------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 17 September 2024
Disorientasi Kebijakan Publik
Oleh: Usman Lonta
(Anggota DPRD Sulsel / PAN)
Thomas R. Dye memberikan definisi tentang
kebijakan publik. Beliau mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang
dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah.
Pandangan Dye tentang kebijakan publik
menekankan pada pilihan pemerintah terhadap apa yang menjadi program prioritas
bagi pemerintah. Program prioritas tersebut dituangkan dalam rencana kerja
pemerintah.
Dalam menyusun rencana kerja pemerintah,
lazimnya didasarkan pada problem atau masalah real yang dihadapi oleh
masyarakat atau kelompok masyarakat.
Rumusan rencana kerja yang telah
ditetapkan oleh pemerintah akan menjadi Program tahunan pada tahun anggaran
berjalan. Dalam pandangan Thomas R Dye, inilah yang disebut kebijakan publik.
Menurut Chief J.O. Udoji, kebijakan publik
bertujuan mewujudkan ketertiban dalam masyarakat, melindungi hak-hak
masyarakat, mewujudkan ketenteraman dan kedamaian dalam masyarakat, dan terakhir
adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Muara dari kebijakan publik adalah
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, tanpa tekanan sehingga melahirkan
kedamaian dalam masyarakat. Juga hilangnya kecemasan dan rasa takut, baik rasa
takut yang disebabkan oleh ancaman kelaparan maupun rasa takut atas ancaman
yang bersifat psikis, yakni ketakutan menyampaikan pikiran yang berbeda dengan
penguasa.
Untuk mengurai ancaman rasa takut dan lapar
disebut kebijakan yang pro poor dan pro job. Beberapa tahun yang lalu,
pemerintah merumuskan kebijakan penganggaran yang berorientasi pada pengentasan
kemiskinan dan menekan angka pengangguran.
Rumusan kebijakan tersebut disebut pro
poor dan pro job. Kebijakan ini diperuntukkan guna menekan angka kemiskinan dan
menekan angka pengangguran.
Ketika itu Gubernur Sulawesi Selatan
mengajukan satu Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) penanggulangan kemiskinan.
Dalam Ranperda tersebut diatur bahwa koordinator penanggulangan kemiskinan
daerah dipimpin oleh wakil gubernur. Hanya Peraturan Daerah ini yang secara
afersif memberikan tugas kepada wakil gubernur sebagai koordinator
penanggulangan kemiskinan. Semua SKPD berkewajiban mengorientasikan programnya
dalam penanggulangan kemiskinan dan menekan angka pengangguran.
Salah satu yang menarik untuk menjadi
kajian dalam membuat paper policy atau semacam naskah akademik dalam menyusun
kebijakan penanggulangan kemiskinan pada pemerintahan mendatang adalah pemetaan
keluarga miskin. Pemetaan keluarga miskin berguna untuk memandu kebijakan
publik agar tidak terjadi disorientasi kebijakan.
Kebijakan pemberian sembako, makan siang
gratis, tidak akan pernah mengentaskan kemiskinan. Orang-orang bijak berpesan; “Jangan
berikan ikan kepada seseorang tapi berikanlah pancing”. Pancing adalah metafor
soft skill dan pendidikan untuk menempuh kehidupan yang lebih layak.
Kebijakan publik sejatinya berorientasi
pada meningkatnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat, khususnya masyarakat
yang rentan terhadap kemiskinan.
Afirmatif action di Indonesia, belum
menyentuh secara sempurna buat masyarakat yang kurang mampu. Afirmatif action
baru menyentuh keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Padahal di negara-negara
lain afirmatif action diarahkan kepada masyarakat yang rentan terhadap
diskriminasi, misalnya orang yang tidak mampu (miskin) dan kelompok minoritas.
Sepengetahuan saya belum ada kebijakan
yang memberikan kuota bagi orang yang tidak mampu pada universitas papan atas
di Indonesia, padahal afirmatif action semacam ini akan berdampak pada
tumbuhnya kelas menengah yang terdidik.
Bukankah Pembukaan UUD 45 mengamanahkan
kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa?
Jika pertanyaan ini benar, maka saatnya
kebijakan publik berorientasi pada kelompok yang tidak mampu atau orang miskin.
Caranya adalah menyiapkan kuota minimal satu orang bagi setiap keluarga miskin
untuk dididik di perguruan tinggi papan atas di Indonesia.
Menurut saya, kebijakan pemberian makan
siang gratis bagi siswa tidak akan menurunkan angka kemiskinan. Dalam budaya
kita di Sulawesi Selatan, ada sekelompok masyarakat yang merasa malu jika
anaknya diberi makan oleh orang lain di luar rumah.
Prinsip yang dipegang teguhnya adalah para
orang tua melahirkan anak-anaknya karena beliau sanggup untuk memberinya makan.
Makan siang sewajarnya menjadi urusan tersier yang diurus masing-masing
keluarga. Negara fokus mengurus sesuai yang diamanahkan oleh Pembukaan UUD 45,
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Makan siang gratis untuk seluruh siswa di
Indonesia belum tentu menjadi kebutuhan seluruh siswa. Bagi orang tua siswa
yang berkecukupan, mungkin beranggapan bahwa makan siang gratis adalah upaya
penghinaan negara terhadap keluarganya. Bagi orang miskin, boleh jadi
kebutuhannya bukan makan siang tapi kelanjutan pendidikan setelah menyelesaikan
studinya pada jenjang pendidikan yang ditempuh saat ini.
Oleh karena itu, rencana kebijakan tentang
makan siang gratis berpotensi terjadinya disorientasi kebijakan publik.
Berpotensi untuk menjadi pusaran mark up anggaran, dan yang paling dikhawatirkan
adalah minimnya out come dari kebijakan tersebut.
Harapan publik pada pemerintahan baru
adalah adanya perubahan orientasi kebijakan yang akhir-akhir ini mengalami
disorientasi, dari orientasi melayani lembaga pemerintahan, menuju orientasi
pada pelayanan publik.
Perubahan orientasi kebijakan yang akan
menuntun mereka mencapai tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan. Afirmatif
policy merupakan jalan tol bagi masyarakat yang rentan terhadap berbagai macam
problem kehidupan. Rentan terhadap kemiskinan, rentan terhadap perlakuan tidak
adil, rentan terhadap akses pendidikan, dan lain sebagainya.
Perubahan orientasi kebijakan publik
adalah perubahan yang diarahkan untuk memenuhi harapan dan kebutuhan publik. Mereka
mengharapkan agar para pembuat dan pelaksana kebijakan; eksekutuf, legislatif
dan yudikatif bahu membahu menetapkan kebijakan yang bermakna bagi kehidupan
para petani, buruh, nelayan, dan UMKM.
Wallahu a'lam bishshawab
Bali, 17 September 2024