-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 28 Mei 2023
Puisi
“Aku Ingin” Handrawan Nadesul:
Hanya
Serimbun Kata-kata Manis
Oleh:
Mahrus Andis
(Seniman, Budayawan,
Kritikus Sastra)
Seorang teman mengirimi
saya sebuah puisi. Katanya, ia petik dari beranda fesbuk, karya seorang penyair
nasional yang namanya sudah melegenda di lembaran sejarah perpuisian. Namanya,
Handrawan Nadesul.
Saya kenal nama itu.
Sejak tahun 1970-an saya sering membaca tulisan-tulisannya.
Handrawan Nadesul
seorang dokter yang lahir di tahun 1948. Ia lebih dikenal sebagai penulis
artikel atau opini tentang kesehatan. Keterlibatannya dalam dunia sastra,
menurut saya, tidak terlalu serius. Itu dibuktikan dengan puisi-puisinya yang “biasa-biasa”
saja. Saya sebut “biasa-biasa” sebab puisi-puisi yang dia cipta (tentu yang sudah saya baca)
tidak melebihi puisi-puisi teman yang ada di laman fesbuk.
Terakhir ini ia
menerbitkan kumpulan puisinya yang baru berjudul “Syair-Syair ini Untukmu”. Salah
satu puisi Handrawan di buku itu, yang dikirim oleh teman kepada saya, berjudul
“Aku Ingin”. Mari kita baca berikut ini.
AKU INGIN
Aku ingin memelukmu
dengan cara sederhana, kehangatan api yang menjadikan jemariku tertegun di
pinggangmu. Dikepung cahaya, aku abu dalam suluhmu, kayu yang luluh menjadi
bara, terkulai tangkaiku di ujung bajumu.
Aku ingin mengecupmu
dengan cara sederhana, bara yang membakar unggun purnama, meleburkan karang,
hanyut aku dalam kasihan ombak, terpanggang takjub kusibak gaunmu, menyelam aku
dalam rembulanmu.
Aku ingin mencintaimu
dengan cara sederhana, jauh kata dari terang matamu, cahaya yang menyirami
dahan, aku tunas terpukau pada rantingmu, rahasia sepasang kunang-kunang yang
riang, mengutus sayap-sayapnya menemukan telapak bulan, berpegangan kita
terbang melayang
2023
Membaca puisi tersebut,
boleh jadi hati kita gampang terkecoh. Merasa kagum setelah menyelinap ke
rimbun diksi-diksi yang indah. Saya akui, puisi ini cukup kaya dengan pilihan
kata puitis. Nyaris semua larik disesaki oleh ungkapan-ungkapan yang bernilai
artistik. Dan lebih jauh, boleh jadi kita terkecoh menyebutnya puisi sufistik
(beraroma tasawuf).
Tentang rimbunan
kata-kata manis tersebut, saya mencoba mencatatnya seperti di bawah ini.
1. Aku ingin
mencintaimu dengan cara sederhana.
2. Kehangatan api yang
menjadikan jemariku tertegun di pinggangmu.
3. Dikepung cahaya, aku
abu dalam suluhmu.
4. Terkulai tangkaiku
di ujung bajumu.
5. Bara yang membakar
unggun purnama.
6. Hanyut aku dalam
kasihan ombak.
7. Kusibak gaunmu,
menyelam aku dalam rembulanmu.
8. Rahasia sepasang
kunang-kunang yang riang, mengutus sayap-sayapnya menemukan telapak bulan
9. Berpegangan kita
terbang melayang.
Ada sembilan ungkapan
puitik (baca: mikroteks) yang saya catat di puisi itu. Semuanya indah. Sekali
lagi, indah. Karena bahasanya indah maka terasa manis dikunyah.
Tapi, cukupkah jika
puisi itu hanya indah? Penyair selevel Handrawan Nadesul tentu tidak “layak”
meng-iya-kan itu. Dia penyair senior. Dia tidak boleh terpasung dalam
romantisme bahasa puber dimabuk cinta platonis.
Coba perhatikan kembali
ke-9 ungkapan puitik yang saya catat di atas. Teliti satu persatu. Makna
semiotik apa yang dapat kita reguk dari tumpukan diksi-diksi yang merimbun itu?
Terlepas dari dimensi sintaksis, adakah makna semantik dan filosofis di balik
puisi itu?
Bagi saya, puisi
Handrawan tersebut tidak lebih dari permainan kata-kata yang manis. Ia sekadar
hiburan bagi pembaca yang letih dan tak ada waktu untuk menukik ke dalam lubuk
perenungan batin.
Plato sendiri, filsuf
Yunani Kuno (428-427 SM), tidak cukup hanya dengan estetika (keindahan bahasa),
tapi juga ada etika (nilai-nilai moral) dan logika (ketepatan makna secara
organis) dalam sebuah puisi. Nah, kedua dimensi (etika dan logika) ini tidak
terasa pada puisi “Aku Ingin” tersebut.
Bahkan, kalau mau
jujur, sebaiknya Handrawan tidak menggunakan frasa “Aku Ingin” sebagai judul
puisi. Apalagi melafazkannya ke dalam sebuah larik, sebagaimana yang saya catat
pada ungkapan nomor 1 di atas. Mengapa? Pasalnya, ungkapan itu sudah tergolong
klise. Penyair Sapardi Djoko Damono sudah memiliki “hak paten puitika” atas
ungkapan tersebut.
Di tahun 1989, Sapardi
sudah menulis puisi dengan judul yang sama:
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan kata yang tak
sempat diucapkan kayu
kepada api yang
menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan awan
kepada hujan yang
menjadikannya tiada
-1989-
Cinta Sapardi Djoko
Damono di atas, jelas kontennya. Cinta transendensial, ikhlas dan semua manusia
sanggup memilikinya dengan ikhtiar, walaupun melalui cara yang sederhana. Diksi
“aku ingin” pada puisi ini adalah harapan Tuhaniah yang harus terkondensasi
menjadi cita-cita universal bagi kebahagiaan umat manusia dan seluruh alam
semesta.
Berbeda dengan “aku
ingin” dalam puisi Handrawan Nadesul. Ia sekadar keinginan imanensial, harapan
manusiawi yang eksklusif untuk satu keinginan, yaitu: “ ... berpegangan kita
terbang melayang”, seperti pada ending puisinya.
Di usia 75 tahun, tentu
Handrawan Nadesul bukan lagi penyair kreatif seperti di masa lalu. Akuratisasi
perenungan batin boleh dibilang nyaris pupus dilindas kesibukan
rutinitasnya sebagai dokter.
Karena itu, sangat
disayangkan apabila antologi puisi barunya yang berjudul “Syair-Syair ini
Untukmu” dironai satu puisi yang suasana ideologis dan semiotika bahasanya
mirip karya Sapardi Djoko Damono. Benar tidak haram, namun nilai kebaruan suatu
puisi tercemar oleh ketidaksadaran meniru temuan bahasa orang lain. Demikian, dan salam sastra.
Makassar, 28 Mei 2023