“Uang Panai” Dialektika Tak Kunjung Usai

MONOLOG. Dwi Lestari Johan saat tampil dalam pertunjukan monolog “Belanja Citra”. (Foto-foto: Evan Muhammad Roihan) 


-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 07 Maret 2024

 

Catatan Usai Menonton Pertunjukan Teater “Belanja Citra”:

 

“Uang Panai” Dialektika Tak Kunjung Usai

 

 

Oleh: Yudhistira Sukatanya

(Sastrawan, Budayawan, Sutadara)

 

 

Passitinajai ndik, ada adammu sibawa ampe-ampemu

(Pantaskanlah dinda, adat istiadat dan perbuatanmu.

Ungkapan kepada orang kalimatnya indah sekali tapi perbuatannya terbalik.

 

Tur pertunjukan monolog “Belanja Citra” diinisiasi oleh Dwi Lestari Johan, usai sudah. Berawal dari Kota Makassar, Rabu, 21 Februari 2024, di Aula Benteng Rotterdam. Lanjut ke Aula Universitas Puangrimaggalatung, Kabupaten Wajo, Jumat, 23 Februari 2024.

Setelah itu ke Kabupaten Bone, Ahad, 25 Februari 2024, di Aula IAIN Bone, dan etape pentas terakhir di Kabupaten Sinjai, Selasa, 27 Februari 2024, di Gedung Pertemuan Wisma Hawai.  

Pentas Monolog Belanja Citra, terselenggara atas dukungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI, Dana Indonesiana, dan LPDP.

Kali ini Dwi mengangkat isu hangat uang panai’. Bagaimana melihat kembali relevansi tradisi dalam perkawinan adat Bugis Makassar yang masih berlangsung hingga saat ini.

Sementara di peristiwa lain, di Makassar, warga sedang riuh menggunjing pernikahan antara Andi Amar Maruf Sulaiman, anak Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang baru saja usai menyunting Ihsani Nurul Izzah, dan menggelar pesta pernikahan mewah yang disebut sebagai Royal Weeding 2024.

Puncak pesta pernikahan digelar 12 jam nonstop, dihadiri 7.500-an undangan di Hotel Claro Makassar, Sabtu, 24 Februari 2024. Kemeriahan pesta mewah itu menghadirkan artis beken Tulus, Tiara Andini, hingga Wika Salin, dan Band Gigi.

Megahnya pesta pernikahan tersebut lantas menimbulkan pertanyaan, “Berapa biaya belanja-uang panaik yang dihabiskan.” Karena untuk sewa ballroom yang cukup luas tentu menguras isi kocek untuk biaya sewa yang tidak murah.

Diketahui, mengutip Bridestory untuk menyewa Pinisi Ballroom Hotel Claro Makassar dikenakan biaya sekitar Rp150 juta hingga Rp185 juta untuk 5.000 pax.

Di akun sosmednya, anak Mentan itu sempat mengunggah video yang kemudian viral lantaran Amar Ma'ruf Sulaiman mengaku melamar Ihsani Nurul menjadi istrinya dengan uang panaik Rp10 miliar yang meliputi 2 kilogram logam mulia, berlian, satu unit mobil Alphard. Maharnya berupa alat salat, uang 88 real dan Rp2 miliar.

 

Uang Panaik, Mahar, dan Pencitraan

 

Uang panaik atau doek panaik dalam bahasa Makassar, atau doek manre dalam bahasa Bugis adalah besaran jumlah “uang belanja”, sejumlah tertentu uang yang wajib disediakan oleh calon mempelai laki-laki ketika meminang gadis idamannya.

Uang panaik menjadi salah satu persyaratan dalam pernikahan adat masyarakat Bugis-Makassar. Diserahkan oleh keluarga pihak laki-laki ke pihak keluarga perempuan untuk biaya penyelenggaraan pesta pernikahan.

Semula, uang panai hanya diberikan kepada wanita keturunan bangsawan atau darah biru. Sebagai salah satu cara penghormatan, penghargaan, pemuliaan bagi keluarga calon mempelai Wanita, tetapi kemudian istiadat itu berubah menjadi ajang pamer gengsi atau pencitraan keluarga.

Philip Kotler menjelaskan bahwa pencitraan adalah seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek. Pencitraan adalah upaya membentuk opini dari penilaian orang lain tentang keberadaan seseorang atau suatu keluarga, kelompok dan seterusnya agar reputasinya terkesan bagus, mengesankan, membanggakan.

Beragam nilai budaya terkandung dalam esensi uang panaik seperti syarat adat istiadat, kekeluargaan, rasa hormat, pemuliaan status dan pengakuan level strata sosial dan nilai harga diri serta tampilan seni dan kreativitas.

