Vihara Ibu Agung Bahari. |
------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 23 Juni 2023
Tertua
di Makassar, Vihara Ibu Agung Bahari
Oleh:
Ramli S. Nawi
Salah satu vihara
tertua di Makassar, adalah Vihara Ibu Agung Bahari. Usianya ratusan tahun
lebih. Keberadaannya di Makassar patut dibanggakan karena masuk situs sejarah
yang dilindungi undang-undang kepurbakalaan.
Vihara Ibu Agung Bahari
yang terletak di ujung selatan Jalan Sulawesi No.41 sejak kehadirannya menjadi
ikon Kota Makassar dan selalu ramai dikunjungi, baik turis lokal maupun turis
mancanegara.
Vihara Ibu Agung Bahari
dibangun dengan arsitektur China, yang cukup menarik dipandang. Bangunan vihara
ini yang sudah berusia ratusan tahun membuktikan bahwa kedatangan orang-orang
Tionghoa di Sulawesi Selatan sudah berabad-abad lamanya.
Vihara Ibu Agung Bahari
tersebut menjadi pusat kebudayaan orang-orang Tionghoa, di saat ada hari-hari
perayaan seperti Imlek, sembahyang arwah dan perayaan-perayaan besar lainnya. Perayaan
biasanya diramaikan dengan musik tradisional tanjidor, atraksi barongsai, dan
lain sebagainya.
Salah satu bukti
sejarah adalah vihara dan klenteng yang membuktikan bahwa etnis Tionghoa
keberadaannya di Indonesia sudah berabad-abad lamanya. Walaupun kehidupan
mereka selalu diwarnai dengan kondisi politik dari sejak Orde Lama, Orde Baru,
dan era reformasi saat ini.
Bukti sejarah tersebut
di atas menandai bahwa kedatangan orang-orang Tionghoa tidak lain adalah untuk
berniaga dan bahkan sampai masuk ke pelosok pelosok kampung yang ditandai
dengan bukti-bukti fisik yang sangat spesifik. Seperti yang dijelaskan dalam
sejarah pada abad ke-14 dan abad ke-15 di masa Dinasti Tang dan Dinasti Ming.
Dari sejak itu orang-orang Tionghoa yang datang dari daratan China mulai
memasuki pesisir selatan Makassar, dengan menumpang kapal-kapal besar dengan
membawa berbagai barang-barang dagangan untuk diperdagangkan.
Pedagang-pedagang asal
Tiongkok ini lalu bersepakat membentuk suatu komunitas di pesisir pantai. Dari
sinilah awal terbentuknya perkampungan China di Makassar yang lazim disebut Kawasan
Pecinan, yang saat ini meliputi beberapa jalan di jantung kota Makassar, seperti
Jalan Sulawesi, Jalan Lembe, Jalan Timur, Jalan Bacan, Jalan Sangir, dan
beberapa jalan lainnya yang tidak jauh dari Pelabuhan Makassar.
Etnis Tionghoa ini hidup
berdampingan dengan orang-orang setempat dan saling berbaur satu sama lain.
Mereka pada umumnya yang pendatang berprofesi sebagai pedagang yang tentu saja
menggantungkan hidup mereka kepada kebaikan laut dalam menempuh perjalanan
untuk melakukan perdagangan.
Mereka lalu mendirikan
klenteng bernama Thian Hou Kiong (Istana Ratu Laut) atau Ma Tjo Poh. Klenteng
ini dibangun oleh Kapitan Lie Lu Chang tahun 1738. Jika melihat prasasti yang
ada di klenteng tersebut, sudah pernah berdiri sekitar 100 tahun sebelumnya di
Hoogepad, sekarang Jalan Achmad Yani.
Setelah VOC berkuasa di
Makassar, klenteng tersebut dipindahkan ke Jalan Sulawesi No.41 Makassar.
Tempat peribadatan tersebut diadakan untuk tempat bersembahyang memuja Dewi Ma
Tjo Poh, yang dipercayai oleh masyarakat Tionghoa tradisional sebagai Dewi Pembawa
Berkah dan Keselamatan di Laut.
Dari
Klenteng Berubah Menjadi Vihara
Klenteng Ma Tjo Poh akhirnya
berubah nama menjadi Vihara Ibu Agung Bahari. Itu terjadi seiring berjalannya
waktu ke waktu dan dipengaruhi dengan munculnya kondisi-kondisi seperti
terjadinya kerusuhan di Makassar pada tahun 1997.
Tragedi tersebut
menimbulkan banyak kerusakan dan kerugian, termasuk dibakarnya klenteng Vihara
Ibu Agung Bahari dan mengalami kerusakan di bagian-bagian tertentu.
