-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 03 September 2021
Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (59):
Tiga
Waktu dan Kondisi Terlarang Memasuki Kamar Pemimpin Keluarga Tanpa Izin
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh Makassar /
Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
(Itulah) tiga ‘aurat bagi
kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga
waktu) itu.
Mereka melayani kamu,
sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana
(An-Nûr/24: 58).
Pada ayat 27 Surah An-Nûr yang lalu, telah dipahami tuntunan Allah berupa adat bertamu, yang antara lain makna intinya adalah menjaga hak-hak privasi seseorang atau suatu keluarga, sehingga terbangun masyarakat yang terhormat dan saling menjaga kehormatan (muruah) masing-masing keluarga.
Pada ayat 58 ini, Allah
SWT menunjukkan suatu perangai dalam lingkup yang lebih terbatas yakni di dalam
rumah keluarga sendiri.
Bagi orang yang beriman,
semakin terasa betapa indah kehidupan dalam tuntunan iman itu, terasa betapa
kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, sehingga Dia menuntunnya hingga hal-hal
yang bersifat sangat pribadi.
Demikian pula sangat
terasa bagi seorang hamba, bahwa Allah Maha Mengetahui kecenderungan kehidupan
pasangan suami istri yang bersifat sangat pribadi dan rahasia.
Ya, Allah Maha Tahu. Dia
mengetahui hal yang tersembunyi dan yang nyata, baik yang disimpan dalam hati
maupun yang ditunjukkan dalam perilaku jasmani. Dia tahu bahwasanya pasangan
suami istri punya kecenderungan atas satu sama lain dalam kebutuhan hidup
mereka, Dia Maha Tahu segalanya.
Demikianlah, maka Allah
SWT membuatkan aturan tiga waktu dimana privasi pemimpin keluarga (suami-istri),
tidak boleh dicampuri oleh anggota keluarga yang lain tanpa ada izin.
Firman Allah SWT: “Wahai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu
miliki, dan orang-orang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu
tiga kali…”
Untuk merasakan betapa
sangat bersifat pribadinya perintah Allah di awal ayat ke 58 ini, dapat
dibandingkan dengan firman-Nya pada Surah An-Nur, ayat 31, terkait kepada siapa
wanita beriman boleh menampakkan auratnya.
“…dan janganlah
(wanita-wanita beriman) menampakkan perhiasannya (keindahan tubuh mereka)
kecuali kepada (1) suami mereka, atau (2) ayah mereka, atau (3) ayah suami
mereka, atau (4) putra-putra mereka, atau (5) putra-putra suami mereka, atau
(6) saudara-saudara laki-laki mereka, atau (7) putra-putra saudara lelaki
mereka, atau (8) putra-putra saudara perempuan mereka, atau (9) wanita-wanita
Islam, atau (10) budak-budak yang mereka miliki, atau (11) pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau (12) anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS An-Nur/24: 31)
Tampak jelas pada ayat 31
An-Nur tersebut, ada 12 kategori orang dekat bagi perempuan beriman yang dalam
batas tertentu tidak dilarang menampakkan “perhiasannya,” namun pada ayat 58
ini, dari 12 kategori tersebut tinggal kategori satu –yakni suami-- yang
dibolehkan masuk di kamar pribadi istrinya –karena kebutuhan hak privasinya
sama-- dalam tiga waktu dan kondisi yang telah ditentukan, kecuali setelah
diberi izin.
Tiga waktu tersebut
dinyatakan oleh Allah SWT, yakni; sebelum waktu shalat subuh, ketika kamu
menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya’.
Aurat
(Itulah) tiga ‘aurat bagi
kamu. Tiga waktu dan keadaan ini juga disebut ‘aurat oleh Allah. Quraish Shihab
memberi penjelasan; ‘kata ‘aurat terambil dari kata ‘ar yang berarti ‘aib’ atau
‘sesuatu yang tidak pantas’, maka kata ‘aurat di sini bukan hanya dimaknai
--secara hukum / syari’ah-- yakni bagian tubuh manusia yang harus ditutup dan
tidak boleh dilihat orang lain, namun –dalam ayat ini-- ‘aurat juga mencakup
segala pengertian bahasa yakni aib atau sesuatu yang tidak pantas.
Beberapa hal yang dapat
dijadikan pelajaran dari tiga waktu khusus yang dinyatakan ‘aurat dalam ayat
ini, antara lain:
Pertama, dari Syaikh As
Sa’di dalam Tafsîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm al-Mannân buah karya
beliau, dapat diambil beberapa pelajaran, yakni:
Bahwa pemimpin rumah
tangga (suami-istri) --baik kedudukannya sebagai majikan bagi “pelayannya”,
maupun sebagai orangtua dari anak-anak mereka-- diperintahkan untuk mengajarkan
ilmu dan adab-adab syar’i kepada “pelayannya” (budak; pada zaman masih ada
perbudakan) dan orang-orang yang di bawah kekuasaannya (termasuk anak-anaknya).
Perintah untuk menjaga
aurat dan berhati-hati dengannya di tempat atau suasana apapun. Bolehnya
membuka aurat bila diperlukan, seperti saat tidur, buang air kecil, buang air
besar, dan lain-lain (di dalam kamar pribadi).
Seorang “pelayan” maupun
anak kecil yang belum balig, tidak boleh diberi kesempatan melihat aurat
pemimpin rumah tangganya (apalagi mengetahui/menyaksikan tindakan-tindakan
privasi majikannya sebagai suami-istri).
Bahwasanya hukum --tiga
aurat-- yang disebutkan pada ayat ini dengan terperinci ditujukan untuk
anak-anak yang belum balig. Adapun anak-anak yang sudah balig, maka –bukan
hanya tiga waktu ini meminta idzin, melaiinkan-- harus minta izin (setiap
hendak memasuki kamar pribadi orang tuanya).
Demikian dinukil dari
pendapat Syekh As-Sa’di dengan beberapa sisipan pemahaman dari penulis.
Kedua, Sayyid Quthb dalam
tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengingatkan dengan ungkapan sebagai berikut:
“Adab ini telah banyak
dilalaikan oleh orang-orang dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mereka telah
meremehkan pengaruh-pengaruh kejiwaan, mental, dan akhlak dari kelalaian itu.
Mereka menyangka bahwa para pelayan tidak mungkin melepaskan pandangan mereka
pada aurat tuan-tuan mereka.
Mereka menyangka bahwa
anak-anak kecil yang belum baligh, tidak akan meperhatikan
pemandangan-pemandangan seperti itu. Padahal, para ahli jiwa yang telah
mencapai kemajuan dalam ilmu jiwa, sekarang telah menetapkan bahwa sebagian
pemandangan yang direkam oleh penglihatan anak-anak dapat berpengaruh sekali
dalam kehidupan mereka secara keseluruhan.
Bahkan mereka
kadang-kadang ditimpa penyakit jiwa dan mental yang sangat sulit disembuhkan
akibat rekaman pemandangan itu.
Allah Yang Maha
Mengetahui mendidik orang-orang yang beriman dengan adab ini. Karena, Dia ingin
membangun umat yang sehat secara mental, jiwanya sehat, perasaannya terdidik,
hatinya suci, dan bersih persepsi-persepsinya.”
Demikian dinukilkan dari
Sayyid Quthb!
Mendidik
Anak
Ketiga, Buya Hamka dalam
tafsir Al Azhar juga memberi uraian penting terkait tiga aurat ini. Dalam
bahasa sastranya yang khas, beliau menuliskan:
“Dengan adanya peraturan
agama meminta izin, jelaslah kesaktian tempat khas tuan dan nyonya rumah pada
saat-saat demikian. Dengan itu pula, nampak bahwa lebih baik di saat itu mereka
jangan diganggu.
Barangkali ada
pertanyaan, bukankah anak-anak itu belum mukallaf? Mengapa kepada mereka
diwajibkan minta izin masuk kamar ayahnya?
Jawabnya tentu jelas.
Yaitu orang tuanya diwajibkan mendidik anaknya menjunjung tinggi kehormatan
orang tuanya.
Dan dapat diambil lagi
kesimpulan, sedangkan anak kandungnya sendiri wajib dididik menghargai waktu
yang aurat itu, konon lagi bagi orang-orang lain, kurang layak bertetamu ke
rumah orang di waktu-waktu begitu.
Menjadi kagumlah kita
dengan ayat ini, demi kita mempelajari perkembangan penyelidikan ilmu jiwa
modern, anak-anak kecil yang belum dewasa haruslah dijaga penglihatan dan
pengalamannya di waktu kecil itu.
Penyelidikan ilmu jiwa
moden terhadap perkembangan jiwa anak-anak mengatakan, sesuatu yang bernama “buhul
jiwa”, yaitu sesuatu yang ganjil yang dilihatnya di waktu masih kecil belum
dewasa itu berkesan pada jiwanya itu dan berbekas selama hidupnya, sehingga
menjadi tekanan yang payah buat menghilangkannya yang kadang-kadang menjadi
pangkal penyakit yang mengganggu rohani dan jasmani, sampai pun dia dewasa;
yang ahli-ahli spesialis ilmu jiwa harus mencari penyakit itu –selama--
bertahun-tahun, baru dapat.
Oleh sebab itu, sesuai
benarlah penyelidikan ini dengan apa yang dikehendaki oleh ayat itu. Dan menurut
ilmu jiwa sebagai pendidikan juga, bagi kanak-kanak di bawah umur itu, ayahnya
adalah seorang yang dijunjung tinggi, puncak penghormatan dan cita, dan yang
tidak pernah bersalah, yang dicintai dan dikagumi.
Padahal ada saat-saat
yang demikian, ayah itu tidak tahu diikat oleh kemestian yang menjadi kekaguman
anak-anaknya itu. Jangan sampai karena hal yang kecil itu, pengharapan anak
kepada ayah atau bundanya akan berkurang.”
Jangan
Tidur Sekamar dengan Anak
Keempat, dalam buku “Islam
Sistem Nilai Terpadu”, Muhammad Imaduddin Abdulrahim ketika menjelaskan tentang
ciri dari sunnatullah yang diwahyukan yakni time-responsenya lama, artinya
butuh waktu lama untuk mengetahui akibat perbuatan mematuhi atau melanggar sunnatullah
yang tertulis berupa wahyu dalam Al-Qur’an.
Ayat 58 dan 59, Surah An-Nur
ini menjadi salah satu yang diuraikan oleh beliau. Berikut ini disadurkan
uraiannya, bahwa:
“Kedua ayat Surah An-Nur
ini (ayat 58 dan 59), sangat penting untuk diperhatikan oleh para orangtua yang
punya anak di bawah umur. Ayat ini jelas melarang kita tidur satu kamar dengan
anak di bawah umur ini, suatu ketentuan yang sangat banyak dilanggar oleh
bangsa kita….
Jika anak-anak itu memang
boleh tidur sekamar dengan orang tuanya tentu perintah meminta izin –bila ingin
masuk kamar orang tua-- ini tidak ada artinya.
Jika sunnatullah ini
dilanggar, maka akibatnya baru kelihatan tatkala anak itu menjelang dewasa
nanti. Mereka akan tumbuh sebagai anak yang kurang percaya diri (‘izzatun nafs)
dan akan agak sukar baginya untuk mandiri, baik dalam sikap maupun dalam
mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya.
Berbeda dengan anak-anak
yang terdidik mematuhi apa yang dikehendaki sunnatullah ini, mereka akan
menjadi anak-anak yang mandiri sikapnya, dan punya kepercayaan diri yang
tangguh.
Oleh karena akibat --yang
timbul-- dari pemenuhan atau pelanggaran sunnatullah yang khas ini, memang agak
terlambat kelihatannya, yaitu setelah anak itu menjelang dewasa, maka
diperlukan iman di dalam menghayati dan mengamalkannya.
Inilah yang dimaksud
dengan time response yang panjang (dari sunnatullah yang diwahyukan).”
Demikian!
Jangan
Diremehkan
Kelima, bagi penulis
sendiri, selain pelajaran yang telah dinukilkan dari berbagai ahli pada uraian
sebelumnya, penetuan tiga waktu oleh Allah SWT sebagai aurat ini, bukan hanya
bermakna sebuah larangan atau etika bergaul dalam rumah tangga, tetapi juga
mengandung makna bahwa pasangan suami-istri harus memaknai tiga waktu tersebut
sebagai waktu khusus yang harus dimanfaatkan untuk kebutuhan privasi mereka,
sehingga waktu tersebut tidak terlewatkan begitu saja tanpa interaksi atau
komunikasi spesial bagi mereka.
Waktu tersebut tidak
boleh diremehkan atau diabaikan, sehingga malah terbuang untuk hal-hal yang
lain, terutama waktu sesudah shalat dhuhur.
Demikian tentang tiga
waktu yang disebut aurat bagi tuan dan nyonya rumah, dimana semua penghuni
rumah harus menghormati dan memaknainya sebagai aturan yang ditetapkan oleh
Allah demi kemaslahatan rumah tangga orang-orang beriman itu.
Selanjutnya Allah SWT
memberikan keluwesan selain tiga waktu tersebut. Tidak ada dosa atasmu dan
tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu,
sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain).
Lalu Allah menegaskan di
ujung ayat ini bahwa Dialah yang Maha Tahu dan Bijaksana, sehingga tahu apa yang
terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi
kamu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Ayat 58 tersebut juga
mengandung sebuah kekhususan mengatur batasan bagi anak-anak yang belum baligh.
Adapun ketika anak-anak di dalam rumah orang-orang beriman itu sudah baligh,
maka aturannya berlaku umum, dimana mereka harus meminta izin setiap waktu bila
hendak masuk ke bilik orang tuanya, sebagaimana penjelasan firman Allah SWT
dalam ayat 59.
Berikut ini disalinkan
terjemahannya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka
hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta
izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana (QS An-Nur/24: 59”.
Allah SWT menutup sekali
lagi dengan firman-Nya: “Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”, dimana
menurut penjelasan Sayyid Qutb, ayat itu memberi penegasan bahwa Allah SWT
mengetahui kondisi jiwa-jiwa manusia dan adab-adab yang dapat memperbaikinya.
(bersambung)
***
Artikel sebelumnya:
Larangan Memasuki Rumah Orang Lain Sebelum Izin dan Salam
Larangan Mengikuti Langkah-langkah Setan dalam Berprasangka