Tapi di sisi lain, nilai-nilai yang semula positif itu dalam perkembangannya proses negosiasi pernikahan/lamaran membuat keberadaan uang panai bergeser ke arah negatif. Jumlah besaran uang panaik kemudian dapat pula dijadikan alasan atau cara satu keluarga untuk menolak lamaran pernikahan yang kurang berkenan.

Jumlah permintaan uang panik sengaja dibuat sangat memberatkan bagi pihak laki-laki, sehingga sang pelamar mengurungkan niatnya.

Dalam perspektif sosial budaya, berubah ke arah negatif. Terjadi peristiwa transaksional antar keluarga dalam proses pengambilan keputusan. Proses interaksi antara para pihak keluarga tidak lagi didasarkan pengagungan nilai budaya tetapi menjadi sudah menjadi kamuflase untuk maksud-maksud tersembunyi.

Inflasi atas jumlah besaran uang panaik menjadi cara unjuk gaya, kemampuan, pamer perilaku konsumtif yang di buat demonstratif untuk unjuk status perekonomian keluarga.

Proses pernikahan pada dasarnya tidak akan dapat terlaksana tanpa kesepakatan dari kedua belah pihak tentang berapa besaran uang panaik. Uang panaik dalam tradisi pernikahan masyarakat suku Bugis-Makassar dirancang dan ditetapkan untuk suatu skala pesta yang diinginkan dan disepakati bersama. Maka kadangkala keberadaan uang panaik kemudian seolah menjadi lebih penting dibandingkan mahar.

Mahar atau disebut Sompa dalam pernikahan adat Bugis wajib diserahkan kepada calon pengantin perempuan dengan kadar atau besaran yang sudah ditentukan berdasarkan strata sosial tertentu. Dilambangkan dengan rella atau uang Real, mulai dari 10 Real hingga 88 Real tergantung status sosialnya. Hal tersebut sesuai dengan hukum Islam.

Mahar sesungguhnya ungkapan cinta kasih, penanda ikatan tali kesucian hati dari calon mempelai laki-laki pada calon istrinya. Mahar dimaknai pula sebagai lambang penghalalan hubungan suami isteri, lambang awal tanggung jawab suami yang selanjutnya menjadi hak istri sepenuhnya.

Meski demikian eksistensi mahar dalam perkawinan kadangkala masih diperdebatkan oleh kalangan tertentu, ada yang memasukkan mahar sebagai rukun nikah, ada pula yang berpandangan bahwa mahar bukanlah rukun pernikahan melainkan hanya sebagai pemberian sukarela yang sifatnya wajib, apabila tidak disebutkan ketika aqad nikah, pernikahan tetap sah.

 

Logika Dalam Dialektika

 

Pembicaraan tentang besaran nilai uang panai biasanya didiskusikan saat melaksanakan tradisi mak manu-manuk atau mapettuada. Biasanya, pihak laki-laki sengaja mendatangkan orang yang dianggap berpengaruh agar uang panai yang disepakati sesuai dengan kemampuannya.

Realita maka kini, tinggi rendahnya nominal uang panaik kian ditentukan oleh status sosial perempuan, pertimbangannya meliputi apakah keturunan bangsawan, kondisi fisiknya cantik, tingkat pendidikan tinggi, pekerjaan dan status ekonomi perempuan yang mapan.

Keberadaan perempuan secara tersirat dihargai dengan jumlah uang panaik yang ditentukan misalnya sarjana Rp50 juta, S2 Rp70 juta, PNS Rp80 juta, dokter Rp100 juta, dokter spesialis Rp250 juta, dokter dan haji Rp500 juta, bahkan hingga milyaran. (di tahun 2020-an)

Pembicaraan keberadaan uang panaik bukan lagi semata berdasar pengagungan tradisi dan penghargaan kepada perempuan melainkan bagaimana memprospek akan trend viralnya hal tersebut ketika diceritakan dan diberitakan di sana dan di sini ketika diumumkan di depan orang banyak.

“Berapa uang panaiknya?”

Lalu apakah pantas jika jumlah uang panaik terus menerus dipaksakan besaran jumlahnya dalam jumlah yang fantastis untuk mendapatkan citra positif di persepsi masyarakat. Telah menjadi rahasia umum bahwa belanja pencitraan semacam itu ada saja keluarga tertentu tak segan melakukannya dengan menempuh berbagai cara seperti; jual sawah, jual tanah, ambil kredit, pinjam sana dan sini. Padahal kalau memang tidak mampu tidak perlu dipaksakan.

“Pernikahan itu adalah penyatuan dua insan yang akan menjalani hidup bersama, menyatukan dua keluarga. Jumlah besaran uang panaik bagi yang tidak mampu tidak perlu dipaksakan.” Begitu ungkap Dwi dalam awal diskusi pasca pentas monolog “Belanja Citra.”

Wacana semesta pernikahan ala adat Bugis Makassar tersebut telah berhasil menjadi isu pemantik dalam pertunjukan Monolog Belanja Citra yang naskahnya ditulis oleh Nurul Inayah, disutradarai Arman Dewarti, dengan dramaturg Shinta Febriany. Pimpinan produksi Sabri Sahafuddin.

Dwi Lestari Johan adalah aktor di Kala Teater sejak tahun 2011. Sebelumnya Dwi aktif di Lentera FBS UNM, penari di Sanggar Alam Serang Dakko, pendiri Sanggar Seni Sipakainge. Pengalamannya sebagai aktor cukup mumpuni dan menjajikan kualitas di masa depan.

Sayangnya, dalam pertunjukan Monolog “Belanja Citra” kali ini terkesan sedikit abai menyimak “cacat” bawaan plot cerita. Coba simak, apa argumentasinya cukup kuat dan logis seringan itu ketika Andi Bunga Petta Caya-perempuan berusia 50 tahun yang memiliki dua orang anak berketetapan hati mengambil keputusan akhir, bercerai dari suaminya Andi Zaenal Petta Paseng.

Apakah hanya karena keluarga mereka telah gagal menghadirkan cinta? Apa karena kian tumbuhnya kepercayaan diri Andi Bunga yang sudah mampu hidup mandiri? Apa wanita usia paruh abad itu sungguh siap menepikan pertimbangan dampak citra keluarga yang bisa terimplikasi dengan degradasi penghargaan kepada eksistensi kedua orang tuanya dalam pandangan masyarakat Bugis Makassar? 

Apalagi di lingkup masyarakat Bugis-Makassar yang Patriarki, istri yang meminta cerai bukan hal yang lazim, bahkan sering dicemooh. Apa pula yang dipelajari Andi Bunga dari peristiwa kegagalan cinta Puang Masri-bibinya yang terpaksa kehilangan ketulusan cinta kekasihnya?

Monolog tokoh Andi Bunga mengungkapkan: “Orang tua saya pasti sangat sedih harus mendengar kabar ini. Mereka berdua, dulu, sangat bangga dan bahagia saat saya menikah dulu. Pernikahan yang mewah, pesta adat berhari-hari, dan banyak sekali tamu undangan yang datang terwujud sudah. Pergunjingan yang berlangsung lama dan paling banyak dibicarakan orang ketika itu. Topik pergunjingannya adalah jumlah uang panaik yang terbilang besar. Kalau saja saya baru menikah sekarang, maka jumlah Uang Panaik itu pasti sudah ramai diberitakan di media sosial.”

“Saya memang tidak mencintai suami saya sejak kami menikah. Saya sekarang bahkan ragu, apakah dia pun pernah mencintai saya atau tidak. Orang tua kami berdua yang mengatur pernikahan. Dulu, saya percaya rasa cinta kami pasti akan tumbuh pelan-pelan. Namun yang terjadi saat ini adalah bukti, pernikahan kami memang tidak bisa berhasil. Bahkan saat anak-anak sudah besar, kami tetap tidak bisa saling mencintai. Saya memang yakin pernikahan harusnya dimulai karena ada rasa cinta.” Lanjut Andi Bunga. (Teks dialog naskah Belanja Citra, halaman 3)

Puncak kegawatan konflik dipicu karena Andi Bunga mengaku tidak pernah mampu mencintai suaminya. Karena pasangan itu menjalani rumah tangga tanpa rasa cinta, sejak hari pertama pernikahan sampai hari jelang perceraian.

“Suami saya tidak pernah merasakan cinta dari saya.” Aku Andi Bunga.

“Dulu, saya punya seorang kekasih, kami saling mencintai. Kami berjanji akan hidup bersama. Dia hanya meminta waktu pada orang tua saya, sampai bisa membawa jumlah uang panaik yang diminta. Tapi apa kata mereka?” Keluh Andi Bunga.

“Belajarlah dari Puang Masri-mu, kekasihmu tidak mungkin kembali. Menikahlah saja dengan orang yang kami pilihkan, orang yang sudah kita kenal baik keluarganya, bisa menjaga citra keluarga, dan memenuhi uang panaik.”

Andi Bunga kemudian menyandingkan kemiripan nasibnya dengan Puang Masri yang berparas cantik. adik bungsu Bapaknya.

“Wajah kami sangat mirip” katanya.

Diceritakan, pernah terdengar ada yang berencana melamar Puang Masri dengan membawa uang panaik dalam jumlah yang banyak. Namun, kenyataannya tidak seorang pun lelaki-laki sungguh pernah berani datang. Mungkin karena mereka berpikir, bertimbang, jika ditolak justru akan menjadi bahan omongan seumur hidup.

Lalu bermunculan beragam cerita perlunya ritual tolak bala. Puang Masri dianggap pembawa sial. Harus mandi di sumur jodoh, harus mappaccing, atau harus ke sanro-dukun.

Hingga suatu hari seorang lelaki bernama Hasan datang melamar. Hasan menjelaskan keseriusannya dengan Puang Masri kepada Etta-Bapak-Kakek. Hasan sadar betul posisinya sebagai penjaga toko, yatim piatu yang bukan keturunan bangsawan.

Awalnya Hasan sudah merasa tidak pantas datang melamar Puang Masri, tapi Hasan pun sadar betapa besar cintanya pada Puang Masri. Dengan alasan cinta tersebut ia tak mau menyerah sebelum mencoba meminta restu secara langsung.

Apa yang terjadi. “Kuhargai niat baikmu Nak, tapi bukan hanya nyali saja yang kau butuh untuk dapat restu. Kamu pasti sudah tahu tradisi adat kita, kamu tahu apa yang harus kau penuhi. Kembalilah ke sini, dalam 60 hari. Bawa uang panaik 50 juta. Anggap itu bukti keseriusanmu untuk melamar anak perempuanku.”

Hasan menunduk, sangat dalam. Maksud hati Hasan memang tidak diberi harapan. Uang panai sejumlah 50 juta itu pada tahun 80-an terbilang sangat besar, sudah pasti tidak ia miliki. Hasan pun pulang dengan langkah berat tanpa sempat mencicipi satupun kue yang telah dipersiapkan dengan hati oleh Puang Masri.

Enam puluh hari akhirnya kemudian berlalu, Puang Masri kembali sibuk di dapur membuat kue-kue. Menunggu tautan hatinya, apakah akan kembali datang untuk mewujudkan maksud hatinya. Tapi hingga hari mulai gelap dan daun-daun pembungkus kue barongkonya tampak layu, Hasan ternyata tidak kunjung datang. Kisah-kasih pun pupus tersandung besaran uang panaik.

Peristiwa lamaran Hasan yang datang sendiri bukanlah suatu perilaku adat istiadat tetapi menjadi keniscayaan dalam pentas monolog. Dalam realita proses lamaran yang disebut tradisi mak manu-manuk atau mapettuada itu lazimnya dilakukan oleh sejumlah keluarga dekat pilihan.

“Satu-satunya yang terus dipentingkan pada pernikahan di keluarga kami adalah citra dan megahnya perayaan pesta perkawinan. Kemeriahan pesta dimaksudkan demi memperoleh omongan baik orang tentang citra keluarga. Bagaimana mungkin pernikahan yang ditentukan oleh tawar menawar uang panaik bisa bertahan?” Lanjut Andi Bunga.

Akhirnya, setelah menikah, Andi Bunga tidak bisa merasa hidup dengan tulus dalam cinta. Kedudukan istri dipandangnya bagai barang, pernikahan yang dihiasai dengan membayar cicilan saat harus memenuhi jumlah tradisi uang panaik itu.

Sulit untuk saling jujur, menjalani hidup yang sejak semula asing, dan akhirnya kebanggan atas tradisi itu hanya berhenti di saat uang panaik diserahkan dan pesta riuh diselenggarakan. Hanya unjuk cara menghambur-hamburkan uang. Tidak mengendapkan nilai apa-apa setelah pernikahan

Di bagian akhir pertunjukan, Andi Bunga tampak membereskan barang-barang yang berantakan di lantai dan merapikan pakaiannya, mengambil handphone dan tas dari bawah meja kerjanya.

“Saya harus segera berangkat. Saya tidak ingin datang terlambat untuk sidang cerai saya. Sidang yang akan mengakhiri hidup saya yang dikurung oleh belenggu tradisi uang panaik yang dipaksakan. Silakan lanjutkan pandangan kalian, saya harus bahagia.”

Passitinajai ndik, ada adammu sibawa ampe ampemu

Pantaskanlah dinda, adat istiadat dan perbuatanmu

 

Tamamaung, Panakkukang, Makassar, awal Maret 2024


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama