Kembalikan Muruah Organisasi PWI

TINGGAL KENANGAN. Gedung PWI Sulsel di Jalan AP Pettarani, Makassar, kini tinggal kenangan bagi anggota PWI Sulsel, karena gedung tersebut telah diambil alih kembali oleh Pemprov Sulsel. Inzet: M Dahlan Abubakar.   


-----

PEDOMAN KARYA

Ahad, 30 Juli 2023

 

Kembalikan Muruah Organisasi PWI

 

Catatan M. Dahlan Abubakar

(Wartawan Utama)

 

Sebenarnya saya sudah malas ngomongin organisasi PWI, baik yang di pusat, terlebih lagi di Sulawesi Selatan. Di pusat, organisasi ini berlumuran dengan pelanggaran organisasi. Di Sulawesi Selatan lebih parah lagi, sedang menuju “genosida” anggota dan yang sudah pasti menghancurkan rumahnya sendiri..

Saya terpicu untuk menulis catatan ini sekadar untuk meramaikan dan juga mengingatkan khalayak wartawan yang berpikir nalar dalam menyikapi rentetan pelanggaran yang “ditayangkan” Pengurus PWI Pusat selama periodenya. Kehancuran organisasi di Sulsel ternyata memvirus ke Jakarta.

Mengutip catatan sobat Zulhadi, menjelang Kongres XXV PWI di Bandung September 2023, permasalahan ini perlu dibahas, tidak sekadar diwacanakan. Ini perlu untuk memastikan bahwa mereka yang mencoba mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PWI Pusat harus bebas dari cacat perilaku berorganisasi masa lalu di organisasi ini.

Saya selama ini tidak pernah mau pusing dengan organisasi ini, tetapi perilaku berorganisasi segelintir oknum pengurus PWI Pusat mengganggu nalar etis saya yang mencintai organisasi ini. Organisasi yang di tingkat provinsi pernah saya menej empat puluh tahun silam, ketika salah seorang oknum pengurus PWI Pusat sekarang belum ada dan tidak dikenal sama sekali di belantara organisasi wartawan di Sulawesi Selatan, apalagi di pusat. 

Saya masih ingat benar, 16 Januari 2019, setahun setelah terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat periode 2018-2023 di Kongres XXIV PWI di Solo, mengalahkan Hendry Ch. Bangun dengan selisih suara,tipis, 2, saya mampir di ruang kerja Bang Atal di Gedung Dewan Pers Jl. Kebon Sirih Jakarta.

Pada hari itu sebenarnya saya sama sekali tidak mengagendakan bertemu dengan Ketua UmumPWI. Sebab, ketika saya tiba di Kantor PWI atas undangan Dewan Kehormatan PWI Pusat untuk mengklarifikasi mengenai Yayasan Lembaga Pers Sulawesi Selatan (YLPSS) yang saya pimpin, Bung Atal belum tiba di kantor.

Sedikit cerita, gara-gara mendirikan yayasan ini, saya bersama beberapa wartawan senior anggota PWI Sulawesi Selatan diancam dipecat sebagai anggota PWI oleh Pengurus PWI Sulsel yang sedang berkuasa. Mereka berdalih, yayasan ini dianggap sebagai kompetitor PWI. Saya dan teman-teman menilai pengurus PWI Sulsel gagal paham tentang keberadaan sebuah yayasan.

Saya diterima Pak Sasongko di ruang kerjanya untuk mengklarifikasi persoalan yayasan ini. Dan, memang tidak ada masalah karena yayasan hanya menghimpun para wartawan senior yang “berpikiran maju” dalam suatu wadah, untuk melaksanakan kegiatan di bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) wartawan, dan melaksanakan berbagai program pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan kewartawanan.

YLPSS ini dalam salah satu agenda kegiatannya berhasil menghadirkan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, sementara PWI Sulsel sendiri tidak mampu menghadirkannya. Kecuali, pada peringatan Hari Pers Nasional (kalau tidak salah) Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah hadir, karena acaranya dilaksanakan di lingkungan rumah jabatan.

Yayasan ini.memang berhasil melaksanakan kegiatan tersebut bekerja sama dengan Media Indonesia Pos Group, pimpinan Burhanuddin Amin, salah seorang wartawan senior yang sejak 2010 disegregasi oleh Zulkifli Gani Ottoh, pascapemilihan Ketua PWI Sulsel yang sangat sarat dengan kecurangan, terutama pat gulipat suara.

(Saya telah menulis kasus ini dengan judul “menghipnotis angka-angka” yang membuat berang pengurus PWI Sulsel era itu dan mendesak saya meralat tulisan tersebut. Saya tidak pernah meralat karena merasa tidak ada yang salah. Pengurus PWI Sulsel yang diminta menunjuk letak kesalahan tulisan itu, juga tetap bungkam).

“Kembali ke laptop”. Sebelum meninggalkan Sekretariat PWI Pusat, saya ke ruangan Mbak Tati, perempuan pengabdi PWI Pusat yang selalu saya ingat. Ketika saya meliput Asian Games IX/1982 India (juga bareng Atal, Supardi [SH], Sumohadi Maris [Kompas], Hernawan [PR Bandung] dan lain-lain), mendiang L.E.Manuhua (Pemimpin Umum Harian Pedoman Rakyat, Makassar) selalu berpesan untuk mengambil perlengkapan administrasi perjalanan saya melalui Mbak Tati. Juga  dengan hal-hal lain yang berkaitan dengan PWI.

Saat di depan Mbak Tati ternyata Bang Atal menyusuli saya. Rupanya, Bang Marah Sakti Siregar yang menunggu teman untuk rapat dan sempat duduk bersama saya di sofa sebelumnya, memberi tahu Bang Atal kalau saya menanyakannya. Atal pun membatalkan niat saya segera meninggalkan Sekretariat PWI dengan mengajak ke ruang kerjanya.

Pada kesempatan ini, setelah melihat komposisi kepengurusan PWI Pusat, saya pun ‘curhat’  kepada Bang Atal.

“Carefully, please, with this one,” ujar saya dalam bahasa Indonesia waktu itu, tetapi jika di-Inggris-kan kira-kira seperti ini, sambil menyebut sebuah nama.

Saya tidak mengomentari panjang lebar alasan saya menyampaikan itu. Saya hanya ingin memberi “early warning” pada Bang Atal mengenai kemungkinan munculnya hal-hal yang kurang nyaman di kemudian hari dalam tubuh organisasi ini. Saya juga ingin Bang Atal memperbaharui ingatannya tentang rekam jejak yang bersangkutan di Sulsel.

Beberapa bulan kemudian, muncul kasus seorang yang menamakan diri wartawan melakukan pelanggaran etika jurnalistik di Kabupaten Enrekang. Yang bersangkutan membuat berita yang mengkritik Pemda setempat dengan menggunakan narasumber dirinya sebagai salah seorang pemerhati pemerintahan dalam berita yang dibuatnya tanpa konfirmasi sama sekali. Pemda yang tersengat oleh pemberitaan tersebut meminta bantuan polisi membekuk yang bersangkutan.

Berita “wartawan ditangkap” di Enrekang viral di media, khususnya di media daring. Mereka yang menamakan diri wartawan, lebih khusus anggota PWI bersimpati kepada yang bersangkutan. Begitu pun dengan pengurus PWI salah satu kabupaten di Sulsel tidak mau ketinggalan ‘nimbrung’ mengecam tindakan penangkapan terhadap wartawan tersebut.

Yang lebih hebat, muncul Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat memberi komentar atas nama Ketua Umum PWI Pusat memberi statemen yang bernada mendukung dan membela oknum wartawan yang belum jelas kewartawanannya itu.

Mereka yang berempati itu langsung mengecam tindakan aparat tanpa terlebih dahulu mengecek apa benar yang bersangkutan wartawan benaran. Ternyata, yang bersangkutan wartawan avonturir yang pernah dipecat oleh salah satu media daring di Makassar. Biangnya, dia memberitakan sangat miring terhadap seorang perempuan yang ternyata mantan pacarnya (bukan istri). 

Statemen Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat tersebut dikomentari oleh teman-teman wartawan senior yang menjadi korban segregasi PWI Sulsel. Teman-teman menilai, kasus oknum yang menamakan diri wartawan di Enrekang tersebut bukan urusan Bidang Organisasi, melainkan ‘gawe’-nya Bidang Pembelaan Wartawan. Kalau pun dari bidang ini turun dari pusat, itu juga ditertawai karena kasus ini jika menimpa anggota PWI di kabupaten menjadi wewenang Pengurus PWI kabupaten kalau ada atau PWI Provinsi.

Setelah berita Bidang Organisasi PWI Pusat mengatasnamakn Ketua Umum PWI Pusat, Bang Atal men-japri saya melalui whatsapp (WA).

“Saya tidak pernah memberi komentar mengenai kasus di Enrekang itu,” tulis Atal.

“Nah, saya kan sudah bilang waktu bertemu di ruang kerja Bang Atal. Carefully, please...,”balas saya.

Ternyata pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Pengurus PWI Pusat tidak terkendali. Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat dikirim mewakili PWI Pusat dalam suksesi PWI Sulsel 2020. Secara etika (yang tidak tertulis) supaya tidak terjadi benturan kepentingan, PWI Pusat sejatinya mencegah memberikan penugasan kepada Ketua Bidang Organisasi dalam suksesi di daerahnya.

Akal dan nalar waras orang sehat akan menilai, biasnya akan jelas. Mekanisme organisasi akan diobrak-abrik. Bayangkan saja, pada pembukaan Konferensi Cabang, laporan atau sambutan Ketua PWI Sulsel “dirapel” oleh Ketua Bidang Organisasi. Apa kata dunia?

Dalam sambutannya, Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat secara jujur mengakui (saya merekam sambutan ini dan kini tersimpan aman) bahwa di PWI Sulsel terjadi 4-5 kali pelanggaran organisasi. Gila. Mengapa dibiarkan hingga 4-5 kali tanpa ada usaha mencegahnya?

Kesalahan yang paling konyol adalah, Ketua, Sekretaris, dan Bendahara PWI Kabupaten Soppeng yang diangkat berdasarkan SK PWI Pusat, dipecat berdasar SK Pengurus PWI Sulsel. Jago kan? Tidak tahu, apa kata dunia yang mana pula ini?

Pemecatan Pengurus PWI Soppeng ini ternyata kemudian memantik rentetan dan tambang pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh PWI Sulsel, yang sebenarnya bisa saja dinasihati dan direm oleh Pengurus PWI Pusat, cq Bidang Organisasi.

Bayangkan saja, Plt Ketua PWI Soppeng itu diangkat wartawan yang ternyata anggota partai politik yang jelas melanggar Kode Perilaku Wartawan. Akhirnya, Ketua PWI Cabang Soppeng yang di-SK-kan PWI Pusat diangkat kembali sebagai sebagai Pelaksana Tugas yang dibebani tanggung jawab menghelat konferensi kabupaten.

“Organisasi macam apa ini?” saya membatin sambil menggeleng-geleng kepala.

“Daftar dosa” Pengurus PWI Pusat saya kira sudah terlalu banyak disinggung oleh teman-teman. Tetapi saya ingin menekankan dan juga menilai, ada segelintir oknum Pengurus PWI Pusat yang masih perlu belajar mengenai pentingnya memahami aturan main organisasi.

Ini penting karena saya belajar dan menyimak kasus pemilihan Ketua PWI Sumatra Barat yang sampai tiga periode. Kedua, setelah terpilih dan akan dilantik, dipersoalkan lagi bahwa yang bersangkutan adalah aparatur sipil negara (ASN) aktif yang belum diberhentikan oleh Badan Kepegawaian Nasional (BKN).

Menurut saya, ketika dia mencalonkan diri saja, sudah ada aturan di dalam PD-PRT (sejak 2018) yang mensyaratkan ASN tidak boleh menjadi kandidat Ketua PWI, kecuali dari LKBN Antara, TVRI dan RRI. Di sini saya melihat ada oknum Pengurus PWI Pusat gagal nalar menempatkan permasalahan ini.

Berikutnya, perihal SK DK PWI Pusat yang menskorsing Sdr. Zulkifli Gani Ottoh ternyata diabaikan oleh yang bersangkutan. Yang aneh, Pengurus PWI Pusat permisif saja menyikapi ini. Malah yang bersangkutan setelah keluar SK DK tersebut, baru mau mengklarifikasi, sementara ketika sebelumnya diundang mengklarifikasi, itu diabaikan.

Ini sangat lucu. Pengurus PWI Pusat dan DK itu adalah dua entitas yang masing-masing memiliki otonomi sendiri. Harus saling menghargai karena sama-sama dipilih oleh Kongres.

 

Sulsel Bagaimana?

 

Jika ada Pengurus PWI Provinsi yang ingin melakukan studi banding tentang kehancuran sebuah organisasi PWI, datanglah di Sulawesi Selatan. Bayangkan saja, pemerintah daerah yang meminjami fasilitas kantor digugat dan dijadikan “pesakitan” di pengadilan. Gugatan itu dilakukan karena menganggap gedung itu adalah milik PWI yang notabene dibeli dengan uang PWI Sulsel. Mana ada kas sebesar Rp 5 juta sekitar tahun 1997?

Yang lucu bin aneh lagi, setelah kalah di pengadilan, Pengurus PWI Sulsel malah minta gedung itu dihibahkan, Begitu kacaunya jalan pikir oknum tersebut. Ditambah lagi, pada aset pemerintah yang dipinjamkan,malah dikontrakkan kepada pihak ketiga yang duitnya tidak disetor ke kas Pemda. Nasib dana hasil mengontrakkan aset itu juga tidak jelas.

Di atas lahan Pemda dibanguni fasilitas. Yang super lucu, Pengadilan Negeri Makassar membebaskan yang bersangkutan karena tidak ditemukan unsur merugikan negara. Anehnya lagi, Pemprov Sulsel yang menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian malah menyegel Gedung PWI Sulsel di jalan sangat ramai Andi Pangerang Petta Rani Makassar. Pertanyaan dari si bahlul yang tolol, instansi mana yang waras adil dalam menilai persoalan gedung ini.

Setelah gedung PWI Sulsel ini disegel saya selalu melintas di depannya. Tidak ada maksud apa-apa. Saya hanya sedih. PWI Sulsel dengan semua oknum yang terlibat telah menorehkan kisah kelam dalam sejarah organisasi profesi wartawan tertua ini di mata publik Sulawesi Selatan. Muruah organisasi sudah lenyap bagaikan ditiup angin lalu. Cerita-cerita sukses kegiatan PWI Sulsel puluhan tahun silam telah tenggelam oleh sejarah yang kelam.

Harapan saya menghadapi Kongres XXV PWI di Bandung, pilih mereka yang mampu menjaga muruah organisasi profesi ini. Gunakanlah prinsip keledai, tidak akan pernah tersandung dua kali  pada batu yang sama. Wassalam.

 

Jakarta, 29 Juli 2023

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama