ALMARHUM. Pembawaannya yang murah senyum, supel, dan juga tidak canggung bertemu dengan para dosen, membuat kami merasa benar-benar mendapatkan pemimpin yang benar-benar pemimpin. Prestasi akademik Firman Basir yang cukup menonjol, semakin membuat kami merasa senang dipimpin oleh beliau. Kami menikmati kebersamaan sebagai mahasiswa FPOK IKIP selama empat setengah tahun (sembilan semester).
----------
PEDOMAN
KARYA
Ahad,
13 Maret 2016
In Memoriam FPOK
IKIP dan Firman Basir
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Alumni
FPOK IKIP Ujungpandang)
Pertengahan tahun 1986 (tidak terasa
sudah 30 tahun berlalu), saya bersama lebih dari 100 orang lainnya dari
berbagai daerah di Indonesia, terdaftar sebagai mahasiswa baru pada Fakultas Pendidikan
Olahraga dan Kesehatan (FPOK) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Ujungpandang (sekarang Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar
atau FIK UNM).
Meskipun berasal dari berbagai daerah, kami
ternyata cepat akrab satu sama lain dan juga cepat merasakan tumbuhnya rasa
persaudaraan di antara kami.
Penyebabnya, selain karena kami memang
ingin kuliah pada fakultas yang sama (hobby olahraga dan sebagian besar ingin
menjadi guru olahraga), juga karena kami harus melewati suasana menegangkan
sekaligus menyenangkan selama beberapa hari melalui kegiatan Orientasi Program Studi
dan Pengenalan Kampus (OPSPEK).
Menegangkan karena para mahasiswa senior yang terlibat sebagai panitia OPSPEK (belakangan diubah namanya menjadi OSPEK,
singkatan dari Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) memanfaatkan momentum OPSPEK
tersebut untuk “mengerjai” kami sekaligus memperlihatkan superioritas mereka
atas mahasiswa baru.
Salah satu cara mereka mengerjai kami
yaitu dengan menyuruh kami (mahasiswa laki-laki) mengucapkan kalimat: “I love
you” kepada salah seorang mahasiswi senior yang juga panitia. Tentu saja,
banyak di antara kami yang malu atau tidak berani.
Mereka yang berani mengucapkan kalimat
tersebut, langsung dipukul atau dihukum oleh panitia dengan alasan terlalu
lancang. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak berani mengucapkan kalimat “I love
you”, disebut sebagai banci atau bencong. Yah, kami serba salah dan tidak pernah
benar.
Cara lain yaitu dengan menyuruh kami menyanyi
bersama dengan suara (volume) besar lagu wajib nasional: “Satu Nusa
Satu Bangsa”, tetapi semua huruf S diganti menjadi huruf C (kalau tidak salah,
acara itu dipandu oleh Suardi, mahasiswa senior asal Soppeng yang sekarang
menjabat Kepala Bagian Umum LPMP Sulsel). Maka kami pun menyanyikan lagu
tersebut dengan lirik: “Catu Nuca Catu Bangca”. Tentu saja kami semua
menyanyikannya sambil tertawa-tawa.
Begitulah antara lain, cara mahasiswa
senior “mengerjai” kami, para mahasiswa baru. Meskipun “dikerjai”, kami sama
sekali tidak dendam kepada para senior. Kami bahkan menikmati “dikerjai”
seperti itu, karena meskipun kadang-kadang menjengkelkan, juga lebih banyak suasana
gembiranya.
OPSPEK yang dilangsungkan selama
beberapa hari ketika itu, dibagi dua sesi, yaitu sesi fakultas di Kampus FPOK
IKIP Banta-bantaeng (waktu itu Dekan FPOK adalah Pak Djafar), dan sesi institut
di Kampus IKIP Gunungsari Baru (waktu itu Rektor IKIP adalah Prof Paturungi
Parawansa).
Setelah beberapa hari mengikuti OPSPEK,
kami kemudian mengikuti Penataran P4 Pola Pendukung 100 Jam. P4 adalah
singkatan dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Penataran P4 juga
dilaksanakan selama beberapa hari di Kampus IKIP Gunungsari Baru.
Dengan adanya dua kegiatan tersebut
(OPSPEK dan Penataran P4), maka kami selaku mahasiswa baru, memang merasakan
diri sudah terlepas dari suasana dan perasaan sebagai pelajar, karena sudah
diantar dengan baik menuju suasana baru, suasana kampus, dan perasaan sebagai
mahasiswa (baru).
Ketua Tingkat
Dalam suasana baru sebagai mahasiswa
baru, kami kemudian berinteraksi di jurusan (sekarang disebut Program Studi)
dan di kelas masing-masing. Dalam interaksi pertama tersebut, kami (jurusan S1 Pendidikan
Olahraga) langsung mengadakan semacam rapat untuk pemilihan Ketua Tingkat (dulu
Ketua Tingkat artinya Ketua Kelas, tetapi belakangan Ketua Tingkat berubah makna menjadi ketua untuk seluruh mahasiswa satu angkatan).
Proses pemilihan Ketua Tingkat waktu itu
berlangsung dalam suasana santai dan sambil tertawa-tawa. Ada beberapa nama
yang mengemuka sebagai calon Ketua Tingkat, antara lain Firman Basir, Lambertus
Aratukan, dan Faisal, tapi karena Firman Basir kelihatan lebih menonjol
penampilannya secara fisik (agak tinggi, agak besar, dan agak hitam,
ha..ha..ha..), kami akhirnya sepakat memilih Firman Basir.
Pilihan kami ternyata tidak salah,
karena Firman Basir mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Pembawaannya yang
murah senyum, supel, dan juga tidak canggung bertemu dengan para dosen, membuat
kami merasa mendapatkan pemimpin yang benar-benar pemimpin. Prestasi
akademik Firman Basir yang cukup menonjol, semakin membuat kami merasa senang
dipimpin oleh beliau.
Kami menikmati kebersamaan sebagai
mahasiswa FPOK IKIP selama empat setengah tahun (sembilan semester). Sebagai
mahasiswa yang sedang menimba ilmu, kami tentu saja kerap berbeda pendapat,
tetapi kami sama sekali tidak pernah bertengkar, apalagi berkelahi (meskipun banyak
di antara kami yang aktif berlatih beladiri).
Beragam Profesi
Akhir tahun 1990, kami menyelesaikan
studi (dan berhak menyandang gelar Doktorandus, disingkat Drs) dan diwisuda pada
Februari 1991. Waktu itu, acara wisuda biasanya diadakan pada setiap Januari,
tetapi karena ada pergantian rektor (dari Prof Paturungi Parawansa ke Prof
Sjahruddin Kaseng), acara wisudanya ditunda ke bulan Februari.
Menyandang gelar sarjana (Sarjana Pendidikan
Olahraga, bukan Sarjana Olahraga), kami kemudian ramai-ramai mendaftar sebagai
calon guru, tetapi ternyata ada sebagian di antara kami yang tidak terangkat jadi guru, dan ada
pula yang jadi dosen (waktu itu dimungkinkan alumni S1 langsung jadi dosen, jika mengambil jalur skripsi. Sebagian besar mahasiswa hanya mengambil jalur kuliah, artinya tidak wajib menulis skripsi).
Beberapa di antara kami yang tidak
terangkat jadi guru atau dosen, akhirnya memilih beralih profesi. Ada yang jadi
pengusaha, ada yang berwiraswasta, ada yang kerja di perusahaan swasta, sedangkan
saya sendiri terjun ke dunia wartawan.
Belakangan, teman-teman kami yang
awalnya terangkat sebagai guru PNS, ternyata kemudian ada yang jadi Kepala
Sekolah, ada yang jadi Kepala Dinas Pendidikan, dan ada pula yang jadi pejabat SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah) di pemerintah kabupaten/kota, seperti camat
atau kepala dinas (bukan dinas Pendidikan).
Firman Basir terangkat jadi Guru
Olahraga di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) 2 Model Makassar, dan belakangan (setelah
meraih gelar doktor) beralih menjadi Widyaswara Badan Diklat Kemenag (Kementerian
Agama) Sulsel.
Saya dan Firman Basir cukup sering
bertemu, karena beliau beberapa kali menemani isterinya yang dosen PTS (perguruan
tinggi swasta) ke kantor Kopertis Wilayah IX Sulawesi atau acara-acara yang
dilaksanakan oleh Kopertis Wilayah IX Sulawesi, dan saya kebetulan pernah jadi
Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi (2009-2104).
Almarhum
Meskipun sibuk dengan profesi
masing-masing, komunikasi di antara kami sesama alumni FPOK IKIP Ujungpandang tetap
masih sering terjalin, apalagi sebagian dari kami juga berhimpun sebagai
pengurus Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI) Sulsel.
Salah satu yang sering kami
perbincangkan sekaligus dijadikan sebagai bahan untuk bercanda adalah perubahan
nama IKIP menjadi UNM (Universitas Negeri Makassar) pada 4 Agustus 1999 (berdasarkan
SK Presiden Republik Indonesia No. 93 Tahun 1999 tanggal 4 Agustus 1999).
Kami kerap saling ledek dengan
mengatakan bahwa kami adalah “Alumni almarhum IKIP Ujungpandang”, bukan alumni
UNM.
Sambil bercanda, kami juga kadang-kadang
menghindari disebut sebagai alumni UNM, jika sebutan itu dikaitkan dengan
peristiwa aksi anarkis (menutup jalan saat berunjukrasa yang berujung keributan dengan aparat polisi dan masyarakat, atau membakar kampus) yang dilakukan oleh mahasiswa UNM.
“Oh, maaf, saya bukan alumni UNM, saya
alumni IKIP, ha..ha..ha..,” begitulah kadang-kadang candaan kami.
Pada Kamis malam, 10 Maret 2016, saya
membaca sebuah postingan status yang dibuat salah seorang teman bernama Lily
Thamzil Thahir.
Isi postingannya: “Innlillahi wa inna ilaihi rojiun... Telah berpulang ke rahmatullah kakak laki-laki kami Firman Basir Matong yang sedang menunaikan ibadah umrah di Makkatul Mukarramah. Kepada segenap keluarga dan teman-teman, mohon dimaafkan apabila pernah melakukan kesalahan semasa hidupnya.”
Isi postingannya: “Innlillahi wa inna ilaihi rojiun... Telah berpulang ke rahmatullah kakak laki-laki kami Firman Basir Matong yang sedang menunaikan ibadah umrah di Makkatul Mukarramah. Kepada segenap keluarga dan teman-teman, mohon dimaafkan apabila pernah melakukan kesalahan semasa hidupnya.”
Saya tentu saja sangat kaget dan hampir
tidak percaya, kalau nama Firman Basir Matong yang ditulis itu adalah sahabat
dan teman kuliah kami di FPOK IKIP Ujungpandang, karena saya tidak tahu kalau
Lily Thamzil Thahir itu ternyata adik kandung dari Firman Basir.
Terus-terang selama ini saya memang penasaran
dan merasa ada kedekatan emosional dengan Lily Thamzil Thahir, tetapi bukan
sekadar karena beliau adalah isteri dari Thamzil Thahir (teman seprofesi
sebagai wartawan). Rasa penasaran itu baru terjawab setelah Lily Thamzil Thahir
mengkonfirmasi melalui Facebook bahwa dirinya adalah adik kandung dari teman
dan sahabat saya, Firman Basir.
Kematian Firman Basir sungguh indah. Teman dan sahabat kami itu meninggal dunia saat menunaikan ibadah umrah dan tepat berada di Mekkah. Selamat jalan kawan. Selamat jalan
saudaraku. Semoga amal ibadahmu diterima dan dosa-dosamu diampuni oleh Allah
SWT.
Tags
Opini