Aku dalam Alif Lam MimMu

Keberadaan dengan beragam perbedaan di dalam menafsirkan sesuatu atau memaknai diksi bahasa apapun, tidak menjadi keliru untuk menggapai kebenaran sejati yang tulen. Hal demikian, justru hikmat menjadi bersanggamaan dengan Ke_rahmat lil alamin akan Kemahakuasaan Tuhan secara totalitas lillahi Ta'ala. - Maman A. Majid Binfas -    

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 15 April 2025


OPINI

 

Aku dalam Alif Lam MimMu

 

Oleh: Maman A. Majid Binfas

(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)

 

Tidak ada kehampaan yang telah diketahui, terkecuali rasa ketakutan melumati akan hadirnya kematian itu sendiri yang segera tiba!

Berbeda dengan tanpa diduga-duga dan diketahui sebelumnya, mautan tentu mau tak mau mesti diterima jua dengan lapang dada.

Manakala, misinya telah diketahui sebelumnya, maka mautan memang agak terkesan kurang elokan hingga berdiksi, itu menjadi risiko kutukan mesti dirasakan.

Dan tentu esensinya sangat berbeda jauh dengan berjihad fi sabilillah / berjuang di jalan Allah dalam beragam aktivitas terpuji. Aktivitas demikian, memang menjadi cita-cita yang diharapkan agar syahid besyuhada lillahi Ta'ala.

Dari tiga akumulasi di atas, menjadi logika pilihan hidup dan berkematian masing-masing, tidak boleh dipadukan menjadi trimurtian sebagai satu kesatuan.

Termasuk, dengan terlalu beraninya oleh sebagian mufasir / penafsir di dalam menduga-duga guna menafsirkan diksi "الٓمٓ"/alif lam mim" hampir beragam pula. Di antaranya, ada yang berpendapat bahwa diksi alif lam mim merupakan isyarat atau singkatan. 

Bahkan ada yang terlalu lebay berlebihan, memaknai diksi alif lam mim adalah tri manunggalan gusti dengan penggalan, alif berarti Allah, Lam /Malaikat, Mim /Muhammad, sedangkan Nabi Muhammad SAW sendiri, tidak pernah menjelaskan demikian. Hanya menyampaikan bahwa alif lam mim, hanya Allah yang mengetahui artinya. 

Lalu, apakah bisa dengan semena-mena kita menuduh Tuhan tidak maksimal menurunkan penjelasan ayat melalui Nabi_Nya dan plus menyalahkannya, atas tidak diberitahunya tentang artian dari diksi alif lam mim tersebut.

Tuduhan demikian, tentu kenekatan berlogika kedunguan lebih dari karatan asfala safilin / lebih rendah binatang berlogika jeroan jambanan. Sebagaimana, logika jeroan yang dilakukan oleh kelompok kaum kafir di Mekah yang menghina Rasulullah SAW dengan ucapan “Muhammad sudah tidak dipedulikan Tuhannya.” 

Maka, Tuhan menitahkan QS Ad Dhuha: 6-8 yang berarti:_

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu (Muhammad). Dan dia mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberi petunjuk. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberi kecukupan.”

Jadi, keberadaan dengan beragam perbedaan di dalam menafsirkan sesuatu atau memaknai diksi bahasa apapun, tidak menjadi keliru untuk menggapai kebenaran sejati yang tulen. Hal demikian, justru hikmat menjadi bersanggamaan dengan Ke_rahmat lil alamin akan Kemahakuasaan Tuhan secara totalitas lillahi Ta'ala.

 

Sanggama dengan Tuhan

 

Esensi diksi senggama tidak hanya berkaitan dengan reproduksi hubungan kelamin bersifat keragaan / tubuh semata, tetapi juga bisa dimaknai dengan hal lain, misalnya untuk kesenangan demi kebahagian jiwa berrohani lillahi Ta'ala.

Sesungguhnya, asal kata sanggama, itu berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti pertemuan, perhimpunan, persatuan, perkumpulan, kontak senjata, pergaulan, persetubuhan, keselarasan, keserasian, kesesuaian.

Jadi, esensi kata senggama itu sendiri bersifat jamak, tidak semata diindikasikan hanya kepada hubungan intim berkelamin vital saja, sebagaimana di pasar Google yang bertebaran, termasuk dikamusin dalam diksi bahasa Indonesia pula.

Jadi, diksi sup topik narasi yang, 'Bersenggama dengan Tuhan' adalah bermakna memaksimalkan pertemuan dengan Sang Pencipta di dalam momentum beribadah Ramadhan yang berklimaks sebagai hamba yang bercermin cahaya lillahi Ta'ala secara tulen.

Maka, Aku supaya bisa tulen dengan Tuhanku, tentu Aku mesti memaksimalin sanggama / berkasmaran dengan Tuhan di  setiap saat, berhingga puncak berklimaks pada Arsy, _guna melebur di dalam “Nurun 'ala Nurin”-Nya! menjadi keyakinanku dalam memahami agamaku secara tajam dengan berlogika berkeimanan sejati, dan bukan sekadar gincu ocehan doang!

 

Agama Bukan Ocehan

 

Agama bukan sekadar kata-kata retorika ecehan yang diorasikan, demi recehan 1 + 1 sama dengan 2 atau 3 -1 saja. Tetapi, ia hadir berdata kesucian bila diucapkan akan menggentarkan hati berlogika jiwa raga batin.

Tidak lain, esensinya yang berkesan mencerahkan pikiran untuk tindakan nyata bermata batin dunia berhingga akhiratan jadi permata “Nurun ala Nurin” Lillahi Ta'ala semata berkalam berhingga Aku dalam Alif lam MimMu.

Manakala, keyakinan Agama telah bermata batin demikian, maka tidak mesti terlalu berani memonopoli kebenaran, dan apalagi menyalahin Tuhan atas kebutaan kita di dalam berlogika membaca kalam Tuhan. _Walahu'alam.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama