MEMBEBASKAN. Pendidikan yang menghidupkan dan membebaskan, membutuhkan proses interaksi yang menghargai kemerdekaan dan kemandirian, serta potensi diri peserta didik. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan membuka ruang dialog antara pendidik dan peserta didik, yang berlangsung dalam suasana sejuk dan saling menghargai yang ditunjukkan dengan komunikasi dua arah, yang dipandu dengan akhlakul karimah.
-----------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 28 Februari 2018
Pendidikan yang Membebaskan
untuk Indonesia Berkemajuan
Irwan Akib
(Guru
Besar Pendidikan Matematika FKIP Unismuh Makassar / Wakil Ketua Majelis
Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah)
Pendidikan yang menghidupkan dan
membebaskan, membutuhkan proses interaksi yang menghargai kemerdekaan dan
kemandirian, serta potensi diri peserta didik.
Strategi yang dapat dilakukan adalah
dengan membuka ruang dialog antara pendidik dan peserta didik, yang berlangsung
dalam suasana sejuk dan saling menghargai yang ditunjukkan dengan komunikasi dua
arah, yang dipandu dengan akhlakul karimah.
Sebelum bangsa dan negeri ini
diproklamirkan menjadi bangsa dan negeri yang merdeka dan berdaulat, para
pendiri bangsa telah melakukan pergumulan pemikiran dengan proses yang panjang,
untuk memberi makna kemerdekaan bangsa.
Pergumulan pemikiran tersebut akhirnya
menemukan sebuah titik temu tentang makna dan tujuan kemerdekaan sebagai
cita-cita nasional yang harus diwujudkan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Cita-cita nasional kemerdekaan
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD
1945, yakni terbentuknya “Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Sedangkan tujuan dibentuknya
Pemerintahan Negara Indonesia ialah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Cita-cita ini merupakan
kristalisasi dari jiwa perjuangan bangsa sebelum maupun sesudah kemerdekaan
sekaligus mengandung cita-cita negara ideal Indonesia.
Muhammadiyah sebagai bagian tak
terpisahkan dari bangsa dan negeri ini, bahkan menjadi bagian hadirnya negeri
yang merdeka ini, memiliki tanggungjawab yang besar dalam mewujudkan cita-cita
luhur kebangsaan negeri ini, oleh karena itu melalui Tanwir Muhammadiyah pada
bulan Mei 2014 di Samarinda, dihasilkan konsep visioner Muhammadiyah yaitu
Indonesia Berkemajuan. Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna.
Pemikiran tersebut merupakan
bukti dari kebesaran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berusia lebih tua
dan menjadi bagian dari kekuatan nasional yang ikut mendirikan Republik
Indonesia tercinta.
Muhammadiyah selain berkiprah
melalui amal usaha dan usaha-usaha lain untuk mencerdaskan dan memajukan bangsa
ini secara praksis, pada saat yang sama berperan melalui sumbanigan pemikiran,
yang menunjukkan kiprah strategis sebagai gerakan Islam modern.
Konsep “berkemajuan” dalam
pandangan Muhammadiyah, melekat dengan
tingkat perkembangan kehidupan umat manusia, yang merujuk pada kata dasar
“maju” atau “kemajuan” sebagai idealisasi suatu masyarakat, bangsa, dan negara.
Semua negara atau bangsa mencita-citakan
kemajuan yang di dalamnya terkandung segala sesuatu yang bersifat kebaikan,
keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan hal-hal lainnya yang menunjukkan
keadaan yang lebih baik.
Kata “berkemajuan” mengandung
makna proses sekaligus tujuan yang bersifat ideal untuk mencapai segala kondisi
yang lebih berkembang ke tingkat keunggulan atau berada di depan dalam
kehidupan yang dicita-citakan.
Indonesia yang “berkemajuan”
mengandung arti perikehidupan kebangsaan yang maju di segala bidang, baik yang
bersifat fisik-materi, maupun ruhani secara menyeluruh diukur dari jiwa dan
cita-cita nasional.
“Indonesia Bekemajuan” dalam
konteks berbangsa dan bernegara dalam pandangan Muhammadiyah, mengandung
subtansi dan senapas dengan cita-cita nasional yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 yaitu “Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.”
Indonesia yang “Berkemajuan”
sejalan dengan semangat “Memajukan Kesejahteraan Umum”, baik kesejahteraan yang
bersifat jasmani maupun ruhani, fisik maupun non-fisik.
Dalam tafsiran Muhammadiyah
sebagaimana dirumuskan dalam buku “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa” tahun
2007, bahwa cita-cita nasional Indonesia yang disusun oleh pendiri bangsa tahun
1945 itu diformulasikan dalam pemaknaan “Negara Indonesia yang maju, adil,
makmur, bermartabat, dan berdaulat”.
Cita-cita luhur negeri tersebut,
hanya dapat diraih bila dikelola dengan baik oleh sumber daya insani yang
memiliki kecerdasan dan karakter utama.
Dalam pandangan Muhammadiyah,
manusia cerdas adalah manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki kekuatan akal
budi, moral, dan ilmu pengetahuan yang unggul untuk memahami realitas persoalan,
serta mampu membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna bagi terwujudnya
cita-cita nasional.
Manusia Indonesia cerdas memiliki
fondasi iman dan taqwa yang kokoh, kekuatan intelektual berkualitas,
kepribadian utama, dan menjadi pelaku kehidupan kebangsaan yang positif sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Untuk melahirkan manusia
Indonesia yang cerdas dan berkarakter utama seperti yang digambarkan di atas,
maka dibutuhkan suatu sistem pendidikan yang tidak hanya memberikan penekanan
pada kemampuan kognitif semata, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan suatu sistem
pendidikan yang menghidupkan, mencerahkan, dan memerdekakan.
Menghidupkan dan
Mencerahkan
Pendidikan yang menghidupkan
dimaknai sebagai suatu sistem pendidikan yang mampu mengembangkan secara maksimal
potensi manusia sedemikian rupa, sehingga semua pengetahuan yang diperoleh akan
menjadi unsur penting pada keseluruhan pribadi yang mampu berpikir kritis,
analisis, dan kreatif.
Pendidikan yang diharapkan dapat mengatasi
masalah yang dihadapi umat manusia yang demikian komplek saat ini dan kehidupan
di masa depan.
Pendidikan yang menghidupkan seperti
ini di samping diperlukan strategi metode yang bersifat dialogis, juga
dibutuhkan integrasi ilmu dari berbagai disiplin yang berbeda, tidak hanya integrasi
pengetahuan agama dengan pengetahuan umum tetap integrasi antardisiplin ilmu kealaman
dan ilmu sosial.
Hal ini dapat dilakukan dengan memandang
pendidikan dalam hal ini persekolahan sebagai miniatur masyarakat.
Pendidikan yang menghidupkan dan
mencerahkan, memandang manusia secara utuh, baik dari aspek fisik dan psikisnya,
maupun dari sisi tugas dan tanggungjawab kehadiran manusia di muka bumi ini.
Dengan demikian arah dan
kebijakan pendidikan tidak hanya berbicara pada tataran bagaimana terjadinya
transfer pengetahuan, tetapi juga pembetukan sikap dan keterampilan, serta kemampuan
mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan manusia termasuk
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan yang menghidupkan dan
mencerahkan tidak sekadar membekali peserta didik dengan setumpuk pengetahuan,
memberikan bekal keterampilan, tetapi lebih dari itu, pendidikan memberikan kesempatan
kepada peserta didik menguasai ilmu dan mampu mengembangkan dan memanfaatkan ilmu
bagi sesama.
Selain itu, pendidikan memiliki tanggungjawab
kepada bangsa dan negara, serta kepada umat manusia untuk menghasilkan insan cerdas
yang tercerahkan, membebaskan dan memerdekan manusia dari berbagai rasa takut,
serta memiliki jiwa dan semangat kemanusiaan, yang akan membawa bangsa dan
negara dalam kehidupan yang menghidupkan dan mencerahkan, kehidupan yang menghargai
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam konteks tanggungjawab kebangsaan,
pendidikan yang menghidupkan dan mencerahkan memiliki peran strategis untuk memberikan
pencerahan terhadap anak-anak bangsa ini sebagai bagian integral dari tugas kemanusiaan.
Peran strategis ini tentu dalam praksisnya
untuk melahirkan sumber daya insani yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang mampu memberikan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,
dan di sisi lain pendidikan juga harus mampu melahirkan pemikiran dan tindakan dalam
membangun bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik.
Peran kebangsaan dalam konteks
pendidikan tidak lepas dari kehidupan global abad 21, dimana Indonesia menjadi bagian
dari dunia yang tanpa sekat geografis, sehingga konteks baru pendidikan
menghadapi kompetensi yang tidak hanya bersifat local, tetapi bersifat global
dihadapkan berbagai situasi kehidupan dan kebutuhan hidup dalam era globalisasi
ini.
Oleh karena itu, pendidikan
diharapkan mampu memberikan kesadaran kehidupan global, melek teknologi,
kreatif dan inovatif, kempauan berpikir kritis, kemampuan menyelesaikan masalah,
kemampuan bekerja dalam team work dengan berbagai latar berbeda serta kemampuan
entrepreneurship.
Lahirnya insan cerdas tercerahkan
dan mencerahkan menjadi faktor penting untuk berkontrbusi dan menjadi penentuan
arah perjananan bangsa ini menuju Indonesia berkemajuan.
Namun demikian, melahirkan insan cerdas
tercerahkan dan mampu mencerahkan bukanlah semudah membalikkan telapak tangan,
karena tidak sedikit tantangan dan kendala yang harus dihadapi di tengah karut-marutnya
kehidupan kebangsaan kita dewasa ini, demikian juga adanya pengaruh globalisasi
yang ikut menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita ini.
Berbagai persoalan yang
melingkupi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan keberagamaan kita dewasa
ini, seperti kesenjangan sosial, ekonomi yang masih mendera masyarakat bangsa kita.
Korupsi yang tak kunjung berkurang,
bahkan semakin menjadi-jadi, masalah disintegrasi, sistem perpolitikan yang
belum menemukan arah yang benar, serta berbagai faktor sosial, ekonomi, dan
budaya lainnya.
Rekonstruksi sistem pendidikan
yang dapat melahirkan insan cerdas dan mencerahkan, menjadi suatu keniscayaan.
Rancang bangun sistem pendidikan tersebut, tidak lepas dari hakekat dan tugas kemanusiaan
itu sendiri, sehingga dengan demikian visi yang perlu dikedepankan adalah lahirnya
insan cerdas yang mantap dalam keimanan, unggul intelektual, anggun dalam berakhlak
dan sigap berkarya nyata.
Insan yang mantap dalam keimanan diharapkan
mampu memiliki kesadaran ketuhanan yang menghidupkan dan membebaskan, memiliki jiwa
dan semangat kemandirian.
Sementara keunggulan intelektual
akan mengantarkan keunggulan terhadap penguasaan ilmu dan teknologi, keunggulan
intelektual diharapkan mengantar insan cerdas yang dapat mengoptimalkan akal sehatnya,
memilah dan memilih sesuatu dalam menyelesaikan permasalahan, dan kesigapan berkarya merupakan suatu aktivitas
memanfaatkan ilmu dan teknologi dalam kehidupan nyata untuk kesejahteraan dan
kemajuan peradaban umat, yang semua ini harus ditampilkan oleh insan yang
memiliki karakter mulia yaitu akhlakul karimah.
