-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 15 Desember 2023
Anies Baswedan,
Talenta Komunikasi, dan Ustadz
Oleh:
Shamsi Ali
(Diaspora Indonesia
& Imam di Kota New York)
Saya ingin melanjutkan
tulisan tentang debat itu. Maklum masih hangat diperbincangkan oleh banyak
kalangan. Hanya saja, saya akan menggandengkan tulisan ini dengan kunjungan
Anies Baswedan ke Jambi dan Riau. Saya hanya ingin memastikan jika
momentum-momentum penting ini tidak terlewatkan.
Hal yang pasti dengan
debat itu bahwa hampir semua mengakui jika Capres Anies-lah yang memenangkan
debat itu. Tentu bagi pendukung Anies seperti saya, hal ini menggembirakan.
Walaupun orientasi dukungan itu bukan untuk kemenangan dalam berdebat,
melainkan untuk memenangkan kompetisi Pilpres di tahun depan.
Bahkan di antara
“non-supporters” (bukan pendukung) Anies, ada juga yang ikut setuju dengan
kesimpulan di atas. Hanya saja, ini yang lucu dan menggelikan, kesimpulan
mereka dibumbui dengan kata-kata “memang Anies kan pintar ngomong. Pintar
merangkai kata.”
Saya ingin merespon
komentar “pintar ngomong dan merangkai kata” ini, karena masyarakat awam bisa
saja termakan dengan ungkapan-ungkapan seperti itu, apalagi didukung oleh
buzzer-buzzer bayaran selama ini.
Pertama, perlu saya
tegaskan bahwa kemampuan berbicara dan merangkai kata itu sebenarnya sudah
merupakan kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh seseorang. Bukankah ilmu
komunikasi memang menjadi bidang tersendiri di dunia akademis. Bahkan dalam
ilmu Bahasa Arab misalnya, ada ilmu menata kata yang disebut “ilmu balaghah.”
Kedua, seperti yang
pernah disampaikan oleh Anies sendiri ketika dikritik atau ditanya tentang
phare itu: “lebih baik pintar bicara tapi dengan gagasan dan ide yang
terstruktur, daripada minim gagasan dan susah pula mengekspresikan diri.”
Saya ingin tegaskan
sekali lagi bahwa pemimpin itu perlu skill komunikasi untuk menyampaikan
ide-ide dan pesan-pesan kepada rakyat dan dunia internasional.
Ketiga, dalam
perspektif agama itu sendiri, berbicara itu penting bahkan diperintahkan.
Rasulullah itu diperintah bicara. Berbagai perintah “qul” (katakan) atau
“ballig” (sampaikan) berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an. Yang dilarang
adalah menyampaikan sesuatu yang tidak ada wujudnya atau tidak dilakukan (lima
taquuluuna maa laa taf’alun).
Pertanyaan yang
kemudian timbul adalah apakah memang Anies selama ini mengatakan hal-hal yang
dia tidak lakukan? Jawabannya adalah seperti yang sering disampaikan oleh Anies,
bahwa: “merespon itu bukan dengan ucapan dan kata-kata, tapi dengan aksi, data,
dan fakta.”
Ambillah satu contoh
ketika orang lain berupaya membangun imej dan persepsi tentang Anies yang
intoleran dan tidak berpihak kepada kelompok lain, apapun arti kata “kelompok
lain” itu. Ambillah sebagai misal kelompok agama.
Benarkah Anies
intoleran dan selalu berpihak hanya kepada umat Islam saja? Jawaban
kenyataannya adalah bahwa dalam sejarah DKI, Anies-lah yang paling banyak
memberikan izin pembangunan rumah-rumah ibadah non-Islam, baik gereja, maupun candì
dan pura. Bahkan izin bangunan rumah ibadah yang sudah puluhan tahun tidak
diberikan, Anies berhasil meloloskannya.
Poinnya adalah Anies
adalah kandidat yang menyatukan antara gagasan/ide dan visi misi yang solid,
kemampuan komunikasi yang handal, dan komitmen kerja untuk membuktikan
janji-janji itu kepada masyarakat. Bukti, fakta dan kenyataan ini yang
menjadikan Anies selalu percaya diri di hadapan segala upaya “character
assassination” itu. Syukur mungkin karena efek “shalawat asyghil” kini para
buzzer itu saling menerkam.
Sering saya mengatakan
jika saja kita memiliki secuil kejujuran dalam hati, pastinya diakui bahwa
Jakarta di bawah kepemimpinan Anies mengalami perubahan ke arah yang lebih baik
dari sebelumnya.
Dari kemacetan, polusi,
banjir, hingga kepada pengadaan fasilitas-fasilitas yang dirasakan manfaatnya
secara langsung oleh masyarakat dan DKI, bahkan negara. Satu di antaranya
adalah Jakarta Internasional Stadium (JIS). Anda mau menyembunyikan dengan mengubah
rumputnya pun jelas ini adalah karya gemilang anak-anak bangsa.
Anies
dan Ustadz-ustadz
Saya sengaja
menggandengkan perihal ini di bagian tulisan tentang debat. Hanya karena saya
tidak ingin kehilangan momentum untuk mengomentari kunjungan Anies ke Riau,
bertemu bahkan menginap di kediaman Ustadz Abdul Somad, yang juga populer
dikenal UAS.
Bagi saya hal ini
sangat menggembirakan. Tidak saja karena dorongan kalkulasi-kalkulasi electoral,
tapi kedekatan ini menunjukkan ada suatu nilai dan karakter yang dimiliki oleh
Anies Baswedan, yang mungkin saja tidak ada pada Capres yang lain.
Ternyata kunjungan ini
adalah undangan UAS ke ibunya Capres Anies untuk berkunjung ke kediaman Ibunda
UAS. Dua sosok ibu yang luar biasa. Melahirkan dua sosok anak yang memiliki
kasih sayang dan penghormatan kepada sang ibu.
Dalam agama Islam,
kasih sayang dan penghormatan kepada ibu memiliki posisi yang sangat mulia.
Musa, Isa, Muhammad, dan banyak para nabi dan rasul lainnya (alaihim shalawatullah)
memilki rekam jekak kedekatan dengan Ibu.
Karenanya, undangan
Ustadz Abdul Somad kepada Ibunda Anies memiliki makna filosofis dan religi yang
sangat dalam. Hal yang selama ini kita sering dengarkan bahwa ketika Anies memiliki
penghormatan kepada sang ibu. Bahkan ketika memutuskan untuk maju menjadi
kandidat Gubernur DKI, juga karena izin ibunya.
Kali ini yang ingin
saya catat adalah bahwa kedekatan Anies dengan para ustadz itu adalah kedekatan
alami (natural). Bukan diada-diadakan, dipoles, dan dijadikan bamper politik di
saat musim kampanye.
Dari sejak siswa,
mahasiswa (termasuk ketika di Amerika Serikat), hingga ketika menjadi rektor, menteri
dan selanjutnya Gubernur DKI, rekam jejak Anies memperlihatkan kedekatan
natural itu dengan para ustadz dan ulama.
Beberapa hari yang lalu
Anies hadir (bersama Pak Zulkifli Hasan) di acara Tahfidz Ustadz Adi Hidayat
(UAH). UAS dan UAH adalah dua sosok yang saat ini dikenal sebagai ustadz yang
paling kondang di Tanah Air. Tidak saja karena jamaahnya yang cukup besar, tapi
yang lebih penting mereka memilki keilmuan Islam yang mu’tamad (menjadi
landasan/rujukan).
Pertanyaan yang
kemudian timbul adalah apakah kedekatan dengan para ustadz itu menjamin
kemenangan di Pilpres?
Jawabannya tergantung
cara pandang kita dalam melihat makna kemenangan. Jika definisi kemenangan sekadar
pertimbangan elektoral, mendapatkan suara banyak menurut hitungan KPU, tidak
ada jaminan. Suara bisa termanipulasi jika para wasit memang memiliki mental
dan i’tikad yang kurang baik.
Saya kira hal itu yang
Prabowo pernah rasakan di Pilpres lalu. Syukurlah kini malah Prabowo memuji, bahkan
berjanji melanjutkan itu. Semoga bukan melanjutkan ketidak jujuran dalam Pilpres
kali ini.
Namun jika kemenangan
itu didasarkan kepada nilai (value) kebenaran, kejujuran, dan keadilan, maka
kedekatan Anies kepada para ustadz dan ulama itu adalah kemenangan dengan
sendirinya. Kemenangan electoral itu hanyalah bonus di kemudian hari.
Namun demikian saya
ingin memberikan catatan sekaligus harapan, bahwa kedekatan Anies dengan ustadz-ustadz
yang selama ini diberi label ekstrim, bahkan pernah dicekal ceramah di beberapa
tempat oleh kelompok tertentu, kini sedang mengalami perubahan. Salah satu
faktor terpentingnya adalah karena Allah mentakdirkan Anies berpasangan dengan
Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan NU tulen
(menurut Muahimin sendiri).
Semua ini menjadi tanda
sekaligus harapan dan optimisme bahwa pasangan Amin semakin solid. Solid karena
performa Anies dalam debat perdana itu. Juga solid karena semakin merapatnya “shaf”
umat dalam proses perubahan dan perbaikan itu. Kelompok-kelompok keumatan yang
selama ini mengalami “devide et impera” (dibentur-benturkan) mulai kembali
merapatkan barisan itu. Semoga umat tersadarkan. Aminkan saja dulu! (habis)
Manhattan, 14 Desember 2023
-------
Artikel Bagian 1: