"Sekarang, PDIP sebagai partai berkuasa tidak seharusnya risih dan alergi keberadaan partai Gerindra dan PKS, yang memosisikan diri sebagai partai oposisi pemerintah. Apa yang disampaikan oleh kedua partai tersebut hanya mengganti peran PDIP yang pernah dimainkan di masa lalu sebagai penyeimbang untuk meluruskan kebijakan yang dinilai keliru pula."
- Syamsuddin Radjab -
(Dosen UIN Alauddin Makassar)
---------
PEDOMAN
KARYA
Senin,
13 Agustus 2018
Urgensi Partai
Oposisi Pemerintah
Oleh:
Syamsuddin Radjab
(Alumnus
Program Doktor Ilmu Hukum Unpad; Staf Pengajar HTN UIN Alauddin Makassar)
Dalam
sistem politik dan ketatanegaraan kita, memang tidak dikenal istilah partai
oposisi. Tetapi secara substansi dan fungsional, peran oposisi banyak
dipraktikkan oleh partai politik di luar pemerintahan sejak zaman Soekarno
hingga era Jokowi saat ini.
Oposisi
merupakan bagian dari artikulasi politik yang berfungsi sebagai kontrol dalam
pengambilan kebijakan politik pemerintah, apakah kebijakan tersebut untuk
kepentingan rakyat atau sebaliknya untuk penguasa semata dan kroninya.
Selama
periode demokrasi terpimpin (1959-1965) Soekarno, Partai Masyumi dan Partai
Sosialis Indonesia (PSI) merupakan partai oposisi yang bersuara lantang, karena
menganggap Soekarno telah bertindak sewenang-wenang mengangkat anggota parlemen
sendiri sebagai kepala negara yang tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945.
Masyumi
dan PSI akhirnya dibubarkan oleh Soekarno dan para tokohnya ditangkap dan
dipenjarakan seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Prawoto
Mangkusasmita, Muhammad Roem, Kasman Singodimedjo, Sutan Syahrir, Anak Agung
Gde Agung, dan lain-lain.
Mereka
juga dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, tapi yang terpenting
mereka menentang Soekarno karena mengarah ke otoritarian sebagai pemimpin besar
revolusi dan pemaksaan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Sikap
Soekarno ini pula yang menyebabkan dwitunggal Soekarno-Hatta pecah yang
menyebabkan Hatta mundur sebagai Wakil Presiden.
Di bawah
rezim otoriter Soeharto, partai oposisi menghilang walau kerap disuarakan
oknum-oknum politisi pemberani di parlemen, seperti Sri Bintang Pamungkas dari
PPP yang berani menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto 1993 dan kemudian ia di-recall
dari keanggotaan DPR RI. Melalui regulasi dan fusi partai, Soeharto menciptakan
hegemoni kekuasaan (power hegemony) dari pemimpin otoriter-totaliter menuju
diktator-antagonis.
Soeharto
menggunakan militer sebagai pilar utama kekuasaan sentralistik dengan dua
strategi. Strategi pertama, menciptakan politik yang bebas dari konflik idiologis
dan berdasarkan konsensus. Hal ini mendorong pemerintah membatasi politik
kepartaian, membatasi gerak partai politik dan badan-badan perwakilan, serta
menerapkan politik konsensus bahkan melalui intimidasi dan kooptasi menentukan
pimpinan partai politik.
Strategi kedua, membatasi partisipasi majemuk masyarakat atau partisipasi populis harus
terutama diarahkan kepada pelaksanaan pembangunan (developmentalism) yang dianut
oleh elit politik melalui tafsir tunggal Pancasila dan UUD 1945.
PDIP Partai
Oposisi
Di
akhir kekuasaan Soeharto, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hadir sebagai partai oposisi satu-satunya yang
berjuang teguh demi kepentingan rakyat wong cilik. Dan buahnya diterima sebagai
pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) pertama di era reformasi 1999 dengan meraih kursi 153 dari 462
kursi yang diperebutkan atau 33.12 % dari 48 partai peserta pemilu.
Peran
yang sama dimainkan PDIP ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih
sebagai Presiden pada pemilu 2004 dan 2009, dan Partai Demokrat sebagai partai
penguasa. Peran strategis sebagai partai politik oposisi pemerintah, PDIP
kembali menuai buah manis dengan memenangkan Pemilu 2014 dan mendudukkan kadernya,
Joko Widodo atau Jokowi, sebagai Presiden ke-7 Indonesia.
Sebagai
partai oposisi selama 10 tahun sejak 2004-2009 dan 2009-2014, PDIP melancarkan
kritik tajam dan keras atas kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY baik
saat berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) maupun dengan Boediono.
PDIP
misalnya, sangat keras mengkritik SBY karena dinilai keliru, melanggar UU dan
merugikan masyarakat. Mulai soal kenaikan BBM, BLT, kualitas penegakan hukum,
pemberantasan korupsi, penghapusan tenaga kerja outsourcing dan lain-lain.
Bahkan SBY dikritik kebijakannya seperti permainan yoyo, permainan anak-anak
yang hanya berputar-putar.
