-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 14 Juni 2021
Yang
Bukan Penyair Silakan Terlibat di “Sastra Sabtu Sore” Makassar
“Ada ungkapan Chairil Anwar bahwa yang bukan penyair tidak ambil bagian, tapi di Sastra Sabtu Sore justru yang bukan penyair diajak silakan terlibat, kata Yudhistira Sukatanya, sebagai pengantar dimulainya gelaran acara “Sastra Sabtu Sore”, di Taman Baca Masjid Ashabul Jannah, Jl Sultan Alauddin, Km 7 Makaasar, Sabtu sore, 12 Juni 2021.
Karena itu, penyelenggara
selalu mengundang banyak pihak, termasuk anak-anak untuk datang berpartisipasi.
Apalagi, lanjut sastrawan yang cukup produktif menulis buku itu, kegiatan ini
didukung dan difasilitasi oleh Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK)
Provinsi Sulsel, Mohammad Hasan Sijaya.
DPK Provinsi Sulsel
bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi
Selatan (LAPAKKSS) dan Komunitas Puisi (KoPi) Makassar sudah beberapa edisi
menggelar “Sastra Sabtu Sore.”
Kali ini membahas buku
puisi “Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil” karya Agus K Saputra. Penulis
merupakan Deputi Bisnis PT Pegadaian (Persero) Area Makassar 1. Buku ini,
ungkap Agus, merupakan ingatan pada masa sekolah dasar, setelah dia
dipertemukan kembali dengan teman-teman lama melalui medsos.
Pria kelahiran 1968 ini
tumbuh besar di Ciamis dan Mataram. Semasa mahasiswa, ia aktif dalam dunia
pergerakan kampus. “Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil” merupakan buku terbitan
tahun 2019, berisi 50 puisi yang dibuat antara tahun 1987-2017 di berbagai tempat seperti Denpasar, Lombok,
Ampenan, Sumbawa, dan Yogyakarta. Temanya
beragam, mulai persahabatan, persaudaraan, perjalanan, cinta kasih, dan
tanah air.
“Kemana pun kau pergi,
kau akan selalu bertemu dengan orang-orang yang seide dan akan mendukungmu,” kata
Agus, mengutip kata-kata temannya.
Agus baru sekira sebulan
bertugas di Makassar, sebelumnya di Kendari. Mantan jurnalis ini bercerita,
dahulu, dia mau jadi penulis supaya bisa membantunya saat menyusun skripsi.
Saat masih SMP, dia ingin punya puisi yang dimusikalisasikan. Impian masa
remajanya itu sudah terwujud. Sebanyak 116 puisinya sudah dimusikalisasi.
“Sepucuk Surat dan Kisah
Masa Kecil” merupakan buku ketiganya. Sebelum itu, dia menerbitkan buku “Kujadikan
Ia Embun” (2017) dan “Menunggu di Atapupu” (2018).
Meski sudah menerbitkan
tiga buku kumpulan puisi, diakui masih ada keraguan, apakah ini puisi atau
bukan? Tapi, katanya, ada temannya yang meyakinkan bahwa puisi-puisinya bergaya
Amerika yang “poetry” bukan bergaya Inggris, yang “poem.”
“Sekarang, saya menangkap
kesan dari obyek melalui foto, lalu diendapkan untuk dibuatkan puisi,” ungkap
Agus tentang proses kreatifnya.
Bincang
Buku
Acara “Sastra Sabtu Sore”
dibuka dengan pembacaan puisi oleh Rezki, murid kelas 4 SD Inpres Paccerakkang.
Dia membawakan dua puisi karyanya masing-masing berjudul “Ayah” dan “Terima
Kasih Mentariku”. Kemudian penyerahan buku oleh penulis kepada Abdul Hadi,
Kepala UPT Layanan Perpustakaan DPK Provinsi Sulsel.
Acara bincang buku yang dipandu
oleh Rusdin Tompo (penulis buku dan penggiat literasi), menghadirkan narasumber
Dr Asis Nojeng akademisi Unismuh Makassar, dan Damar I Manakku, penyair yang
sudah menerbitkan buku puisi dan kumpulan cerpen.
Asis Nojeng mengatakan,
dalam menulis puisi kita diberi pilihan, apakah akan taat pada konvensi atau
mau berinovasi. Hal itu juga tampak pada puisi-puisi Agus K Saputra, yang
dinilai tidak merujuk pada pakem tertentu.
Damar I Manakku memberi
apresiasi pada penulis yang tetap berkarya di luar profesinya sebagai pegawai
BUMN.
“Ada kenyamanan ketika
kita membaca puisi-puisi Agus. Puisi-puisinya tidak membuat pusing yang
membacanya,” kata Damar.
Mereka yang hadir dalam “Sastra
Sabtu Sore” berasal dari beragam latar belakang. Ada Dr Nurlina Syahrir
(akademisi), Asmin Amin (seniman dan aktivis LSM), Goenawan Monoharto
(Ketua IKAPI Sulsel), Syahrir Rani Patakaki (penyair berbahasa Makassar),
Ahmadi Haruna (jurnalis dan penyair), Mami Kiko (pendongeng), Muhammad Amir
Jaya (penyair), Melati (pustakawan dan Ketua KKPS), dan Rahman Rumaday
(penggiat literasi). (din)