------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 12 November 2023
Kisah
Jalaluddin Rumi, Arak, dan Wibawa
Jalaluddin yang bernama asli Jalāl ad-Dīn Mohammad Rūmī yang hidup pada abad ke-13 (lahir 30 September 1207, dan wafat pada 17 Desember 1273), adalah seorang penyair sufi Persia, seorang teolog, dan seorang ulama.
Salah satu guru
Jalaluddin Rumi yaitu Syams Tabrizi. Nama aslinya Syamsuddin. Ia berasal dari
Tabriz, salah satu kota di Iran. Karena itulah ia lebih dikenal dengan nama
Syams Tabrizi, artinya Syamsuddin yang berasal dari Kota Tabriz.
Umur Syams Tabrizi dua
puluh tahun lebih tua dari Rumi. Keduanya berkenalan pada tanggal 26 Jumadil
Akhir tahun 624 H atau 28 November 1244 M.
Suatu hari, Jalaludin
Rumi ketika masih muda, mengundang gurunya, Syams Tabrizi, ke rumahnya. Sang
guru pun memenuhi undangan tersebut dan mendatangi kediaman Rumi. Setelah
makanan sudah siap, Syams Tabrizi lalu mengatakan sesuatu pada muridnya itu.
“Apakah kau bisa
menyediakan arak untukku?” kata sang guru.
Rumi cukup kaget
mendengarnya, “Memangnya Anda juga minum (arak)?”
“Iya”, jawab Syams.
Rumi masih terkejut,
“Maaf, saya tidak mengetahuinya.”
“Sekarang kau sudah
tahu. Maka sediakanlah,” kata Syams
Rumi pun masih
bertanya, “Di waktu malam seperti ini, dari mana aku bisa mendapatkan arak?”
“Perintahkan saja salah
satu pembantumu untuk membelinya,” sang guru menimpali.
Karena merasa wibawanya
bisa jatuh, Rumi pun mengelak, “Bagaimana mungkin. Kalau itu saya lakukan, maka
kehormatanku di hadapan para pembantuku akan hilang.”
“Kalau begitu, kau sendiri
pergilah keluar untuk membeli minuman itu,” kata sang guru.
“Seluruh kota ini
mengenalku. Bagaimana bisa aku keluar membeli minuman?” Rumi masih merasa ragu.
Sampai disini sang guru
mulai tegas, “Kalau kau memang muridku, kau harus menyediakan apa yang aku
inginkan. Tanpa minum, malam ini aku tidak akan makan, tidak akan berbincang,
dan tidak bisa tidur.”
Karena kecintaannya
kepada Syams gurunya, akhirnya Rumi memakai jubahnya, menyembunyikan botol di
balik jubah tersebut. Ia pun lalu berjalan ke arah pemukiman kaum Nasrani.
Sebelum Rumi masuk ke
pemukiman tersebut, tidak ada yang berpikir macam-macam terhadapnya. Namun
begitu ia masuk ke pemukiman kaum Nasrani, beberapa orang yang melihat terkejut
dan akhirnya menguntitnya dari belakang.
Mereka melihat Rumi
masuk ke sebuah kedai arak. Ia terlihat mengisikan botol minuman kemudian ia
sembunyikan lagi di balik jubah.
Setelah keluar dari
kedai arak itu, ia diikuti terus oleh orang-orang yang jumlahnya semakin
banyak. Hingga sampailah Rumi di depan masjid tempat dimana ia menjadi imam
bagi masyarakat kota.
Tiba-tiba salah seorang
yang mengikutinya berteriak sambil menyingkap jubah Rumi: “Ya ayyuhan naas,
Syeikh Jalaluddin Rumi yang setiap hari jadi imam shalat kalian baru saja pergi
ke perkampungan Nasrani dan membeli minuman.”
Orang-orang akhirnya
melihat botol yang dipegang Rumi. “Orang yang mengaku ahli zuhud dan kalian
menjadi pengikutnya ini membeli arak dan akan dibawa pulang, orang itu kembali
menambah perkataannya.
Orang-orang kemudian
silih berganti meludahi muka Rumi dan memukulinya hingga sorban yang ada di
kepalanya lengser ke leher.
Melihat Jalaluddin Rumi
yang hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan, orang-orang semakin yakin bahwa
selama ini mereka ditipu oleh kebohongan Rumi dan ajarannya. Mereka benar-benar
tanpa belas kasihan terus menghajar Rumi, bahkan ada yang berniat membunuhnya.
Kemudian Syams Tabrizi
tiba-tiba datang ke kerumunan itu sambil berkata, “Hai orang-orang yang tak
tahu malu. Kalian telah memfitnah seorang alim dengan tuduhan minum arak.
Ketahuilah bahwa botol itu hanya berisi cuka untuk memasak.”
Namun beberapa di
antara orang-orang itu tetap mengelak. Akhirnya Syams mengambil botol tersebut
dan membuka tutupnya. Dia menuangkan isi dari botol itu di tangan orang-orang.
Ternyata botol itu memang benar berisi cuka.
Akhirnya mereka sangat
menyesal dan mulai memukuli kepala mereka sendiri. Orang-orang bersimpuh di
kaki Rumi. Mereka menangis dan saling berdesakan untuk meminta maaf kepada alim
tersebut dan menciumi tangan sang sufi. Kemudian mereka pun pergi satu per
satu.
“Ya Syaikh, malam ini
engkau telah menyebabkan aku terjerumus dalam permasalahan yang besar.
Kehormatan dan nama baikku menjadi ternoda. Mengapa kau melakukan semua ini?”
tanya Rumi pada gurunya.
“Supaya kau paham bahwa
wibawa itu hanyalah khayalan semata. Selama ini mungkin kau berpikir kalau
penghormatan dari orang-orang seperti mereka adalah sesuatu yang abadi.
Sekarang bisa kau lihat sendiri bukan?” kata sang guru.
Tabrizi kembali melanjutkan, “Padahal, hanya karena dugaan satu botol minuman saja, semua penghormatan itu sirna dan mereka jadi meludahimu, memukuli kepalamu, dan hampir saja membunuhmu. Inilah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan dan akhirnya lenyap dalam sesaat. Bersandarlah pada yang tidak tergoyahkan oleh waktu dan tidak terpatahkan oleh perubahan zaman.”
(Kisah ditulis ulang oleh Asnawin Aminuddin. Kisah ini banyak beredar di media massa dan media sosial. Kisah ini ditulis sendiri oleh Jalaluddin Rumi)