“Beraninya engkau mencaci maki Muhammad, padahal aku telah memeluk agamanya? Coba lakukan penghinaanmu kepadaku jika engkau benar-benar jantan!”
Setelah berkata begitu, Hamzah melayangkan anak panahnya. Bunyinya mendecit, cepat , dan keras sehingga kepala Abu Jahal pun terluka.
Beberapa teman Abu Jahal serempak berdiri. Tampaknya, perkelahian tidak terhindarkan lagi. Ketika Abu Jahal melihat ini, ia mengangkat tangan untuk mencegah teman-temannya. Abu Jahal yakin, dalam keadaan seperti itu, Hamzah tidak akan ragu-ragu membunuh orang.
--------
PEDOMAN KARYA
Senin, 15 November 2021
Kisah
Nabi Muhammad SAW (36):
Hamzah
bin Abdul Muthalib Menantang Abu Jahal
Penulis:
Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
Singa
Padang Pasir
Orang-orang terus
menertawakan Rasulullah setiap kali lewat. “Pembohong besar! Orang gila! Tukang
sihir!” Abu Jahal terus menyemangati orang-orang yang mengejek sambil kerap
kali melontarkan caci maki juga.
Rasulullah mendadak
berhenti melangkah. Beliau berpaling dengan tenang menghadap Abu Jahal, dengan
sorot matanya tajam. Abu Jahal berhenti dan terdiam. Dengan wajah sayu penuh
belas kasihan, Rasulullah memandang orang-orang kecil yang mengejeknya.
Seketika, sorak-sorai pun
mereda. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu terpesona melihat keadaan
Rasulullah. Baru kali ini mereka seolah disadarkan, betapa menyakitkannya
ejekan mereka itu diterima Rasulullah.
Sorot mata Rasulullah
seolah berkata, “Mengapa kalian mengejekku? Bukankah aku sedang berjuang
menyelamatkan kalian dari kekejaman bangsa Quraisy dengan membawa Islam yang
mulia? Seandainya kalian tahu, ejekan Abu Jahal itu tidak begitu menyakitkan
dibanding kata-kata kalian, sebab kepada kalianlah Allah menyuruhku menebar
kasih sayang.”
Tanpa sepatah kata pun,
Rasulullah berlalu. Orang-orang bubar dengan membawa perasaan masing-masing.
Tatapan Rasulullah tadi sangat berkesan di hati seorang budak perempuan. Ketika
budak itu berjalan pulang, ia melihat Hamzah bin Abdul Muthalib datang.
Hamzah adalah paman Nabi,
usia mereka hampir sebaya. Dari kecil, Rasulullah dan Hamzah dibesarkan
bersama, bermain bersama, dan menjadi sahabat karib. Karena itulah Hamzah
begitu menyayangi Rasulullah.
Hamzah berjalan gagah dan
bangga memasuki Mekah. Ia betul-betul laki-laki perkasa dengan perawakan tinggi
dan kekar. Dengan wajah angkuh, Hamzah melangkah sambil menyandang busurnya. Ia
habis berburu.
Orang-orang yang
melihatnya pun berbisik kagum. Namun, budak perempuan tadi merasa ada yang
janggal, mengapa orang segagah ini tidak membela Muhammad, keponakannya
sendiri?
Mengapa ia bisa setenang
itu? Tahukah ia bahwa Muhammad keponakannya, dicaci maki orang? Muhammad dihina
pemimpin kabilah lain yang menjadi saingan Bani Hasyim!
Pantaskah ia disebut
sebagai pemuda perkasa yang pantang menyerah pada lawan, sedangkan ia tidak
berbuat apa pun ketika seorang keluarga Bani Hasyim dicaci maki orang?
Dengan dada hampir
meluap, budak perempuan itu menegur Hamzah, “Tuan, tidak tahukah Anda apa yang
menimpa kemenakanmu itu?”
Hamzah berhenti dan budak
perempuan itu menceritakan apa yang dilihatnya. Dalam sekejap saja, wajah
Hamzah memerah. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik menuju Ka’bah dengan langkah
bergegas. Ia mencari Abu Jahal.
Kebimbangan
Hamzah
Di depan Ka’bah, Abu
Jahal bercerita kepada beberapa temannya, “Puas rasanya melihat Muhammad dicaci
begitu banyak orang”, ujar Abu Jahal, “Kalau kuberi semangat sedikit lagi,
bukan tidak mungkin mereka akan memukulinya.”
Teman-temannya terlihat
ikut bersemangat. Beberapa orang mulai ikut bicara, tetapi mendadak semuanya
terdiam dan memandang ke satu arah. Abu Jahal ikut menoleh dan seketika
kerongkongannya tercekat. Hamzah bin Abdul Muthalib, sang pahlawan Bani Hasyim,
menjulang di belakangnya dengan mata menyala tanpa ampun.
“Beraninya engkau mencaci
maki Muhammad, padahal aku telah memeluk agamanya? Coba lakukan penghinaanmu
kepadaku jika engkau benar-benar jantan!”
Setelah berkata begitu,
Hamzah melayangkan anak panahnya. Bunyinya mendecit, cepat , dan keras sehingga
kepala Abu Jahal pun terluka.
Beberapa teman Abu Jahal
serempak berdiri. Tampaknya, perkelahian tidak terhindarkan lagi. Ketika Abu
Jahal melihat ini, ia mengangkat tangan untuk mencegah teman-temannya. Abu
Jahal yakin, dalam keadaan seperti itu, Hamzah tidak akan ragu-ragu membunuh
orang.
Dengan napas tersengal,
Abu Jahal memegangi kepalanya. Ia berkata sambil menahan marah, “Kita tinggalkan
saja dia! Aku memang telah mencaci maki kemenakannya.”
Mereka pun pergi dengan
geram dan murung. Namun, hati Hamzah belum lagi lega. Ia pulang dengan bimbang,
“Mengapa begitu mudah kutinggalkan agama nenek moyangku?”
Setelah melewati malam
yang gelisah, Hamzah akhirnya berdoa, “Ya Tuhan, jika Muhammad benar,
teguhkanlah hatiku. Jika Muhammad salah, jauhkanlah aku darinya!”
Hamzah menemui Rasulullah
dengan sedih dan menceritakan semua kegelisahan hatinya. Rasulullah lalu
membacakan beberapa ayat Al-Qur’an.
Perlahan, hati Hamzah
dipenuhi rasa tenang, haru, dan kagum. Dengan bulat hati, ia pun berkata, “Aku
menyaksikan bahwa engkau itu sungguh benar, maka itu tampakkanlah agamamu, hai
anak saudaraku!”
Bukan main bersyukurnya
Rasulullah. Kini, Islam telah memiliki benteng yang kuat dalam menghadapi
kekerasan Quraisy. Hamzah memeluk Islam pada akhir tahun ke enam kenabian
(nubuwwah).
Orang-orang Quraisy tidak
putus asa, Mereka mempunyai cara lain untuk menekan perjuangan Rasulullah.
Singa
Allah dan Singa Rasul-Nya
Kemudian seluruh kegagahan Hamzah dibaktikannya untuk membela Allah dan agama-Nya, sehingga Rasulullah memberi Hamzah julukan istimewa, Singa Allah dan Singa Rasulullah. Hamzah adalah komandan Sariyah yang pertama. Sariyah adalah pasukan Muslim yang berangkat tanpa disertai Rasulullah. (bersambung)
Kisah sebelumnya: