-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 16 Desember 2023
Batavia
dan Kota Tua Jakarta (2):
Belanda
Kuasai dan Ubah Nama Jayakarta Menjadi Batavia
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Pieter Both yang
menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis
administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu
itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain
seperti Portugis, Spanyol, kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih
merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611, VOC
mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta,
sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektare di
dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks
perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya
dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon
Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618–1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa
Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang
tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam.
Tak lama kemudian, ia
membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka
sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai
mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini,
pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin untuk
berdagang, dan membumihanguskan keraton, serta hampir seluruh pemukiman
penduduk.
Berawal hanya dari
bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen
ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di
Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang
orang Batavia.
Jan Pieterszoon Coen
menggunakan semboyan hidupnya, “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want
God is met ons”, menjadi semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya
“Dispereert niet” yang berarti “Jangan putus asa.”
Pada 4 Maret 1621,
pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk. Jayakarta dibumiratakan dan
dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun
gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8
tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun
1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi
oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Pada awal abad ke-17,
perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh
Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong.
Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya
Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan
bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah
antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17
daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi
kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.
Pada 5 Januari 1699,
Batavia dilanda gempa bumi berkekuatan 7,4 hingga 8,0 Mw berpusat di wilayah
Selat Sunda, hingga menyebabkan kerusakan meluas dan menewaskan 128 orang.
Pada 1 April 1905, nama
Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935, nama kota
ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia.
Setelah pendudukan
Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi “Jakarta” oleh Jepang
untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.
Penduduk
Batavia
Orang Belanda di
Batavia jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad
ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai.
Akibatnya, banyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia.
Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari
Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi
tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Sementara itu, orang
yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun
melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias.
Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota
dan Cina Benteng di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama
dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya: di sekitar
Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia, dan
Jatinegara.
Keturunan orang India
-orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga
dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang
lebih tahun 1840. Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi,
namun tetap berpegang pada kearaban mereka.
Di dalam kota, orang
bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang
Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka, dan ribuan budak dari
segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota
Batavia.
Orang Jawa dan Banten
tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun
1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740
orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339
orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang
bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam
suku dan bangsa.
Sepanjang abad ke-18,
kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah
karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu,
jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai
diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di
Pejambon, di belakang Gereja Immanuel Jakarta.
Orang Tionghoa
selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740
di dalam dan di luar kota. Foto pada kartu pos dari awal abad ke 20
menggambarkan rumah-rumah Tionghoa di Mester atau Meester Cornelis sebutan
Jatinegara pada zaman penjajahan Belanda dulu.
Penduduk Batavia yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. (bersambung)
------
Sumber referensi:
Batavia; https://id.wikipedia.org/wiki/Batavia, Dikutip pada Sabtu, 16 Desember 2023
------
Artikel Bagian 1: Batavia dan Kota Tua Jakarta
Artikel Bagian 3: Walikota Batavia – Jakarta Masa Pendudukan Belanda dan Jepang