-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 21 April 2024
Islam, HAM, Uighur, Yahudi,
Palestina
Oleh: Shamsi Ali
Al-Kajangi
(Diaspora Indonesia di
Kota New York, AS)
Hari Kamis, 18 April 2024,
saya diundang menjadi salah seorang pembicara dalam sebuah diskusi panel
tentang hak-hak dasar (human rights) kaum Uighur di China. Acara yang
bertemakan “Disrupting Uighur Genocide” ini diadakan selama dua hari dengan
pembahasan di semua aspek yang dianggap perlu.
Sejarah Uighur, politik
China dan dunia global, aspek ekonomi, hingga ke aspek media, khususnya media
sosial. Saya dan beberapa tokoh agama Abrahamic (Islam, Kristen, Yahudi)
menjadi pembicara dalam sesi yang membicarakan Peranan Komunitas dan
Tokoh-tokoh Agama dalam membela hak-hak asasi kaum Uighur.
Selain para aktivis,
akademisi, serta tokoh-tokoh agama dan masyarakat, acara ini juga dihadiri oleh
para aktivis Komunitas Uighur di Amerika, termasuk beberapa mantan korban
“kamp-kamp konsentrasi China”. Beberapa peserta di antaranya bahkan datang dari
Eropa, seperti Jerman dan Inggris.
Yang menarik adalah
mayoritas peserta yang hadir adalah Komunitas Yahudi, apalagi acara ini memang
mengambil tempat di 92nd Y (Lexington & 92nd Street) di Manhattan. 92nd Y
sangat dikenal sebagai pusat komunitas Yahudi yang sarat dengan edukasi dan
kultur.
Saya sendiri pernah
diundang menjadi pembicara di tempat ini dalam sebuah diskusi tentang prospek
relasi Yahudi-Islam. Diskusi itulah yang sesungguhnya menjadi “trigger” utama
diterbitkan buku kami “Sons of Abraham: issues that unite and divide Jews and Muslims.”
Suasana yang kental
dengan keyahudian ini menjadikan presentasi saya kental dengan isu human rights
(HAM) dan human dignity (karomah insaniyah). Walaupun moderator berkali-kali
mengingatkan bahwa dengan segala permasalahan yang ada di dunia, kiranya setiap
pembicara harus fokus pada isu-isu kemanusiaan kaum Uighur dan tidak menjalar
kemana-mana. Namun demikian, nurani saya tidak bisa dibohongi dan ditekan.
Karenanya presentasi saya sarat dengan relevansi hak-hak dasar bangsa Palestina
saat ini.
Pertanyaan yang mendasar
dalam diskusi panel itu adalah “apa alasan-alasan utama sehingga agama / keyakinan
Anda memperjuangkan HAM (human rights) dan kemuliaan manusia (human dignity)?”.
Lalu “apa yang seharusnya Komunitas, khususnya tokoh-tokoh agama lakukan untuk
memastikan HAM dan kemuliaan manusia terjaga?”
Dalam presentasi yang
cukup singkat itu, saya sampaikan beberapa dasar penting kenapa HAM dan
kemuliaan manusia menjadi sangat penting dalam ajaran Islam.
Pertama, karena
didasarkan kepada dua aspek relasi keagamaan dalam Islam, yaitu “hablum
minallah dan hablum minallah.”
Saya melihat aspek “hablum
minallah” merupakan penekanan pada penjagaan hak-hak vertikal (dengan Pencipta),
sementara aspek “hablum minan naas” menekankan penjagaan hak-hak horizontal
(dengan sesama makhluk, khususnya manusia), sehingga beragama yang benar adalah
ketika agama itu memproteksi kedua aspek hak-hak itu.
Kedua, diyakini bahwa
setiap manusia merupakan representasi dari “fitrah” (kesucian) Dia Yang Maha
Suci. Manusia diciptakan di atas fitrah dan terlahirkan dengan identitas dasar
fitrah. Karenanya menghargai manusia merupakan perhargaan kepada Tuhan.
Merendahkannya juga merupakan perilaku yang merendahkan Tuhan.
Ketiga, Islam mengajarkan
bahwa setiap manusia secara inherent (mendasar) diberikan kemuliaan (karomah)
oleh Allah: “Sungguh Kami (Allah) muliakan anak cucu Adam” (Al-Qur’an).
Karenanya hak kemuliaan manusia (karomah insaniyah) tidak boleh diambil dan direndahkan
oleh siapapun.
Keempat, sesungguhnya
semua manusia terlahir dengan jaminan kebebasan. Islam mengajarkan kebebasan
sebagai dasar dari keberagamaan. Keyakinan kita kepada “laa ilaaha illa Allah”
secara esensi mengajarkan bahwa supremasi dan pengagungan itu tunggal hanya kepada
Allah SWT.
Tauhid adalah dasar dari
segala kebebasan, termasuk kebebasan dari perbudakan sesama makhluk, kebebasan
dalam keyakian agama dan ibadah, kebebasan berbicara dan berekspresi, bahkan
kebebasan dari hawa nafsu diri sendiri.
Kelima, Islam juga
mengajarkan hak hidup dan kepemilikan (al-milkiyah), termasuk di dalamnya hak
waris. Sejujurnya semua ini menjadi keunikan Islam karena semuanya diatur
secara jelas dalam agama.
Satu hal yang istimewa
dalam Islam bahwa kepemilikan itu mencakup untuk pria dan wanita. Hak memiliki
properti wanita misalnya, telah disyariatkan dalam agama Islam jauh sebelum
wanita di Barat memilki hak itu.
Keenam, Islam juga
mensyariatkan hak berasosiasi. Salah satu terjemahan dari kata asosiasi, selain
hak berorganisasi, yaitu hak manusia dalam asosiasi kebangsaan (nationality).
Maka setiap manusia sesungguhnya memiliki hak untuk memilik bangsa (belong to a
nation) dengan negara yang berdaulat.
Poin terakhir inilah
barangkali yang cukup mengagetkan bagi sebagian yang hadir, khususnya mereka
yang beragama Yahudi dan mendukung Israel. Saya tekankan pada aspek ini bahwa
hak berbangsa dan bernegara ini menjadi hak dasar yang sama untuk semua manusia,
termasuk bangsa Palestina.
Saya cukup sadar bahwa
menyebut kata Palestina dengan nuansa dukungan di sebuah tempat seperti 92nd Y
ini bagaikan melempar sepotong daging di kandang harimau. Saya mempersiapkan
diri untuk merespons jika ada feedback yang boleh jadi kurang menyenangkan, tapi
hingga diskusi berakhir tak seorang pun yang merespons, baik di kalangan panelis
maupun peserta.
Konferensi dua hari yang
dimaksudkan mendukung hak-hak dasar kaum Uighur itu tentu saya sangat
apresiasi. Apalagi memang komunitas Uighur adalah komunitas yang sangat
terisolasi dan mengalami kejahatan yang parah. Konon kabarnya masyarakat Yahudi
banyak membela kaum Uighur karena mengingatkan mereka dengan kamp-kamp
konsentrasi Nazi di Eropa ketika itu.
Sayangnya, ketika sudah
bersentuhan dengan Israel, seolah rasa empati dan kemanusiaan menjadi tidak
perlu bagi bangsa Palestina. Sebegitu istimewakah Israel?
Jamaica City, 19 April
2024