Kehadiran
PDIP sebagai oposisi pemerintah sangat memberi manfaat bagi kepentingan
masyarakat dan meluruskan kebijakan keliru untuk diperbaiki. Salah satu kritik
PDIP yang berhasil adalah upaya membongkar kasus Hambalang yang kemudian
menyeret pimpinan Partai Demokrat dalam pusaran korupsi dan telah dipidana di
penjara Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Sekarang,
PDIP sebagai partai berkuasa tidak seharusnya risih dan alergi keberadaan
partai Gerindra dan PKS, yang memosisikan diri sebagai partai oposisi pemerintah.
Apa yang disampaikan oleh kedua partai tersebut hanya mengganti peran PDIP yang
pernah dimainkan di masa lalu sebagai penyeimbang untuk meluruskan kebijakan
yang dinilai keliru pula.
Suatu
hal yang wajar, ketika harga BBM naik secara sembunyi-sembunyi, impor beras di tengah
panen raya petani, impor garam, investasi pembangunan infrastruktur yang tidak
berdampak luas kepada masyarakat, perilaku pejabat koruptif yang belum bisa
ditekan dan bahkan membuka karpet merah pekerja asing sementara jutaan warga menganggur
tanpa pekerjaan.
Makna
Positif
Oposisi
baik dalam bentuk personal maupun komunal (pressure group) atau dalam bentuk
partai politik sebagai kelompok penyeimbang kekuatan (balance of power). Dari
pemerintah yang berkuasa, ada kecenderungan bahwa penguasa akan melanggengkan
kekuasaannya dan membuat kebijakan sesuka hati bila tidak ada kelompok
masyarakat atau partai politik yang mengoreksinya.
Dalam
konteks negara yang dibangun di atas paradigma kontrak sosial (Social Contract),
maka kepala negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik harus sesuai
dengan keinginan dan kepentingan rakyat sebagai mitra kontrak dalam menjalankan
pemerintahan. Dan partai politik merupakan perwujudan agregasi aspirasi
masyarakat berhadapan dengan pemerintah.
Indonesia
sebagai negara yang menganut Social Contract dalam pelaksanaan pemerintahan
hendaknya memosisikan rakyat secara sejajar yang diwujudkan dalam bentuk
representasi di parlemen dengan bersama-sama membuat keputusan dalam berbagai
urusan kepentingan politik.
Tindakan
kepala negara atau pemerintahan yang otoriter-represif dalam pengambilan
keputusan akan melahirkan kelompok dari masyarakat atau partai politik oposisi
menjadi Counter Policy dengan keputusan pemerintah. Dan inilah yang melahirkan
partai oposisi ditengah konfigurasi politik nasional yang dinamis.
Sayangnya,
oposisi sering dianggap sebagai musuh dan diberi stigma negatif oleh
pemerintahan yang otoriter. Partai oposisi tidak mendapat ruang gerak yang
layak bahkan negara mengharamkan keberadaannya. Hanya pemerintahan diktator
yang melarang munculnya partai oposisi yang perannya sangat bermanfaat bagi
masyarakat.
Peran
penting partai oposisi setidaknya ada lima hal yakni pertama, oposisi sebagai
check and balance sebagai pemerhati dan pengontrol perilaku dan kinerja negara
(pemerintah). Secara budaya, protes rakyat terhadap raja yang dilakukan dengan
cara Pepe, berjemur di tengah terik matahari, telah ada ratusan tahun yang lalu
di kalangan masyarakat Jawa.
Kedua,
oposisi berperan sebagai counter player, yang tidak bisa diremehkan atau
dilecehkan oleh pemerintah, karena oposisi merupakan penyeimbang opini publik
yang melakukan kritik secara konsepsional, kuat dalam visi dan strategik untuk
memperjuangkan aspirasi konstituennya. Disinilah kelompok oposisi menurut
Herbert Feith harus kuat dan solid.
Ketiga,
oposisi berperan sebagai sparing partner pemerintah, untuk menentukan
kebijakan-kebijakan sosial-politik agar tetap pada rel pemihakan terhadap
rakyat. Ini penting agar pemerintah tidak berlaku diskriminatif.
Keempat,
oposisi berperan sebagai advocatus diaboli-devils advocate yang memainkan peran sebagai setan yang
menyelamatkan masyarakat, justru dengan mengganggu terus menerus. Dalam peran
tersebut oposisi mengemukakan titik kelemahan dari suatu kebijakan pemerintah
sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat
mengakibatkan efek samping yang merugikan sudah lebih dulu ditekan seminimal
mungkin.
Kelima,
kehadiran oposisi berkaitan dengan masalah accountability atau pertanggung
jawaban akan lebih diperhatikan oleh pemerintah. Tidak semua hal akan diterima
begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas atau beres dalam
pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan
dan mempertanggung jawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasarnya, apa
pula tujuan dan urgensinya, serta dengan cara bagaimana kebijakan itu akan
diterapkan.
Dari
kelima peran oposisi yang dimainkan secara simultan oleh partai politik akan
melahirkan pemerintahan yang partisipatif, terbuka dan akuntabel, agar
melaksanakan roda pemerintahan yang benar-benar adil menuju masyarakat yang
dicita-citakan, masyarakat adil dan makmur tanpa diskriminasi, dan mendapat perlakuan
yang sama di depan hukum.
Jakarta,
13 Agustus 2018