-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 14 Juli 2023
Undang-undang Pers Tidak Punya Turunan
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Mahasiswa S2 Ilmu Pemerintahan Universitas Pancasakti Makassar)
Dalam diskusi di grup WA (WhatsApp) Kelas S2 Ilmu Pemerintahan, kami
berdiskusi tentang analisis kebijakan publik mengenai latar belakang dan tujuan
lahirnya sebuah undang-undang. Setiap mahasiswa disuruh memilih satu undang-undang
untuk dianalisa dari sisi kebijakan publik.
Saya kebetulan memilih Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pers, karena saya kebetulan berlatar belakang profesi
wartawan.
Teman kami bertanya, “UU Pers apa saja turunannya?” Dan saya jawab bahwa, “UU
Pers tidak ada turunannya”.
Sambil bercanda saya mengatakan, “UU Pers tidak punya turunan karena tidak
pernah menikah, he..he..he...”
Teman kami protes dan bertanya, “Masa TDK ada? misalnya UU
Cipta Kerja (Omnibus law) UU ini melahirkan UU Ketenagakerjaan, dan di dalam
ketenagakerjaan melahirkan Perpres. Misalnya PP NO 35 Tahun 2021 yang mengatur
masalah hak-hak pekerja.”
Saya jawab, “Betul, UU Pers tidak ada turunannya, tidak
ada PP-nya.”
Teman kami mengatakan, “UU No 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, apakah TDK serumpun dengan UU No 40 1999? Kode etik Jurnalistik itu apakah terpisah
dengan UU-nya? Demikian pun
UU Pers yang mengatur masalah kode etik jurnalis. Ini yg saya maksud turunannya (memasang emoji tersenyum).”
Menjawab pertanyaan apakah Kode Etik Jurnalistik terpisah dengan UU Pers, saya katakan, Kode Etik Jurnalistik
dibuat oleh masyarakat pers, bukan oleh pemerintah, jadi bukan turunan UU Pers.
“Berarti
Kode Etik
Jurnalis itu bukan termasuk kebijakan
publik ya? Maksud saya kode
etik terlahir dari/atau karena adanya UU Pers itu. Berarti Kode Etik
Jurnalis lahir dari UU pers kan? (memasang emoji tersenyum)” tanya teman kami.
Saya menjelaskan bahwa kode etik itu adalah etika yang
mengikat masyarakat dalam sebuah profesi. Ada
kode etik jurnalistik, ada kode etik guru, ada kode etik pengacara.
Teman kami mengatakan bahwa sudah benar itu. Adanya
aturan (Kode Etik Jurnalistik)
itu
karena ada induknya yang
bernama UU No 40 tahun 1999,
yang mengatur masalah
Pers. Maka insan pers harus membuat frame berdasarkan ketentuan
perundang-undangannya.
Tentang pertanyaan bahwa apakah Kode Etik Jurnalis
itu bukan termasuk kebijakan publik,
saya katakan, “Betul, Kode Etik itu bukan kebijakan
publik karena dia lahir dari bawah, bukan dari atas (pemerintah).”
Masih belum puas, teman kami mengatakan, “Kalau wartawan TDK
mematuhi UU Pers berarti dia dianggap melanggar kode etik jurnalis.”
Kemudian terhadap pernyataan saya bahwa Kode Etik itu bukan
kebijakan publik karena dia lahir dari bawah, bukan dari atas (pemerintah), teman kami mengatakan, “Naah ini yg saya
kurang sepakat. Publik disini dimaknai dalam konteks homogen (khusus pers kalau
undang2nya untuk pers). Jadi
apapun yg terlahir dalam Undang2 itu, maka itulah yg disebut kebijakan publik.”
Mengenai pernyataannya bahwa kalau wartawan tidak mematuhi UU Pers berarti dia dianggap
melanggar kode etik jurnalis,
saya katakan, “Kode etik merupakan bagian dari hukum
positif tertulis, tetapi perlu diketahui bahwa kode etik profesi tidaklah sama
dengan undang-undang. Keberlakuan
kode etik profesi semata-mata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi,
berbeda dengan undang-undang yang bersifat memaksa dan dibekali sanksi berat.”
“Seorang
ahli profesi yang melanggar kode etik profesi menerima sanksi dan atau denda
dari induk organisasi profesinya, sedangkan pelanggaran terhadap aturan hukum
atau undang-undang dihakimi/diadili oleh lembaga peradilan yang berwenang untuk
itu,” kata saya.
Saya juga menjelaskan bahwa kebijakan publik secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dinyatakan oleh
pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan.
Terhadap penjelasan saya bahwa kode etik merupakan bagian
dari hukum positif tertulis, tetapi perlu diketahui bahwa kode etik profesi
tidaklah sama dengan undang-undang,
teman kami mengatakan, “Makanya saya bilang kode etik itu
turunannya UU Pers. Karena kode etik induk pedomannya ke UU, dan itu adalah
bentuk kebijakan jg. Artinya, UU TDK boleh diterima secara positivistik saja.
Karena ada namanya penyesuaian. Makanya ketika ada UU yg dibuat kemudian TDK
sesuai dengan kultur sosial budaya yg berlaku, harus di revisi ulang.”
Saya jelaskan, “Turunan itu maksudnya aturan turunan yg
dibuat oleh pemerintah dari aturan lebih tinggi. Kalau Kode Etik bukan dibuat oleh
pemerintah, tapi oleh masyarakat dalam sebuah profesi.”
Teman kami menimpali dengan mengatakan, “Maka dalam UU dia
cuma mengatur garis2 besarnya saja. Soal penjabarannya disesuaikan dengan
kondisinya, sepanjang TDK keluar dari substansi UU-nya. Tp ketika Undang2
dibuat bertentangan dengan budaya sosial, itu yg di cabut dan digantikan LG
dengan UU yg relevan. Termasuk perkembangan zaman.”
Mengenai penjelasan saya bahwa kode etik merupakan bagian
dari hukum positif tertulis, tetapi perlu diketahui bahwa kode etik profesi tidaklah
sama dengan undang-undang,
teman kami mengatakan, “Pers TDK boleh dipidanakan ketika terjadi
pelanggaran hukum. Pers hanya di sanksi oleh lembaga yg menaunginya dalam hal
ini adalah Dewan Pers. Makanya
dibuatkan kode etik agar para wartawannya itu TDK keluar dari jalur ketentuan
UU-nya. Itu yg saya pahami terkait UU Pers itu. Jadi saya TDK sepakat kalau Pers di jerat
dengan tindakan Pidana ketika ia menjalankan profesinya.”
Saya katakan itu sudah benar, tapi Kode Etik Jurnalistik
itu bukan turunan UU Pers,
tapi teman kami tetap ngotot dengan mengatakan, “Saya belum setuju
kalau soal ini. Kode
etik lahir dari UU Pers. Banyak
saya liat kasus2 seperti itu, wartawan di jerat
dengan UU ITE. Lucunya lagi polisinya kagak paham masalah ini.”
Saya kemudian mengirimkan link sebuah berita berjudul, “Rudiantara
Pastikan Tak Ada Peraturan Turunan dari UU Pers.”
Dalam berita itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo),
Rudiantara, memastikan tak akan ada turunan peraturan dari Undang-Undang Pers. Hal
tersebut dilakukannya menurutnya untuk menjaga para insan pers tetap independen
dan dapat nbenar-benar menjadi pilar ke empat demokrasi.
Rudiantara mengatakan, “Saya orang yang berdiri paling depan untuk
memastikan tidak ada turunan peraturan pemerintah atau peraturan menteri dari
UU Pers. Itu kenapa? Terus terang sebelum jadi menteri saya juga ngga ngerti
banyak. Tapi setelah saya interaksi dengan teman-teman media, teman-teman pers,
Dewan Pers khususnya, makin memahami, makin meyakini bahwa pers itu memang
betul-betul harus jadi pilar demokrasi yang ke empat.”
Kepada teman kami, saya katakan, “Mudah-mudahan setujumaki
setelah membaca berita ini”,
tapi teman kami tetap ngotot tidak menerima dan mengatakan, “Belum,,,
logika pak menteri ini agak ngawur dikit saya liat.”
Teman kami menjelaskan, “Jadi yg dimaksud pak menteri ini,, UU
sejenisnya yg dibuat oleh pemerintah. Itu yg dimaksud TDK ada turunannya. Tp
terkait masalah kebijakan,,, UU Pers itu melahirkan kode etik,, logikanya,
darimana dasarnya kode etik dibuat kalau bukan dari UU?”
Karena waktu sudah menunjukkan hampir jam 12 malam, saya katakan, “Mungkin
karena mengantukmaki”, dan teman
kami langsung menjawab, “Belum ngantukpa. Saya orangnya semakin
jauh malam otakku semakin aktifki
(memasang emoji tertawa).”
“Karena
tidak bisaki mengerti perbedaan antara Undang-Undang dengan Kode Etik,” kata saya sambil memasang emoji tersenyum.
Wartawan Menaati Kode Etik Jurnalistik
Teman kami kemudian mengajukan pertanyaan baru, “Saya
mau bertanya dulu ini... Apa indikatornya pelanggaran kode etik Jurnalistik?”
Terhadap pernyataan saya yang mengatakan, “Karena tidak
bisaki mengerti perbedaan antara Undang-Undang dengan Kode Etik”, teman kami mengatakan, “Saya kan TDK
menyamakan antara undang pers dan kode etik Jurnalistik. Saya cuma bilang
turunannya.”
Saya katakan, “Kalau mau dibahas, berarti kembalikki’ lagi dari atas (sambil memasang emoji tertawa).”
Kemudian saya mengirimkan lagi sebuah link berita berjudul, “Dewan
Pers Ingatkan Pemerintah tak Buat Turunan UU Pers.”
Teman kami mengatakan, “Turunnya itu apakah berbentuk
kebijakan internal, peraturan pemerintah, menteri dll terserah. Intinya ada
turunannya itu UU. Atau bahasa sederhananya saja... Tata pelaksanaan UUnya.
Atau lebih sederhananya lagi... Dalam hukum atau Undang2 itu, ada namanya objek
formal dan materil.”
Sambil bercanda saya mengatakan, “Bebal ki' juga kita' di'? (sambil memasang emoji tertawa)”
Teman kami mengatakan, “Tadi saya bertanya,, apakah kode etik
Jurnalistik itu include dalam UU pers atau tidak? Bukan
bebal, tp saya orangnya TDK mudah taqlid
terhadap sesuatu sebelum terkoneksi diotakku (sambil memasang emoji tertawa).”
Kemudian melanjutkan, “Ini salah satu contoh yg dilahirkan
oleh UU Cipta kerja,,, yg saya maksud pada UU ini Omnibus law itu adalah
induknya ketenagakerjaan dsb. Namanya jg Bus yg memuat banyak peraturan. Dari
induk ini lahirlah UU Ketenagakerjaan, perusahaan, dll.”
“Lahir
disini maksudnya,,, sebuah peraturan lahir karena mempunyai dasar hukum atau
Undang2nya. Tadi saya bilang bisa berbentuk Perpres, permen, perda, perppu dan
lain2.”
“Pedoman
pelaksanaan UU No 40 tahun 1999 salah satunya lahir kode etik Jurnalistik, kode
etik sendiri TDK mesti dibuat oleh pemerintah. Inilah yg saya maksud
turunannya. Tp kalau kode etik itu TDK berdiri sendiri, berarti TDK adaji itu
turunannya UU Pers, karena antara UU dan Kode Etiknya SDH menyatu.”
“Misalnya,
UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan itu, melahirkan PP No 35 tahun 2001
terkait hak2 pekerja. inilah salah satu turunnya itu undang2,” tutur teman kami.
Saya lalu bertanya, “Jadi apa lagi yg kita tidak mengerti?”
Teman kami menjawab, “Namanya bentuk kebijakan jg kan?
Pertanyaannya pak dosen "Siapa yg diuntungkan, dan siapa yg
dirugikan". Makanya inilah perlu di analisis (sambil memasang emoji tertawa).”
Kemudian melanjutkan, “Pertanyaan saya kan belum dijawab
tadi. Apakah UU Pers dan Kode etik Jurnalistik itu terpisah atau satu?”
Saya jawab, “Mengenai pertanyaan ini, jawabannya ada
dalam UU Pers, Pasal 7, ayat 2, Wartawan
memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Teman kami masih sempat membalas dengan mengatakan, “Berarti kode etiknya = Undang2 pers ji kalau bgitu”, tapi saya katakan, “Nanti pi lagi dilanjutkanki pembahasannya. Nanti kita diskusi sambil ngopi, mudah2an ada juga jalangkote.”