------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 18 Januari 2024
Tendensi
Memaksakan Pilpres Satu Putaran
Oleh:
Shamsi Ali
(Presiden Nusantara
Foundation & Imam di New York, AS)
Jauh sebelum
pencapresan, berbagai wacana tentang Pilpres ini menampakkan banyak keanehan.
Dari sinisme yang terbangun bahwa Anies tak akan bisa masuk dalam bursa Capres,
hingga pernyataan seorang menteri dan politisi senior yang mengatakan “Hanya
akan ada dua Capres.”
Seolah kekuasaan dan
keputusan pencapresan itu ada dalam genggamannya. Belakangan kita mendengar
ungkapan “Iya tunggu aja. Semoga Anies lolos jadi Capres”. Kita tahu yang
dimaksud itu bahwa dia gak yakin Anies bakal berhasil jadi Capres RI.
Belakangan kita juga
dengarkan wacana aneh nan menggelikan. Dalam sebuah proses politik yang
demokratis ada yang mengusulkan agar rakyat Indonesia membangun “konsensus”
atau aklamasi untuk memilih paslon tertentu.
Saya katakan aneh dan
menggelikan karena sedemikian parahnya ketidakwarasan yang terjadi pada orang
tersebut. Sungguh tidak waras sebuah proses demokrasi tapi dilabeli dengan kata
“aklamasi”. Demokrasi itu prosesnya adalah kompetisi yang terbangun dalam
kewarasan rakyat untuk memilih mana yang secara rasional dianggap lebih ideal
untuk memimpinnya.
Kenyataannya, Anies
adalah Capres pertama yang mengumumkan Cawapresnya, sekaligus Paslon pertama
yang mendaftarkan diri ke KPU. Proses-proses yang terjadi dalam perjalanan
pencapresan Anies adalah kerja-kerja yang terstruktur dan directed (terarah),
sehingga target-target yang ingin dicapai berjalan lancar dan berhasil di
tengah ragam upaya penjegalan.
Setelah Anies berhasil
menjadi Capres, hal yang kemudian paling sering dilontarkan adalah wacana atau
tepatnya impian pendukung Paslon tertentu untuk memenangkan pertarungan Pilpres
dalam satu putaran.
Wacana ini terasa
sekali dipaksakan untuk menjadi (seolah) itulah yang kenyataan yang ada.
Tujuannya agar nantinya masyarakat luas mengantisipasi dan menerima pemaksaan
kenyataan itu tanpa ada pandangan kritis dalam proses-proses yang berlangsung.
Akibatnya “halal haram” (benar atau salah) dalam proses itu tidak lagi menjadi
sebuah nilai yang dipegang.
Proses-proses yang
menghalalkan segala cara itu sangat terbuka dan menjadi tontonan yang
memalukan. Dari cara-cara kampanye yang melanggar aturan yang disepakati,
tendensi penggunaan aparatur negara termasuk ASN, Polri, dan TNI, bahkan
berbagai tekanan dan ketidakadilan kepada para Paslon yang lain. Pasangan Anies-Muhaimin
adalah pasangan yang kerap mendapat tekanan di berbagai tempat dan dalam
berbagai bentuk.
Pemaksaan opini bahwa Pilpres
akan hanya satu putaran ini, dan dengan berbagai cara untuk memenangkan Paslon
tertentu, didukung oleh berbagai survei yang pastinya dibayar mahal.
Bisnis-bisnis survei ini menjadikan hawa nafsu dan ketamakan mereka yang
cenderung memanipulasi proses demokrasi ini sebagai pintu meraup keuntungan
sebesar-besarnya.
Hasil survei-survei
berbayar (sure-paid) itu seringkali menjadikan akal sehat kita
terbengong-terbengong. Ada ketidakwarasan yang dipertontonkan tanpa malu-malu.
Satu di antaranya adalah realita lapangan dan hasil survei yang sangat
paradoksikal.
Di sinilah seharusnya
kita menyikapi bahwa kompulsi atau pemaksaan opini “satu putaran ini” merupakan
bagian dari proses-proses manipulatif yang sedang terjadi. Berbagai manipulasi
yang terstruktur dan masif, didukung oleh kekuatan kekuasaan dan dana, sedang
mengupayakan jalan pembenaran (justifikasi). Bahwa pada akhirnya ketika mereka
berhasil dalam berbagai manipulasi itu, termasuk manipulasi undang-undang dan
aturan, dan menang, rakyat harus menerima karena memang itu kenyataan.
Pada akhirnya dalam
proses demokrasi ini kita yakin bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Berbagai
upaya mereka untuk memenangkan Pilres tertentu dengan cara-cara manipulatif
akan gagal jika semangat perubahan itu ditangkap oleh rakyat lalu mereka bangkit
melawan pemaksaan kekuasaan yang semena-mena.
Rakyat memang harus
sadar bahwa mereka bukan objek yang dijadikan mainan di musim politik. Mereka
harus menyadari posisinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan mereka yang
menentukan siapa yang seharusnya diamanahkan wewenang (otoritas) untuk memimpin
bangsa dan negara ke depan.
Tapi yang terpenting
dari semua itu adalah “Wahai Engkau yang memilki segala kekuasaan. Engkau
berikan kekuasaan itu kepada siapa yang Engkau kehendaki dan cabut kekuasaan
dari siapa yang Engkau kehendaki.”
Kita yakin bahwa di
atas semua kekuatan dan kekuasaan, ada yang lebih kuat dan berkuasa. “Dan Dia
berkuasa atas segala sesuatu.”
Mari kita AMIN-kan
terus!
New York, 17 Januari
2024