Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh-hatilah kamu dan sebutlah
(nama) Allah sebanyak-sebanyaknya agar kamu beruntung. (Al-Anfâl/8: 45)
------------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 11 Agustus 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (49):
Perintah
Berteguh Hati dan Banyak Berdzikir dalam Berperang
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
----
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh-hatilah kamu dan sebutlah
(nama) Allah sebanyak-sebanyaknya agar kamu beruntung. (Al-Anfâl/8: 45)
Keberadaan manusia di muka bumi
memenuhi kudrat dan iradah Allah SWT. Kemudian manuisa hadir
dengan fitrahnya, menjalani takdirnya, dan menunaikan tujuan diciptakannya, yakni mengabdi (beribadah)
kepada Allah SWT.
Juga melaksanakan tugasnya memakmurkan bumi sebagai
konsekuensi
fungsinya menjadi khalifah Allah di
muka bumi.
Inilah sesungguhnya hakekat
keberadaan (eksistensi) manusia yang harus dijalaninya, dan hal ini dapat
dijalani dengan baik hanya dengan iman
yakni, ‘meyakini, mengakui, dan menerima ke-Esa-an Allah (Tauhîd)’.
Menegakkan tauhîd adalah tugas kerisalahan para Rasul Allah, sejak Rasul
pertama hingga Rasulullah Muhammad s.a.w.
Dalam penegakan tauhid ini, para Rasul bersama para pengikutnya
mendapatkan tantangan-tantangan hebat dari orang-orang yang tidak beriman,
tidak menerima tauhîd itu, yakni para pengikut thâghut ‘setan dan kroninya.’
Rasulullah Muhammad s.a.w sendiri sejak diutus
menjadi Rasul tidak pernah berhenti
menghadapi tantangan yang dahsyat sejak beliau menyeru kepada kaum Quraisy
untuk menyembah hanya kepada Allah,
hingga pada akhirnya Rasulullah harus
berhijrah ke Yatsrib (Madinah) –atas perintah Allah SWT- untuk membangun peradaban umatnya.
Setelah terlihat tanda-tanda keberhasilan
Rasulullah membangun peradaban Tauhied di Madinah, maka mulailah beliau
bersama umatnya mendapatkan tantangan nyata yang dikenal dengan perang.
Perang besar pertama dalam sejarah
kerasulan beliau adalah perang Badr Kubra
yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan
2 H, sesuatu yang tidak dikehendaki namun harus dihadapi.
Tanda-tanda akan terjadi perang
bermula ketika kaum Quraisy mengirim surat kepada Abdullah bin Ubay bin Salul
yang dikenal dengan Ibnu Salul, seorang musryik tokoh suku Khazraj di Yatsrib yang
memeluk Islam setelah kedatangan Rasulullah, namun masih menjadi tokoh
yang sering menyulut perselisihan di antara kaum muslimin terutama Suku Aus dan
Khazraj.
Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri
dalam kitab Sirah Nabawiyahnya
menuliskan tentang isi surat orang Quraisy kepada Ibnu Salul: “Sesungguhnya
kalian telah menampung orang di antara kami. Demi Allah, kami benar-benar akan memerangi atau kalian mengusirnya,
atau biarlah kami mendatangi tempat kalian dengan mengerahkan semua orang kami,
hingga kami menghabisi kalian dan menawan wanita-wanita kalian.”
Surat itu cukup mengundang emosi Ibnu
Salul lalu dia mengajak rekan-rekannya untuk memerangi Rasulullah, namun Rasulullah
menghadapinya dengan tenang dan menasehati orang-orang yang bersama Ibnu Salul
bahwa, “Sesungguhnya mereka ingin memperdayai kalian, lebih banyak dari pada
tipu daya yang hendak kalian timpakan pada diri kalian sendiri.’ Mendengar nasehat
Rasulullah, merekapun mengurungkan niatnya.
Masih dinukil dari Syekh Al
Mubarakfuri bahwa teror orang-orang Quraisy terus berlangsung dan mulai gencar,
hingga ketika Sa’ad bin Mu’adz berangkat ke Mekah untuk menunaikan umrah, ketika Sa’ad menuju Ka’bah –bersama
Umayyah bin Khalaf, yang juga dikenal dengan Abu Safwan,- dia mendapatkan
ancaman dari Abu Jahal.
Abu jahal mengatakan, “Andaikan engkau tidak
bersama Abu Safwan tentu engkau tidak bisa kembali kepada keluargamu dalam
keadaan selamat.”
Sa’ad bin Mu’adzpun menanggapi dengan
nyaring: “Demi Allah, jika engkau
menghalangiku saat ini, pasti aku akan menghalangimu dengan cara yang lebih
keras lagi perjalananmu melewati penduduk Madinah.”
Teror orang Quraisy pun semakin gencar.
Kemudian –lanjut Syekh Almubarakfuri- orang-orang Quraisy mengirim pasukan
kepada orang-orang muslim –muhajirin- untuk menyampaikan pernyataan mereka;
“Janganlah kalian bangga terlebih dahulu karena bisa meninggalkan kami pergi ke
Yatsrib. Kami akan mendatangi kalian, lalu merenggut dan membenamkan tanaman kalian
di halaman rumah kalian.”
Rasulullah pun memahami bahwa ini bukan sekedar
ancaman di mulut saja tetapi sudah merupakan siasat (tipu daya) Quraisy untuk melancarkan
serangan hingga salah satu hadits riwayat Muslim yang bersumber dari Aisyah r.a.
berkata: Pada malam pertama kedatangannya di Madinah, Rasulullah s.a.w –terus terjaga, sehingga- tidak –mendapat
kesempatan untuk- bisa tidur.
Beliau bersabda: “Andaikan saja malam
ini ada seseorang yang shaleh dari sahabatku yang mau
menjagaku.”
Pada saat yang bersamaan, datanglah
Sa’ad bin Abi Waqqash yang terdorong atas kekhawatirannya terhadap keamanan Rasulullah, hingga Rasululullah menanyakan maksud kedatangannya, kemudian dia
menjawab, ”Aku datang dengan maksud untuk menjagamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah langsung mendoakannya, setelah itu beliau -baru
merasa tenang untuk- bisa tidur. Penjagaan terhadap Rasulullah s.a.w. sudah dilakukan secara terus-menerus, hingga pada
suatu malam turun ayat: “Wallâhu
ya’shimuka minannâs,” Dan Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia” (QS
Al Mâidah/5: 67).
Lalu Rasulullah menyampaikan kepada
para sahabatnya: “Wahai sahabatku,
silahkan meninggalkan tempat ini, karena Allah telah menjagaku.”
Ancaman perang sudah benar-benar
nyata, dan sekarang tidak hanya tertuju kepada Rasulullah semata, tetapi kepada muslim secara keseluruhan. Sejak
kedatangan Rasulullah dan para
sahabatnya ke Madinah dan dilindungi oleh kaum Anshar, maka seluruh bangsa Arab sudah sepakat untuk melontarkan
anak panah –permusuhan- kepada mereka, menjadikan mereka sebagai musuhnya.
Dalam kondisi seperti ini maka
turunlah ayat Al Qur’an tentang izin
untuk berperang: “Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS Al Hajj/22: 39)
Izin perang ini dimaksudkan untuk
mengenyahkan kebatilan dan menegakkan syiar-syiar Allah. Walaupun ayat tentang izin perang ini sudah ada, namun sikap
yang diambil kaum muslimin menghadapi
kaum Quraisy -yang telah mengirim pasukan pengintai- itu, masih lebih
menunjukkan kekuasaan terhadap jalur perdagangan Quraisy yang mengambil rute
dari Mekah ke Syam.
Langkah yang diambil Rasulullah ada
dua, yakni: (1) Mengadakan perjanjian kerja sama atau perjanjian tidak saling
menyerang dengan beberapa kabilah yang berdekatan dengan jalur perdagangan ini,
atau menjadi penghalang antara jalur itu dan Madinah.
(2) Mengirim beberapa kelompok utusan
secara terus-menerus dan bergiliran ke jalur perdagangan itu.
Sejak turunnya ayat tentang idzin
berperang –bagi orang yang diperangi- ini, kaum muslimin sudah memulai
kegiatan-kegiatan militer. Mulai dengan mengirim mata-mata, mengadakan perjanjian-perjanjian
dengan kabilah-kabilah yang berdekatan dengan jalur perdagangan itu,
menunjukkan kekuatan (show of force)
kaum muslimin.
Sembari mempersiapkan kekuatan
militer yang sungguh-sungguh, kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w
masih menaruh secercah harapan bahwa dengan menunjukkan kekuatan dan penguasaan
jalur perdagangan itu, orang Quraisy akan mengkhawatirkan terganggunya jalur
perdangan mereka kemudian mereka mengurungkan niat untuk menyerang kaum muslimin
sehingga peperangan terhindarkan.
Juga tidak menghalangi manusia untuk
mengikuti jalan Allah, tidak lagi
menyiksa orang-orang mukmin yang lemah di Mekah, sehingga orang-orang muslim
bebas menyampaikan Risalah Allah di
Jazirah Arab.
Dari informasi para mata-mata Rasulullah tidak menunjukkan harapan
akan batalnya peperangan, maka persiapan militer kaum muslimin pun terus dibenahi. Dari
bulan Ramadhan tahun ke 1 Hijriyah (623 M) hingga bulan Rajab
tahun ke 2 Hijriyah (624 M), tercatat
dalam sejarah, sebanyak 8 (delapan) kali Rasulullah
mengutus pasukan untuk mengontrol jalur perdangan Mekah ke Syam sebagai bentuk
pra-kondisi
yang sesungguhnya, juga sudah merupakan ‘perang’ urat saraf karena tidak jarang
peperangan hampir saja pecah.
Berikut ini gambaran singkat tentang
pasukan-pasukan muslimin yang dibentuk Rasulullah:
Satuan pasukan dikirim ke Siful Bahr
pada tanggal 1 Ramadhan tahun 1 H
(623 M), dimana Rasulullah menunjuk
Hamzah bin Abdul Muththalib sebagai pimpinan membawa 30 orang Muhajirin untuk menghadang rombongan
kafilah Quraisy yang kembali dari Syam berjumlah 300 orang termasuk Abu Jahal
bin Hisyam.
Mereka pun sudah berhadap-hadapan
dan hampir terjadi perang, namun ada Majdi bin Amr Al-Juhanni yang menjadi
sekutu kedua belah pihak yang melerai, sehingga mereka urung berperang.
Satuan pasukan ke Rabigh pada tanggal
1 Syawal 1 H. Rasulullah mengirim pasukan yang dipimpin oleh Ubaidah bin Al Harits
bin Abdul Muththalib bersama 60 orang Muhajirin.
Mereka berpapasan dengan dengan Abu Sufyan yang membawa 200 orang di lembah
Rabigh dan sempat terjadi saling melepaskan anak panah, meskipun tidak sampai
melutus peperangan.
Satuan pasukan ke Al Kharrar pada
bulan Dzul Qa’dah 1 H (Mei 623 M). Rasulullah mengirim pasukan yang
dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash bersama 20 orang untuk menghadang kafilah
dagang Quraisy.
Perang Abwa atau Waddan pada bulan
Shafar tahun 2 H (Agustus 623 M). Pasukan dipimpin sendiri oleh Rasulullah. Sebelumnya beliau memilih
Sa’ad bin Ubaidah sebagai wakil beliau di Madinah. Rasulullah keluar bersama 70 orang Muhajirin untuk menghadang kafilh dagang Quraisy. Beliau tiba di
Waddan, namun tidak terjadi apa-apa.
Perang Buwath pada bulan Rabi’ul Awal 2 H (September 623 M). Rasulullah berangkat bersama 200 sahabat
untuk menghadang kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Umayyah bin Khalaf
beserta 100 orang Quraisy. Sebelum berangkat, beliau memilih Sa’d bin Mua’dz
sebagai wakil beliau di Madinah.
Perang Safawan pada bulan Rabi’ul Awal 2 H (September 623 M). Ketika
itu orang musyrik di bawah pimpinan Kurs bin Jabil Al Firhri menyerbu kandang hewan
gembala di Madinah dan berhasil merampok domba-dombanya.
Saat itu Rasulullah bersama 70 orang sahabat beliau hendak mengejar dan
mengusir para perampok itu hingga beliau sampai ke sebuah lembah (wadi) yang disebut Safawan, dari arah
Badr. Untuk menggantikannya, beliau memilih Zaid bin Haritsah sebagai wakil
beliau di Madinah.
Perang Dzul Usyairah pada bulan Jumadil Awal dan JumadilAkhir 2 H (November dan Desember 623M) Rasulullah s.a.w bersama 150 atau 200 Muhajirin menghadang kafilah
dari Quraisy yang hendak pergi ke Syam, namun ketika tiba di Dzul Usyairah,
rombongan Quraisy sudah melewati tempat itu beberapa hari sebelumya, sehingga
kafilah ini kemudian dicari-cari oleh beliau setelah kembali dari Syam. Beliau
memilih Abu Salamah Al Makhzum sebagai wakil beliau di Madinah.
Pengiriman satuan pasukan ke Nakhlah
pada bulan Rajab 2 H (Januari 624 M).
Rasulullah s.a.w mengirim Abdullah bin
Jahsy Al Asadi bersama 12 Muhajirin,
setiap dua orang menaiki seekor unta.
Dalam penugasan ini, Rasulullah s.a.w menulis surat tertutup
dan melarang Abdullah bin Jahsy membacanya kecuali setelah menempuh perjalanan
selama dua hari. Satelah sampai waktunya dia membuka surat itu dan membacanya,
ternyata isi surat itu berbunyi: “Jika engkau sudah membaca surat ini, maka
pergilah menuju Nakhlah, di antara Makkah dan Ta’if, selidiki rombongan dagang
Quraisy lalu sampaikan kabar tentang mereka kepada kami.”
Setelah membaca surat Rasulullah, Abdullah bin Jahsy berucap,
“Sami’na wa atha’na ‘Aku mendengar
dan aku pun taat.’ Kemudia dia membacakan isi surat Rasulullah s.a.w kepada rekan-rekannya,
namun dia tidak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sama dengan dirinya,
sambil berkata, “Siapa yang menginginkan mati syahid karena mengemban misi ini, maka hendaklah dia bangkit, dan
siapa yang takut mati maka hendaklah dia pulang. Aku tetap akan berangkat ke
sana.”
Maka mereka pun berangkat, walaupun di
tengah perjalanan unta yang dikendarai Sa’ad bin Abi Waqqash dan Uthbah bin
Ghazwan lepas, sehingga mereka berdua terpaksa ditinggalkan karena harus
mencari unta tersebut.
Abdullah bin Jahsy –dan rombongan-
terus berjalan akhirnya tiba di Nakhlah, di sana mereka memergoki orang Quraisy
membawa berbagai macam barang dagangan. Rombongan Quraisy tersebut adalah
orang-orang yang mereka kenal ketika mereka belum hijrah dulu; turut dalam rombongan itu adalah Amr bin Al
Hadhrami, Utsman, dan Naufal, keduanya anak Abdullah bin Al-Mughirah, serta Al Ahkam bin
Kaisan budak Bani Al-Mughirah.
Oleh karena waktu itu adalah akhir
bulan haram yakni bulan Rajab, maka mereka dalam kondisi dilema, apakah
memerangi mereka –berarti mereka melanggar bulan haram- atau membiarkannnya
lolos dan mereka masuk Mekah malam itu juga.
Alhasil, hasil musyawarah 10 orang Muhajirin di bawah pimpinan Abdullah bin
Jahsy itu, memutuskan untuk menyerang orang Quraisy tersebut.
Penyerangan pun terjadi, Amr bin
Al-Hadrami terhunjam anak panah dari mereka dan meninggal, Utsman dan Al Hakam
ditawan, sedangkan Naufal dan lainnya lolos dari sergapan, namun seluruh barang bawaan orang
Quraisy itu tertinggal sebagai harta rampasan perang.
Singkat kisah, Abdullah bin Jahsy kembali
ke Madinah dengan membawa ghanimah (rampasan perang) dan dua orang tawanan.
Mereka menyisihkan seperlima dari harta itu –untuk Allah dan RasulNya-.
Dalam sejarah, inilah pembunuhan pertama, serta ghanimah dan tawanan pertama dalam Islam.
Rasulullah tidak sependapat dalam hal
tindakan mereka yang menyerang itu, lalu beliau bersabda, “Aku tidak
memerintahkan kalian untuk berperang pada bulan suci.”
Beliau tidak mau menerima barang dagangan
rampasan dan dua tawanan itu. Kondisi ini dimanfaatkan oleh orang-orang musyrik
menuduh kaum Muslimin sebagai orang-orang yang menghalalkan apa yang diharamkan
Allah, sehingga muncul komentar yang simpang-siur dan menyudutkan Nabi beserta
kaum muslimin.
Komentar simpang siur itupun terjawab
setelah turun ayat Allah SWT: “Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan
berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS Al Baqarah/2: 217)
Ayat ini menegaskan bahwa tuduhan orang-orang
musyrik terhadap kaum muslimin
sebagai orang-orang yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah yang memunculkan komentar yang simpang-siur dan menyudutkan Nabi
beserta kaum muslimin itu ternyata tidak berpengaruh sama sekali.
Bukankah sebelum ini orang-orang muslim yang menetap di Tanah Suci dan telah dianiaya, dirampas
hak-haknya, dibunuh nabinya dan difitnah? Maka apa salahnya jika kaum muslimin ingin mengembalikan kesucian
itu seperti sedia kala, walaupun harus berperang.
Setelah itu, Rasulullah s.a.w melepaskan dua tawanan itu dan membayarkan tebusan
dari korban yang terbunuh kepada keluarganya. Setelah insiden di Nakhlah itu,
orang-orang Quraisy mulai dirasuki perasaan takut dimana mereka menyadari
bahwa penduduk Madinah senantiasa mengintai dan mengawasi setiap kegiatan
mereka.
Orang-orang muslim bisa bergerak
sejauh 300 mil, menyerang, menawan orang-orang mereka dan merampas harta benda
mereka lalu kembali lagi ke Madinah dalam keadaan selamat.
Akhirnya para pembesar dan pemimpin
Quraisy bertekad bulat untuk mewujudkan ancaman yang pernah disampaikan
sebelumya, yaitu menghabisi orang-orang muslim di tempat mereka. Tekad inilah
kemudian yang membawa mereka sampai ke perang Badr Kubra.
Istilah perang dikenal dalam kehidupan
Nabi itu setelah secara kronologis mengikuti peristiwa-peristiwa berikut: (1) Adanya
utusan pasukan Quraisy ke Ibnu Salul, yang disusul dengan intimidasi langsung orang-orang
Quraisy kepada orang-orang muhajirin yang diterjemahkan oleh Rasulullah sebagai ancaman serius,
sampai-sampai Rasulullah tidak dapat
tidur hingga Allah menjamin keselamatannya.
(2) Turunnya ayat mengizinkan untuk
berperang bagi orang yang diperangi, (3) Rasulullah
berupaya menghindari perang dengan jalan membuat perjanjian-perjanjian dan
menunjukkan show of force di jalur
perdagangan, hingga (4) perang Badr Kubra tak terelakkan lagi.
Sengaja kronologis ini dikemukakan
untuk dapat dipahami
oleh segenap orang-orang beriman tentang firman-firman Allah terkait dengan perintah perang, perintah membunuh musuh,
perintah untuk bersikap gagah perwira, dan tidak boleh mundur bila
menghadapi serangan orang-orang kafir,
yang akan ditemukan –beberapa kali- selama berinteraksi dengan al-Qur’an, sehingga orang-orang beriman
dapat memosisikan hatinya, keyakinannya, memelihara keteguhan jiwa dan raganya,
serta sikapnya jihadnya terhadap perintah Allah
SWT terkait dengan perang itu. Demikian diringkaskan dari Syaikh Shafiyurrahman
Al Mubarakfuri.
Sekarang, kembali ke ayat 45 Surah Al-Anfâl yang tengah dibahas ini, firman
Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh),
maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-sebanyaknya agar
kamu beruntung.”
Disarikan dari tulisan Sayyid Quthb
bahwa faktor kemenangan dalam memerangi pasukan musuh adalah kemantapan hati
ketika berhadapan dengan musuh. Kemantapan hati merupakan pembuka jalan untuk
mendapatkan kemenangan.
Oleh karena musuh yang dihadapi juga
merasakan kepayahan lebih dari apa yang dirasakan, mereka juga merasakan
penderitaan sebagaimana yang orang beriman rasakan. Namun orang-orang beriman
mengharapkan dari Allah salah satu di
antara dua keadaan, yakni menang atau mati syahid, dimana kedua keadaan ini
bagi orang kafir, hanya punya satu
peluang yakni menang dengan tujuan hanya menginginkan kehidupan dunia
semata-mata.
Karena itu, golongan yang lebih
mantap dan teguh hatinyalah yang lebih dominan mendapat kemenangan.
Adapun dzikir kepada Allah
ketika menghadapi musuh ini –kata beliau selanjutnya- adalah sekaligus
menunaikan macam-macam fungsi dzikir,
yakni: (1) Memohon kekuatan kepada Allah,
sang pemilik kekuatan yang tak terkalahkan, (2) menyadari bahwa perang itu karena
Allah, untuk menetapkan uluhiyah-Nya, menjunjung tinggi agama Allah, dan (3) senantiasa mengingat Allah dalam segala suasana dalam kondisi
paling sulit dan paling berat sekalipun. Demikian dari Sayyid Quthb.
Adapun Syekh Abdurrahman bin Nashir
As Sa’di menjelaskan: “Dalam menghadapi mereka, gunakan kesabaran atas ketaatan
ini yang buahnya adalah kemuliaan dan kemenangan, minta tolonglah dengan memperbanyak
dzikir kepada Allah agar kamu beruntung, yakni kemenangan yang kamu inginkan atas
musuhmu. Jadi kesabaran, keteguhan dan memperbanyak dzikir kepada Allah
adalah penyebab besar –dari- kemenangan itu.
***