Tragedi Makassar
menimbulkan rasa takut di kalangan orang-orang Tionghoa sehingga mereka tidak
pergi beribadah memuja atau menyembah Dewi Ma Tjo Poh, menyebabkan banyak yang
beralih kepercayaan memeluk agama Budha lalu kemudian merubah sedikit fungsi
klenteng menjadi fungsi vihara.
Setelah tragedi
tersebut berlalu yang meninggalkan trauma bagi mereka, timbullah keinginan
untuk kembali membangun klenteng yang rusak. Yang bertindak selaku koordinator
dan mengkoordinir umat Budha di Makassar untuk rencana pembangunan tersebut
adalah Soedirjo Aliman, tepatnya pada tahun 2003. Akhirnya rencana pembangunan
Vihara Klenteng Ibu Agung Bahari berjalan dengan baik sebagaimana yang
dikesepakati.
Dengan berdasarkan
Surat Izin Wali Kota Makassar Nomor : 503/86/ IMB/ KPP/2003 tanggal 14 Januari
2003. Wali Kota Makassar, saat itu memberikan surat izin kepada Soedirjo Aliman
untuk melakukan pembangunan.
Maka saat itu
dilakukanlah pembangunan yang tidak melupakan aspek sejarah bangunan Vihara Ibu
Agung Bahari, kecuali bagian pintu masuk dan bagian sayap kiri. Dari hasil
pembangunan Klenteng Ma Tjo Poh, yang diinisiasi dan dikoordinir oleh Soedirjo
Aliman, klenteng yang kini bernama Vihara Ibu Agung Bahari, berdiri megah dan
berlantai empat yang bersebelahan dengan Pelabuhan Makassar.
Vihara Ibu Agung Bahari
kini setiap saat dikunjungi oleh umat Budha untuk beribadah yang datang dari
berbagai daerah di Sulawesi Selatan, dan bahkan ada yang datang dari luar
Sulawesi Selatan.
Hampir setiap saat di
klenteng tersebut yang berdiri megah di jalan Sulawesi acap kali ada perayaan-perayaan
hari besar orang-orang Tionghoa. Pengunjung yang datang dapat melihat arsitektur
khas Tionghoa dengan berbagai tampilan menarik hasil dari karya seniman orang-orang
Tionghoa dan tampilan-tampilan menarik lainnya di antaranya keunikan yang
disajikan dengan motif dekoratif yang sangat menarik.
Adapun luasnya 660 m2
terdiri dari 4 bagian. Bagian pertama adalah berupa halaman atau gapura,
kemudian yang kedua, unit utama adalah pusat vihara terbagi atas teras, bagian
tengah dan bagian dalam.
Ketiga, di bagian kiri
atau sayap kiri terdapat kamar yang saling berhubungan. Kemudian bagian
belakang adalah tempat sembahyang.
Vihara ini juga dapat
menampilkan warna-warna mencolok merah sebagai warna dasar dengan hiasan sepasang
lukisan panglima perang. Juga ada dua patung singa yang menyambut setiap
kedatangan orang yang memasuki vihara yang letaknya kiri dan kanan pintu masuk.
Patung kiri merupakan
singa betina dan kanan adalah jantan dan tinggi kedua patung tersebut 85 cm.
Keseluruhannya berukir serta kaki kiri masing-masing memegang bola dengan motif
selendang berwarna merah melingkar di bagian tubuhnya.
Kedua patung singa
melambangkan kekuatan agung dan megah, keberanian dan ketabahan. Diyakini bahwa
patung tersebut penolak bala dan mencegah masuknya pengaruh jahat. Juga ada dua
prasasti pada bagian depan vihara menggunakan aksara dan bahasa mandarin
ditulis dengan tinta dan cat merah.
Beberapa juga tulisan
terlihat di pinggir atas berwarna kuning keemasan serta tulisan berwarna hitam
di bagian dasar dan lukisan-lukisan Tionghoa di kedua prasasti. Sementara
dibagian atas prasasti terdapat ukiran berbentuk dua ekor naga berukuran kecil
dan di bagian bawahnya ada juga ukiran satu ekor naga berukuran agak besar.
Baru-baru ini Balai
Pelestarian Kebudayaan Wilayah XlX dengan suratnya tanggal 15 Juni 2023, nomor
0731/F 7. 21 / HM. 00.00/2023, memberikan keterangan bahwa Vihara Ibu Agung
Bahari yang terletak di Jalan Sulawesi No. 41 Kelurahan Pattunuang, Kecamatan
Wajo, Kota Makassar, terdaftar dan terinventarisasi dengan nomor inventaris 342
sebagai bangunan cagar budaya dengan nama Klenteng Ibu Agung Bahari.***
Dikutip dari berbagai
sumber.