PEDOMAN KARYA
Ahad, 04 Oktober 2015
Mengenal
Kabupaten Bulukumba (4):
Mali’ Siparappe,
Tallang Sipahua
Sikap Batin Masyarakat Bulukumba
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Masyarakat Bulukumba
tergolong masyarakat religius. Ketika agama Islam dibawa dan diperkenalkan oleh
seseorang yang bernama Abdul Jawad dan bergelar Al Maulana Khatib Bungsu,
beberapa abad silam, masyarakat Bulukumba dapat menerimanya dengan tangan
terbuka.
Abdul Jawad (versi lain
menyebut nama aslinya adalah Nurdin Ariyani) atau Al Maulana Khatib Bungsu, datang
ke Sulawesi Selatan bersama dua orang sahabatnya yaitu: Khatib Makmur yang
lebih dikenal dengan nama Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman yang lebih
dikenal dengan Dato Patimang.
Mereka bertiga adalah
murid atau santri dari Pesantren Sunan Giri. Sunan Giri adalah nama salah
seorang walisongo (Wali Sembilan yang merupakan penyebar agama Islam di Tanah
Jawa pada abad ke-17) dan pendiri kerajaan Guru Kedaton, yang berkedudukan di
daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki
beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih,
Raden 'Ainul Yaqin, dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kebomas,
Gresik.
Pada tahun 1600-an
Masehi, Abdul Jawad menyiarkan agama Islam di Tiro (Bulukumba) dan sekitarnya.
Adapun raja yang pertama di-Islam-kan dalam Kerajaan Tiro adalah Launru Daeng
Biasa yang bergelar Karaeng Ambibia.
Launru Daeng Biasa
adalah cucu keempat dari Karaeng Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng
Sapo Batu yang merupakan raja pertama di Tiro.
Makam Abdul Jawad di
Hila-hila, Kecamatan Bontotiro, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Dato
Tiro, hingga kini masih terjaga dengan baik dan selalu banyak pengunjungnya.
Agama Islam kemudian
berkembang dengan baik di Bulukumba yang ditandai dengan banyaknya pesantren
dan masjid yang dibangun di daerah tersebut.
Bulukumba bahkan sempat
menjadi bahan pembicaraan secara nasional setelah ditetapkannya Peraturan
Daerah (Perda) yang berkaitan dengan syariat Islam di era pemerintahan Bupati
Andi Patabai Pabokori (1995-2005).
Sejarah panjang,
kebudayaan, dan keagamaan yang berkembang dengan baik di Bulukumba telah
memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan
tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip “Mali’
siparappe, Tallang sipahua.”
Mali’ artinya terbawa
arus air, siparappe artinya saling menolong agar tidak terbawa arus air,
tallang artinya tenggelam, sedangkan sipahua artinya saling menolong saat
tenggelam.
Ungkapan yang
mencerminkan perpaduan dari dua dialek Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar
tersebut, merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban
amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama, demi terciptanya
tujuan pembangunan lahir dan batin, material dan spiritual, serta dunia dan
akhirat.
Nuansa moralitas ini
pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan “Bulukumba Berlayar” yang mulai
disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada
tahun 1996.
Konsepsi “Berlayar”
sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang cukup dalam,
serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan, dan keagamaan dengan masyarakat
Bulukumba.
“Berlayar” adalah
singkatan dari Bersih Lingkungan Alam Yang Ramah. Filosofi yang terkandung
dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yakni pijakan sejarah,
pijakan kebudayaan, dan pijakan keagamaan.
Pijakan
Sejarah
Bulukumba lahir dari
suatu proses perjuangan panjang yang mengorbankan harta, darah dan nyawa. Perlawanan
rakyat Bulukumba terhadap kolonial Belanda dan Jepang menjelang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, diawali dengan terbentuknya “Barisan
Merah Putih” dan “Laskar Brigade Pemberontakan Bulukumba Angkatan Rakyat.”
Organisasi yang terkenal
dalam sejarah perjuangan ini, melahirkan pejuang yang berani mati menerjang
gelombang dan badai untuk merebut cita–cita kemerdekaan sebagai wujud tuntutan
hak asasi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Tidak sedikit rakyat
dan pejuang di Bulukumba yang mati dalam proses perjuangan merebut dan
memertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah seorang pemimpin pejuang tersebut
adalah Andi Sultan Daeng Radja yang kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional.
Haji Andi Sultan Daeng
Radja lahir di Matekko, Gantarang, pada 20 Mei 1894. Beliau adalah putra
pertama pasangan Passari Petta Lanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong. Semasa
muda, Sultan Daeng Radja dikenal taat beribadah dan aktif dalam kegiatan
Muhammadiyah. Beliau merupakan pendiri Masjid di Ponre yang pada jamannya konon
merupakan masjid terbesar di Sulawesi Selatan.
Kebudayaan
(culture)
Dari sisi budaya,
Bulukumba telah tampil menjadi sebuah “legenda modern”, dalam kancah percaturan
kebudayaan nasional. Bahkan melalui industri budaya dalam bentuk perahu, baik
itu perahu jenis phinisi, padewakkang, lambo, pajala, maupun jenis lepa–lepa,
telah berhasil mencuatkan nama Bulukumba di dunia internasional.
Kata layar memiliki
pemahaman terhadap adanya subjek yang bernama perahu sebagai suatu refleksi
kreativitas masyarakat Bulukumba.
Keagamaan
Masyarakat Bulukumba
telah bersentuhan dengan ajaran agama Islam sejak awal abad ke-17 Masehi, yang
diperkirakan tahun 1605 M.
Ajaran agama Islam ini
dibawa oleh 3 (tiga) ulama besar (waliyullah) dari Pulau Sumatera yang
masing–masing bergelar Dato Tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar), dan
Dato Patimang (Luwu).
Ajaran agama Islam yang
berintikan tasawuf ini menumbuhkan kesadaran religius bagi penganutnya dan
menggerakkan sikap keyakinan mereka untuk berlaku zuhud, suci lahir batin,
serta selamat dunia dan akhirat, dalam kerangka tauhid “Appasewang”
(meng-Esa-kan Allah SWT). (bersambung)
---------------
Daftar pustaka:
-www.bulukumbakab.go.id
-Djumbia, Amir,
Menelusuri Awal Masuknya Islam di Sulawesi Selatan, Tribun Timur
(www.tribun-timur.com), Makassar, 14 September 2007.
-www.wikipedia.org
-www.indonesia.go.id
-Nizhamul, Hifni H,
Tiga Orang Datuk Asal Minangkabau Penyebar Islam di Tanah Bugis,
http://blogminangkabau.wordpress.com/, 18 Desember 2008
---
Keterangan: artikel ini
pertama kali kami muat di blog Kabupaten Bulukumba, dengan judul: "Mali’
Siparappe, Tallang Sipahua";
http://kabupatenbulukumba.blogspot.co.id/2009/08/mengenal-kabupaten-bulukumba-4.html,
pada 18 Agustus 2009
---------------
Artikel Bagian 3:
Artikel Bagian 5:
Logo Kabupaten Bulukumba, Klasik tapi Sarat Makna