Pendidikan yang memiliki visi mantap
keimanan, unggul intelektual, anggun berakhlak dan sigap berkarya, bukan
pendidikan yang merampas hak dan kemerdekaan peserta didik, bukan pendidikan
yang memenjarakan peserta didik dan menjadikan mereka manusia dalam posisi yang
inferior.
Perampasan hak atas nama pendidikan
justru menghambat perkembangan potensi pesertadidik, termasuk perkembangan
mental dan intelektualnya. Hal ini dapat berakibat terhambatnya transfer
pengetahuan, dan sekaligus menghambat perkembangan mental peserta didik.
Akibat lanjutannya, peserta didik
menjadi apatis, pesimis, dan cenderung lepas tanggungjawab dan lebih parah lagi
mereka akan lari dari lingkungannya dan mencari kehidupan lain yang menurut mereka
dapat mengembalikan hak dan kemerdekaannya yang telah dirampas dan kemungkinan melakukan
tindakan-tindakan destruktif serta merusak diri dan lingkungannya.
Proses Interaksi
Pendidikan yang menghidupkan dan
membebaskan, membutuhkan proses interaksi yang menghargai kemerdekaan dan
kemandirian, serta potensi diri peserta didik.
Strategi yang dapat dilakukan adalah
dengan membuka ruang dialog antara pendidik dan peserta didik, yang berlangsung
dalam suasana sejuk dan saling menghargai yang ditunjukkan dengan komunikasi dua
arah, yang dipandu dengan akhlakul karimah.
Strategi dialogis terjadi saling pemahaman,
saling pengertian, kemauan menerima dan kerjasama. Selain itu dalam dialog ini
terjadi kesetaraan, sehingga tidak terjadi monopoli pembicaraan dan kebenaran.
Dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian
dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi bahan
dialog.
Dialog merupakan ciri masyarakat maju
dan demokratis. Tanpa dialog tidak mungkin terjadi kesejahteraan dan kemajuan hidup
bersama, tidak mungkin tercipta masyarakat demokratis di mana para anggotanya mempunyai
hak dan kewajiban yang sama.
Dialog dapatmeningkatkan sikap saling
memahami dan menerima, serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai
saling menghormati dan saling percaya.
Dialog dapatmenjadi sarana untuk saling
memahami, menerima dan kerjasama antarberbagai kelompok yang berbeda latar belakang
budaya, tingkat ekonomi, ideologi, kepercayaan, dan agama.
Strategi ini, disamping memberi ruang
terhadap peserta didik sebagai individu yang merdeka dengan potensi yang
dimilikinya, juga memberikan ruang terhadap peserta didik sebagai makhluk sosial,
sehingga dengan demikian, seluruh potensi peserta didik dapat dimaksimalkan dalam
proses transfer pengetahuan dan sekaligus terjadi komunikasi dan dialog
kemanusiaan pada diri peserta dalam menghargai membangun hubungan sosial dengan
sesamanya dan terhadap pendidik, serta lingkungan sosial budayanya.
Pendidikan yang menghidupkan dan
memajukan dipandang sebagai miniatur masyarakat yang mampu menghadirkan kondisi
sosial ekonomi dan kultural masyarakat religius ke dalam ruang-ruang
pendidikan, membutuhkan pendekatan multidisipliner dalam aktivitas pendidikan
dan pembelajaran.
Dalam hal ini, selain memandang ilmu tanpa dikotomi, juga dibutuhkan aktivitas pembelajaran berdimensi kontekstual, yaitu suatu pendekatan yang menghadirkan seluruh siatuasi dan suasana kehidupan kemasyarakatan dalam ruang-ruang pendidikan. (Diringkas dari orasi ilmiah yang disampaikan dalam rapat senat terbuka luar biasa STKIP Muhammadiyah Bulukumba, Sabtu, 30 Desember 2017)
---------
@Copyright Majalah PEDOMAN KARYA
Edisi 3, Vol.4, Januari 2018