Salah satu potensi kekayaan yang menjanjikan hasilnya kalau digarap dan dikembangkan adalah garam. Butir-butir garam yang tersebar dalam buih-buih air asin di kawasan Kecamatan Mangarabombang bisa menjadi “kristal-kristal berlian” jika digarap secara tekun dan serius.
----------
PEDOMAN KARYA
10 Juli 2015
Potensi dan Tantangan Pengelolaan Garam di Takalar
Oleh: Hasdar Sikki
(Wartawan/Pemerhati Lingkungan)
Apa yang menarik di Kabupaten Takalar? Potensi apa yang dimiliki Butta Panrannuangku? Apa yang “bisa memaksa” investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Takalar? Apa yang membuat para wisatawan mau berbondong-bondong ke Butta Panrannuangku?
Pertanyaan-pertanyaan itu sering terdengar dalam berbagai kesempatan. Tentu tidak mudah menjawabnya. Kita harus mengenal Kabupaten Takalar dengan berbagai potensi yang dimiliki-nya, untuk bisa menjawab perta-nyaan tersebut.
Dari berbagai literatur, dari hasil kunjungan ke Takalar, serta dari pembicaraan dengan sejumlah pejabat dan anggota masyarakat di Takalar, ternyata cukup banyak potensi yang dimiliki daerah berjuluk “Butta panran-nuangku”. Salah satu potensi yang mencolok, yaitu garam.
Kabupaten Takalar yang terletak di sebelah selatan Kota Makassar dengan jarak tempuh sekitar 40 km, merupakan salah satu penyanggah Kota Makassar dan masuk dalam kawasan program pembangunan Maminasata (Makassar, Maros, Sunggu-minasa/Gowa, Takalar).
Daerah yang terkenal dalam sejarah sebagai pusat perjuangan melawan kolonial Belanda seperti yang terpatri pada Monumen LAPRIS (Lasykar Pejuang Republik Indonesia) di Gunung Bulukunyi Kecamatan Polom-bangkeng Selatan, memiliki jum-lah penduduk pada tahun 2012 sebanyak 272,316 jiwa.
Untuk kekayaan kawasan pantai dan lalut, cukup banyak potensi yang terkadung dalam perut garis pantai yang panjang-nya 74 km.
Salah satu potensi kekayaan yang menjanjikan hasilnya kalau digarap dan dikembangkan adalah garam.
Butir-butir garam yang tersebar dalam buih-buih air asin di kawasan Kecamatan Mangarabombang bisa menjadi “kristal-kristal berlian” jika digarap secara tekun dan serius.
Melihat sumber kekayaan alam yang terkandung dalam butir-butir aliran air asin itu, sudah terang dan jelas akan menambah pundi-pundi penda-patan asli daerah (PAD) pemerin-tah Kabupaten Takalar. Namun, apakah ada niat, atau paling tidak, minat Pemerintah Kabupaten Takalar menggarap “butir-butir garam menjadi kristal-kristal berlian?”
Sungguh merupakan tantangan bagi Pemerintah Kabupaten Takalar yang dapat berimpli-kasi menjadi kerugian bila tidak menghiraukannya.
Potensi lahan produksi garam di Kabupaten Takalar seluas 388,6 hektare. Lahan pemberda-yaan usaha garam rakyat (Pugar) pada tahun 2012 seluas 124 hektare berada di Kecamatan Mangarabombang dan Kecamatan Mappakasunggu. Produksi tahun 2012 mencapai 7.645 ton. Sedangkan target DKP mengha-rapkan meningkat menjadi 18 ribu ton untuk tahun 2013 ini.
Menyikapi potensi garam untuk digarap dan dikembangkan, ternyata Pemerintah Kabupaten Takalar sudah meresponnya. Pengembangan potensi garam ini sudah dirintis sejak beberpa tahun lalu.
Selama ini pembuatan garam hanya dikerjakan oleh masyarakat secara manual. Mulai tahun 2012 yang lalu sudah diterapkan penggarapan garam dengan meng-gunakan teknologi tepat guna, yakni menerapkan secara mak-simal penggunaan sistem Tekno-logi Ulir Filter (TUF) yang diadopsi dari petani garam di wilayah Cirebon Jawa Barat. Penggunaan pengelolaan sistim TUF diharapkan dapat mening-katkan hasil yang benyak dan kualitas garam lebih meningkat.
Penggarapan garam yang selama ini dikerjakan masyarakat secara manual kualitasnya hanya mencapai sekitar 57 persen. Setelah menerapkan teknologi TUF kualitas kadar garam sudah mencapai 88 sampai 97 persen. Capain kualitas 97 persen ini sudah dapat digunakan untuk garam industri. Sedangkan untuk menjadi garam yang dapat dikon-sumsi masih harus melalui proses pengolahan pabrik.
Target yang diharapkan, dalam setiap tahun harus menca-pai antara 90 sampai 100 ton per hektare. Hasil yang dicapai itu harus dibarengi dengan pening-katan kualitas. Jumlah hasil yang capai sangat besar sehingga harus dibarengi dengan adanya gudang penampungan serta pabrik pengolahan garam industri.
Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mengeluarkan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar). Melalui program Pugar ini, pemerintah telah mencanangkan tahun 2013, sebagai tahun peningkatan kualitas produksi garam Takalar. Juga mengupayakan menurunkan ang-garan untuk pembangunan gudang dan pabrik pengolahan garam dalam tahun anggaran 2013.
Kondisi lahan untuk mengem-bangkan garam di Takalar, sangat baik untuk penggaraman. Kemu-dian informasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai potensi lahan pembuatan garam di Kabupaten Takalar termasuk salah satu yang terbaik di seluruh Indonesia.
Sebagai percontohan dengan modal sebesar Rp31.000.000, para petani menggarap hanya satu hektare dengan 2 (dua) tenaga kerja, dengan menggunakan sistem teknologi tepat guna, yaitu sistim Teknologi Ulir Filter (TUF) seperti yang digunakannya di Cirebon.
Adapun sistem TUF yang dimaksud tersebut itu, pertama menampung air pada sebuah bedengan yang ukurannya sekitar 2 are lalu ditaburi abu sekam selama 2 – 3 hari. Kemudian air itu dialirkan kepada 14 bedengan.
Proses mengalirkan air dari setiap petak bedengan dengan model ulir (zigzak) harus melalui filterisasi. Sedangkan filter itu terbuat dari potongan-potongan pipa paralon besar sekitar 40 Cm (sesuai besarnya pematang bedengan). Potongan pipa besar itu diisi, ijuk, kerikil dan arang. Kemudian air yang dialirkan kepada 7 ruas bedengan untuk diendapkan selama 2 – 3 hari agar mencapai kadar “air muda”.
Setelah itu, air dialirkan pada 7 ruas bedengan berikutnya untuk diendapkan sampai mencapai kadar “air tua” atau mencapai kadar 20 persen setelah diperiksa melali alat ukur yang namanya Boumeter. Kadar 20 persen itu dialirkan ke dalam petak-petak bedengan sebanyak 10 bedengan. Tialp bedengan berukuran 3 X 7 meter.
Air yang sudah ada dalam petak-petak bedengan itu diendapkan sambil menunggu proses terjadinya kristal-kristal garam yang berkualitas dengan kadar 80 – 97 persen. Demikian proses garam itu terus-menerus.
Melalui proses pembuatan garam dengan model Ulir (Zigzak) ini yang mengasilkan kualitas garam industry setiap petak bedengan berukuran 3 X 7 meter menghasilkan garam sekitar 2 ton bruto per tahun dengan kadungan kadar NaCl 95 persen dan kadar air 4 persen. Jadi untuk 10 petak bedengan di kali 2 ton bruto hasilnya mencapai sekitar 150 ton netto setelah pengurangan kadar kotor.
Mengenai harga garam dewa-sa ini kata Ir Alimuddin berkisar Rp800 per kilogram. Kalau harga ini dikalikan 150 ton, maka hasilnya bisa mencapai Rp120 juta.
Nilai setelah dirupiahkan yaitu Rp120 juta dikurangi modal kerja sebesar Rp31 juta, maka sisanya cukup banyak yakni Rp89 juta. Hasil ini kemudian dikeluar-kan kepada pemilik lahan yaitu Rp89 juta x 40 persen atau sebanyak Rp35,6 juta.
Jadi untuk penggarap mem-peroleh Rp89 juta x 60 persen atau sama dengan Rp534,4 juta. Perhitungan ini skala pertahun untuk satu hektare lahan pembu-atan garam. Untuk penghasilan 2 (dua) orang tenaga kerja masing-masing memperoleh upah sebesar Rp30 juta per tahun atau sebesar Rp2,5 juta per bulan.
Melihat hasil yang dapat diperoleh dalam mengelola pem-buatan garam dalam satu hektar saja hasilnya sangat menggiurkan, apalagi kalau potensi lahan produksi garam di Kabupaten Takalar yang luasnya 388,6 hektare, digarap semuanya, maka betapa besar penghasilan yang dapat diperoleh.
Pemkab Takalar akan mendapatkan suntikan dana yang cukup besar dari sektor potensi pengolahan garam.
Demikian pula tenaga kerja yang terlibat dalam penggarapan garam tentu akan mendapat hasil setiap bulan sebesar Rp2,5 juta atau di atas standar upah minimum yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Sulsel sekitar Rp1,9 juta.
Mengembangkan potensi garam di Kabupaten Takalar, kalau dikerjakan dengan tekun, tentu bukan mimpi, tetapi bermuara pada sebuah kenyataan dimana “butir-butir garam” setelah dijual tentu bisa membeli “kristal-kristal berlian.”
----
@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 1, Vol. I, Juli 2015