“Jangan sampai kita kalah dalam berijtihad dengan virus dan menciptakan kiamat kita sendiri, ketika manusia dengan segala potensinya tidak mampu dioptimalkan sehingga kalah oleh ijtihad ‘mikro’organisme lain.”
- Dzar Fadli El Furqan -
(Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Unismuh Makassar)
--------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 01 April 2020
Ijtihad
Pembaruan Virus dan ‘Manusia Nilai’
Oleh:
Dzar Fadli El Furqan
“Allah menganugerahkan
hikmah kepada siapa yang dikehendaiki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan tidak ada
yang mampu mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berpikir.” (QS 2/Al-Baqarah:
269)
Belum lama ini, Covid-19
ditetapkan sebagai very high risk
epidemic oleh WHO untuk seluruh dunia, hanya berselang dua bulan sejak
pertama kali penyakit ini dilaporkan dari Negeri Tirai Bambu, China. Atmosfir
itu, hari ini sudah dirasakan di hampir seluruh belahan dunia.
Penyakit ini tergolong
sangat infeksius. Selain karena transmisi antar-manusia yang lebih cocok dengan
lingkungan sel-sel tubuh manusia, juga karena bahkan dalam masa inkubasi, yang
artinya masa di mana virus sudah masuk ke dalam lingkungan internal tubuh
tetapi belum menunjukkan manifestasi klinis atau gejala, sudah bisa menginfeksi
orang lain.
Sebenarnya hal tersebut
sudah diingatkan oleh pemilik perusahaan Apple inc., Bill Gates. Dalam satu
kesempatan berbicara di video yang diunggah di TED, organisasi media dari
Amerika khusus untuk daring, tahun 2015 silam, Bill Gates mengatakan “Jika ada
sesuatu yang memungkinkan membunuh 10 juta jiwa dalam beberapa dekade ke depan
adalah infeksi virus, bukan perang. Mikroba, bukan misil.”
Ini saya kutip dari
tulisan di platform daring tirto.id yang berjudul “Bill Gates, Si Kaya yang Tak
Pernah Lelah Mengingatkan Wabah.
Pada kondisi yang telah
terjadi sekarang, semua elemen masyarakat dunia diuji. Mulai dari kemampuan
bertahan individu, ketahanan negara dan luaran regulasi yang efektif, sampai
kesadaran universal seluruh manusia di muka bumi. Wabah ini tak bisa
dihindarkan menjadi pandemik global, mengingat tingkat mobilitas yang tinggi di
era hari ini.
Tulisan ini bukan untuk
mengulas teori konspirasi yang orang ramai diskusikan, salah satu alasannya
sampai hari ini hasil penelitian ilmiah virus penyebab COVID19, atau lebih
tepatnya SARS-COV-2, ini merupakan produk mutasi alamiah.
Hasilnya menunjukkan di
tingkat genetik, memang terjadi evolusi (perubahan) yang tidak ditemukan di
virus sebelumnya, yang berarti virus ini ‘didesain’ oleh alam.
Kita, sekali lagi,
diperlihatkan kedigdayaan mikroorganisme ciptaan Allah SWT yang mampu memporak-porandakan
tatanan kehidupan hari ini. Makhluk yang untuk melihatnya saja kita butuh
menggunakan alat bernama mikroskop, saking kecilnya. Bagaimanapun, sebagai
manusia apalagi mengaku beriman, indikator minimalnya adalah mampu mengambil
hikmah dari setiap kejadian yang menjadi kehendak Tuhannya (QS 2/Al-Baqarah:
156).
Evolusi adalah
perubahan secara bertahap. Evolusi yang terjadi pada virus ini boleh jadi
adalah tuntutan alam sekitarnya untuk mampu bertahan hidup. Ijtihad virus ini
dalam berevolusi, cukup menjadikan manusia dengan fasilitas keilmuannya
kerepotan sehingga butuh waktu untuk beradaptasi melawannnya.
Ijtihad sendiri berarti
bersungguh-sungguh, sepenuh hati, atau lebih gamblang Imam Al-Ghazali
mengistilahkan sebagai pencurahan segala daya dan upaya, penumpahan segala
kekuatan terhadap sesuatu yang sulit.
Virus ini telah
berijtihad menembus batas kesulitannya, seolah menegur kita, sudah sampai dimanakah
kita hidup bersungguh-sungguh? Sudah sampai dimanakah diri kita memaksimalkan
potensi sebagai seorang makhluk Allah SWT?
Seperti kata Ahmad
Dahlan yang mengadopsi pikiran revolusioner yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah:
pintu ijtihad akan selalu terbuka sepanjang masa. Hanya dengan terbukanya pintu
ijtihad inilah yang membuat eksistensi Islam akan terus relevan dan menjadi
rahmat bagi sekalian alam (QS 21: 107). Coraknya haruslah membawa kemajuan yang
berarti mensyaratkan pembaruan.
Ijtihad harus didasari sense of humanity, untuk keberlangsungan
kemanusiaan, sehingga dapat menjadi manusia nilai. Baik itu konsep
‘Intellectual Organic’ dari Barat oleh Antonio Gramsci, konsep ‘Insan Kamil’
oleh Ibn Arabi, hingga ‘Rausyan Fikr’-nya Ali Shariati, semuanya bermuara
kepada kesadaran humanis, yang universal (kosmopolit).
Hal ini dapat
diwujudkan minimal berangkat dari sekelompok kecil masyarakat, creative
minority, (Q.S. 3 : 104) guna mewujudkan masyarakat berkeadaban ( civil
society) atau dengan terma lain, masyarakat madani.
Jangan sampai kita
kalah dalam berijtihad dengan virus dan menciptakan kiamat kita sendiri, ketika
manusia dengan segala potensinya tidak mampu dioptimalkan sehingga kalah oleh
ijtihad ‘mikro’organisme lain.
Potensi itu jangan
direduksi hanya sebatas rasio saja, tetapi cakupannya nurani, naluri, intuisi,
dan imajinasi, sehingga mandat intelegensia oleh Allah SWT yakni sebagai
perwakilan-Nya di muka bumi, dapat ditunaikan.
Semoga badai pandemi
ini segera berlalu dengan begitu banyak nilai yang bisa kita petik.
“Inilah dunia tempat
kita bermukim sementara untuk kita perlihara bersama, bukan untuk ditaklukkan,”
kata Buya Ahmad Syafii Maarif.
-------
-
Penulis, Dzar Fadli El Furqan, adalah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas
Muhammadiyah (Unismuh) Makassar
-
Pengurus Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) Kota Makassar
-
Artikel ini ditulis untuk 100 hari kerja
PC IMM Kota Makassar, Periode 2019-2020 di tengah arus Pandemi Covid-19
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus