- Achmad Ramli Karim -
----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 28 Februari
2023
Ancaman
Sekularisasi di Balik Isu Politik Identitas
Oleh:
Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik &
Pemerhati Pendidikan)
Apakah isu politik
identitas adalah sikap kehati-hatian karena adanya indikasi ancaman
disintegrasi bangsa, ataukah suatu strategi politik pecah belah sebagai dasar
memisahkan nilai-nilai agama dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan
Indonesia?
Isu politik identitas
kembali marak dihembuskan dalam penjaringan Capres dan Cawapres menjelang
Pemilu 2024. Isu politik identitas bagaikan bola liar menggelinding tanpa arah
dan tujuan, namun dapat menimbulkan multitafsir. Siapapun dan kelompok manapun
dapat menafsirkan isu tersebut berdasarkan sudut pandang masing-masing, ibarat
orang buta memegang bagian tubuh seekor gajah.
Jika kita jeli
mengamati gelinding bola liar tersebut, sepertinya mengarah ke arah gawang umat
Islam sebagai pihak yang tersudutkan. Politik identitas seakan-akan diidentikkan
dengan paham radikal (radikalisme) dan terorisme oleh sang penafsir yang
menggelindingkan bola liar itu sendiri.
Padahal, identitas dan
radikalisme sungguh jauh berbeda antara bumi dan langit. Identitas menunjukkan
ciri khas suatu kaum atau petunjuk dan tanda pengenal seseorang yang membedakan
dengan orang lain, seperti identitas kependudukan, identitas trigonometri,
serta identitas pelajar dan Mahasiswa.
Dalam konteks negara
Indonesia, dikenal dengan identitas nasional. Identitas nasional adalah
manifestasi dari nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat yang beraneka-ragam suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Masyarakat yang
dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan
Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika, sebagai dasar dan arah pengembangannya.
Sementara nilai-nilai
budaya bangsa (kebudayaan nasional), tumbuh dan berkembang dari nilai-nilai
agama pemeluknya (masyarakat), khususnya nilai-nilai peradaban dan budaya
Islam, sebagai penduduk mayoritas.
Lebih-lebih dalam dunia
pendidikan dengan lahirnya lembaga pendidikan pertama dan utama di Indonesia,
seperti Muallimin, Madrasah, dan Pondok Pesantren. Begitu juga dalam penerapan
hukum/syariat Islam bagi masyarakat muslim, seperti adanya lembaga Peradilan
Agama khusus mayoritas penduduk yang beragama Islam.
Oleh sebab itu, tidak
tepat umat Islam dicurigai radikal jika berpolitik dengan mengedepankan
nilai-nilai moral, dan integritas nasional seperti kejujuran, ikhlas dan tulus,
tegas dan berani, adil dan bijaksana, mendahulukan kepentingan umum (amanah),
serta mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran yang bersumber dari
ajaran islam, dapat diidentikkan dengan radikalisme dan terorisme.
Sungguh biadab tuduhan
itu karena semua nilai-nilai sosial tersebut merupakan identitas nasional
bangsa Indonesia, yang bersumber dari nilai-nilai religius (politik identitas).
Justru yang patut
dikhawatirkan dan dicurigai kalau ada kepentingan politik jangka panjang yang
terselubung di balik isu politik identitas itu sendiri, yang mengarah kepada
program sekularisasi di Indonesia.
Sekularisme
Sekularisasi adalah
sesuatu hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada
nilai-nilai dan ajaran agama. Dengan kata lain, sekularisasi mengarah kepada
keyakinan bahwa ketika masyarakat ingin berkembang terutama melalui modernisasi
dan rasionalisasi, agama kehilangan kekuasaannya di semua aspek kehidupan
sosial dan pemerintahan.
Betul Indonesia bukan
negara teokrasi (negara agama) atau pemerintahan yang berpegang pada kedaulatan
Tuhan, melainkan kedaulatan rakyat (negara demokrasi).
Demikian juga bukan
negara sekuler yang memisahkan urusan politik dan pemerintahan dengan agama,
melainkan negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan YME.
Artinya segala sesuatu
baik yang berkaitan kemasyarakatan, politik, kehidupan berbangsa dan bernegara,
selalu disandarkan atas keyakinan adanya berkah dan Rahmat Allah SWT, karena
bangsa Indonesia akan selalu berdasar dan berlandaskan atas Ketuhanan YME.
Menkopolhukam Mahfud
MD, mengatakan, Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler,
tetapi “religius nation state” atau negara kebangsaan yang berketuhanan.
Sekularisasi memiliki
tingkatan arti, yaitu sebagai “teori atau proses sejarah”. Karl Marx, Sigmund
Freud, Max Weber, dan Emile Durkheim, menyatakan bahwa modernisasi masyarakat
akan mendorong penurunan tingkat religiusitas.
Dalam istilah politik,
sekularisme (paham sekuler) adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan
pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara
pemerintahan dan agama, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil dan
lambat lain menghilangkan pengaruh hukum agama di dalam hukum positif.
Sekularisme sangat
mempengaruhi penghayatan hidup manusia dalam aspek keagamaan dan keimanan,
melalui godaan materi dan kepentingan. Olehnya itu, pendekatan materi dan
kepentingan sangat ampuh menggoda dan mendorong manusia untuk bersikap dan
bertindak melampaui batas ajaran agamanya.
Program sekularisasi di
Indonesia dapat diduga adanya dari berbagai regulasi dan program pendidikan
nasional, seperti (1) hilangnya frasa agama dalam kurikulum pendidikn nasional,
(2) dihapusnya jenis pendidikan madrasah dalam kurikulum pendidikan nasional,
(3) perombakan pondasi kurikulum pesantren melalui regulasi (UU Pesantren).
(4) diperkenalkannya
taqline “jika negara ingin maju dan berkembang, maka pendidikan Islam harus
dihapus”, (5) konsep dan pemikiran untuk memisahkan masalah politik dengan
urusan agama, urusan agama adalah urusan pribadi masing-masing.
(6) terbitnya Kepres
No. 17 tahun 2022 yang dapat diindikasikan sebagai landasan legalitas formal
pengampunan bagi pelaku G30S/PKI, (7) dan terakhir pernyataan person pejabat
publik yang menganggap bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama.
Bertolak dari
indikasi-indikasi tersebut di atas, dapat diduga bahwa program sekularisasi
terlaksana secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilancarkan
melalui 3 jalur, yaitu:
a). Jalur regulasi dan
perundang-undangan,
b). Jalur pendidikan,
melalui revisi Kurikulum Nasional Pendidikan,
c). Jalur peradaban
masyarakat, melalui 3 (tiga) pilar peradaban Islam, yaitu; masjid, pondok
pesantren, dan kampus.
Dengan mematikan dan
melumpuhkan kekuatan moral dan sosial ketiga lembaga pendidikan tersebut
melalui strategi pembentukan opini publik, lewat isu bahwa ketiga lembaga
tersebut terpapar radikalisme dan terorisme.
Semoga masyarakat
Indonesia masih paham akan sejarah bangsanya, bahwa hal yang membakar semangat
juang para syuhada adalah pekikan takbir Allahu Akbar!, Allahu Akbar!' Allahu
Akbar!
Kemerdekaan dapat
dicapai atas jasa-jasa para ulama, santri, dan tokoh-tokoh bersama umat Islam,
termasuk nilai-nilai (butir-butir Pancasila) budaya bangsa oleh mereka.
Kepentingan
Ekspansi di Balik Politik Devide et Impera
Hal yang perlu disadari
oleh segenap komponen bangsa adalah sejarah penjajahan bangsa Belanda yang
mampu menguasai hasil bumi sekaligus menguasai wilayah Indonesia (sistem
kolonialisme), melalui politik devide et impera.
Politik Devide et
impera atau yang dikenal sebagai politik
adu domba dan politik pecah belah, yaitu strategi politik untuk menguasai atau
melumpuhkan suatu kelompok, baik dengan pengaruh besar ataupun kecil agar
terpecah-belah. Seperti yang dialami oleh PKS terpecah dengan Partai Gelora,
PAN dengan Partai Ummat, dan hampir pula Partai Demokrat namun tidak berhasil.
Politik adu domba
(Devide et impera) pertama kali diberlakukan oleh penjajah Belanda, untuk menghancurkan
persatuan bangsa Indonesia. Dan tokoh yang mendapatkan julukan sebagai bapak
Devide et impera adalah Van Mook.
Pemerintah Indonesia
seharusnya tetap berpedoman pada politik luar negeri yang “Bebas Aktif” dalam
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, baik dalam bentuk kerjasama
bilateral antara dua Negara, maupun kerjasama multilateral yang sifatnya global
guna menjamin integritas dan kedaulatan bangsa.
Yang dimaksud politik
luar negeri “bebas aktif” adalah politik luar negeri yang bebas menentukan
sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak
mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia, serta aktif
memberikan partisipasi dan bantuan dalam menyelesaikan komplik internasional
dan sengketa antar bangsa, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sebagaimana tujuan dan
citia-cita kemerdekaan bangsa Indonesia yang termaktub pada alinea keempat
dalam Pembukaan UUD 1945.
Belajar dari sejarah
bangsa terkait politik dagang yang dilancarkan oleh kaum imperialis dan
kolonial dimasa lalu, jangan sampai terulang kembali lewat strategi “politik
transaksional” di balik politik ekspansi yang dilancarkan oleh kaum kapitalis
(negara pemilik modal) melalui kekuatan oligarki.
Politik ekspansi adalah
perluasan wilayah suatu negara dengan menduduki (sebagian atau seluruhnya)
wilayah negara lain.
Begitu juga belajar
dari sejarah dunia tentang strategi politik ekspansi Bapak Komunis China, Mao
Zedong yang telah berhasil meruntuhkan Monarki (Kerajaan) Mongolia dengan
membantai dan memusnahkan seluruh keluarga dan kerabat bangsawan kekaisaran “Dinasti
Qing” yang telah berkuasa selama lima abad, diganti dengan negara demokrasi,
yaitu “negara sekuler raya”" kemudian berubah menjadi idiologi komunis
atau “Idiologi Maoisme”. Akhirnya kerajaan Mongolia berubah menjadi “Negara
Komunis Rakyat China (RRC)”.
Apakah dengan kerjasama
bilateral Indonesia dan RRC melalui bantuan (pinjaman) untuk proyek
inprastruktur, bukanlah bentuk politik ekspansi dan tidak mengancam kedaulatan
bangsa?
Jangan sampai kelak
akibat utang yang tidak mampu dibayar, Indonesia terancam menjadi “Negara
Indocina”. Hanya waktu dan fakta yang akan membuktikannya.
Namun perlu dipahami
dan diwaspadai bahwa setiap bantuan pinjaman dari negara donor (pemilik
modal/kapitalis), selalu dibarengi dengan beberapa persyaratan dari negara
donor yang wajib dipenuhi oleh negara penerima terkait politik dagang dan
ekspansi tersebut.
Mao Zedong atau nama
lain Mao Tse-Tung yang terkenal kejam ini adalah bapak komunisnya China.
Strategi politiknya adalah menguasai dan melumpuhkan negara tanpa perang.
Karena itu China (RRC)
sangat menghindari perang dalam menguasai suatu wilayah (negara), melainkan
menggunakan politik ekspansi. Karena jika ada perang akan gagal semua rencana
proyek China untuk menguasai wilayah tersebut.
“Politik adalah sebuah
peperangan besar tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah peperangan
dengan pertumpahan darah”. (Mao Zedong).
Pemikiran Mao Zedong
yang dipakai sebagai falsafah komunis rakyat China, dikenal dengan “Idiologi
Maoisme” yaitu komunis yang telah dicinakan dengan kultur rakyat Cina.
Idiologi Mao Zedong
disebut dengan paham Maoisme, yang merupakan varian dari ajaran
Marxisme-Leninisme yang berasal dari ajaran pemimpin komunis Karl Marx dan
Lenin.
Idiologi Maoisme ini di
Indonesia dikenal dengan istilah Komunis Gaya Baru (KGB) atau New Komunis,
adalah bahaya laten yang merupakan bahaya disintegrasi bangsa. Karena memiliki “daya
perusak” tinggi terhadap pemikiran dan paham keagamaan, serta mengancam perpecahan
umat beragama dan kaum pribumi melalui isu politik identitas sebagai strategi
pecah belah bambu (yang satu diangkat, yang lain diinjak).
------
Penulis: Drs Achmad Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Ketua Presidium Forum Generasi Muda Islam (GEMUIS), Ketua Koorda Alumni IPM/IRM Kabupaten Gowa.