingga disebutkan dalam Pasal 6A ayat
(2) UUDN RI 1945, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 Tahun
2016 tentang Pilkada, dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Fungsi utama parpol sesuai
ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e UU Parpol ditegaskan bahwa parpol berfungsi
sebagai “rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”.
Namun demikian, fungsi vital
tersebut belum menyadarkan parpol bahwa mereka memiliki tugas mulia untuk
melakukan perkaderan melalui pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat
agar menajdi warga negara yang mengerti hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Fakta aksiomatik mahar politik
dan jual beli rekomendasi termasuk terhadap kadernya sekalipun dalam pelbagai
momentum pilkada dijadikan sebagai awal latihan korupsi dalam upaya menduduki
jabatan publik pemerintahan. Kasus La Nyalla Mattalitti, Siswandi, Budi
Heriyanto Dalimunthe, dan John Krisli merupakan contoh nyata betapa parpol
menjadi pedidikan terbaik calon koruptor.
Maka tidak heran, jika banyak
pimpinan kepala daerah yang ditangkap oleh KPK dan yang terbaru kasus OTT
Adriatma dan Asrun kader PAN, juga Imas Aryumningsih kader Partai Golkar, karena
kegagalan parpol dalam melakukan kaderisasi dalam menerapkan prinsip PDLT
(prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela) dan semua parpol telah
menyumbangkan kadernya kedalam jeruji penjara agar dibina dengan baik dan
sadar.
Perbuatan korupsi merupakan
perbuatan tercela baik dari pendekatan etika berbangsa dan bernegara maupun
agama dan yang pasti bertentangan dengan hukum dan merupakan tindak pidana yang
sedang diperangi oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Di sinilah
kegagalan perkaderan parpol dalam menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dan
kesadaran hukum yang harus inheren dalam menjalankan roda pemerintahan daerah.