Sahban Liba sejak kecil sudah mandiri, antara lain menjadi sering bermalam di masjid dan membina teman-teman sesama remaja untuk belajar mengaji dan belajar shalat. Sahban juga menyenangi mata pelajaran aljabar, ilmu ukur, dan ilmu alam, bahkan selalu menjadi juara lomba mata pelajaran di kelasnya.
------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 29 November 2018
Biografi
Sahban Liba (6):
Jadi Guru Ngaji dan Juara Lomba Mata Pelajaran
Penulis:
Hernita Sahban Liba
Jauh di lubuk hati Sahban remaja, sebenarnya ada rasa
rindu selalu ingin dekat dan berkumpul dengan ayahnya, Ambe’ Suba, dan ibunya,
Indo’ Empa. Dan tentu saja ada rasa perih saat harus berpisah dengan kedua
orang tua dan saudara-saudaranya, tapi rasa rindu dan keperihan itu terpaksa ia
buang dan abaikan, karena tidak ada masa depan jika hanya menetap di kampung
sejak kecil hingga dewasa.
Kampung Kalosi yang dicintainya memang telah memberikan
pengalaman yang tidak akan terlupakan. Banyak kenangan bersama teman-temannya
di sekolah, di tempat mengaji, dan di sekitar kampungnya. Banyak kenangan
bersama saudara-saudara, kedua orangtuanya, serta keluarganya akan terus
diingatnya, tapi semua itu justru menjadi penyemangat dalam diri Sahban untuk
melangkah pasti menuju masa depan yang lebih baik.
Dalam perjalanan dari Kampung Kalosi di Enrekang, menuju
Kota Makassar, semua kenangan itu terus-menerus menggelayut dalam pikirannya. Kenangan
itu kemudian terbawa dalam mimpi indah. Bangun dari tidurnya, ia kemudian
membayangkan bagaimana situasi dan kondisi Kota Makassar.
Sahban yakin Kota Makassar jauh berbeda dibandingkan
Kampung Kalosi. Ia juga yakin Makassar jauh lebih menantang dibandingkan
kampung kelahirannya. Karena itulah, semangatnya semakin membara untuk segera
tiba di “Kota Daeng” Makassar.
Tiba di Makassar, ia pun menyaksikan dan merasakan betapa
jauh perbedaan antara Kampung Kalosi dengan ibukota provinsi Sulawesi Selatan (waktu
itu masih bernama Sulawesi Selatan dan Tenggara, disingkat Sulselra).
Ia menyaksikan betapa di Makassar jauh lebih ramai
dibandingkan di kampung kelahirannya. Bahwa di Makassar jauh lebih banyak
bangunan dibandingkan di kampung kelahirannya, dan di Makassar juga jauh lebih
banyak sekolah dibandingkan di kampung kelahirannya.
Di Makassar, Sahban remaja dan kakak kandungnya yang bernama
Abduh, menumpang tinggal di rumah keluarganya, Haji Lanta, di daerah Jalan
Gunung Latimojong (dahulu bernama Jalan Gotong Royong). Setiap pagi setelah shalat
subuh, Sahban remaja bersama kakaknya Abduh, bertugas menimba air sumur untuk
mengisi bak-bak mandi dan menyapu lantai rumah.
Setelah itu, mengerjakan lagi apa saja yang mereka
kerjakan untuk membantu keluarga Haji Lanta, sambil menyiapkan diri untuk
berangkat ke sekolah. Mereka kebetulan bersekolah di sekolah swasta dan
pelajaran dimulai setelah shalat lohor. Agar tidak terlambat tiba di sekolah, mereka
berdua sudah harus pergi sebelum pukul 12.00.
Mereka berdua sekolah di SMP Muallimin Muhammadiyah, Jalan
Diponegoro, Makassar. Untuk tiba di sekolahnya, mereka berdua harus berjalan kaki
selama sekitar satu jam. Saat itu belum ada sepeda, apalagi motor, namun Sahban
bersama kakaknya, Abduh, tidak pernah mengeluh.
Di bawah terik matahari yang begitu menggigit, ia tetap
bersemangat pergi sekolah. Saat turun hujan, ia pun berbasah-basah ria dalam perjalanan
ke sekolah atau dalam perjalanan pulang dari sekolah ke rumah. Semua itu ia
jalani dengan ikhlas dan penuh semangat.
Setelah tepat setahun Sahban remaja dan kakaknya tinggal
di rumah Haji Lanta, mereka pun pindah ke sebuah asrama di Jalan Maipa (dekat Pantai
Losari). Mereka tinggal di asrama tersebut di bawah bimbingan Kepala Sekolah
SMI (Sekolah Menengah Islam) yang bernama Haji Darwis Zakaria.
Ada satu langkah mandiri yang dilakukan oleh Sahban
remaja selama menetap di asrama. Ia sering bermalam di masjid (di belakang Rumah
Sakit Stella Maris), karena disana banyak anak-anak penjual koran, penjual
ikan, pesuruh kantor, dan lainnya yang minta dibina dan diajar tata cara shalat
dan sekaligus diajar mengaji sehabis magrib.
Sahban remaja sebenarnya merasa belum mampu membimbing
mereka, karena usianya pun masih remaja, tetapi ia terpaksa harus bisa karena
ternyata tidak banyak orang yang bisa melakukannya ketika itu. Maka Sahban pun
menjadi guru mengaji, sekaligus menjadi pembimbing shalat bagi anak-anak
sebayanya, termasuk beberapa orang yang lebih tua dari dirinya.
Meskipun sudah memiliki dua kesibukan rutin yakni sekolah
pada siang hari dan mengajar mengaji di masjid pada malam hari, Sahban masih
merasa punya banyak waktu lowong dan dirasakan terbuang sia-sia.
Ia ingin memanfaatkan waktu lowong itu untuk mengejar
ketertinggalannya dalam mata pelajaran tertentu, antara lain pelajaran aljabar
(matematika), pelajaran ilmu ukur, dan pelajaran ilmu alam. Karena itulah, ia
memutuskan pindah sekolah ke SMP Perindo di Jalan Jambu (sekarang Jalan
Lamadukkelleng), yang bersimpangan jalan dengan Jalan Maipa.
Di SMP Perindo inilah, Sahban remaja memperoleh guru yang
mampu membuka dan memberinya motivasi, sehingga tiga mata pelajaran tersebut (aljabar,
ilmu ukur, dan ilmu alam) dapat dikuasainya, bahkan selalu membuatnya juara
pada saat ada perlombaan mata pelajaran di kelasnya.
Sementara itu, kakaknya, Abduh, tidak mau sekolah di
Perindo. Ia lebih senang sekolah di asrama, di Sekolah Menengah Islam.
Berhenti Sekolah
Sayangnya, di saat ia tengah bersemangat belajar dan sedang
asyik menikmati suasana akademik di sekolah, setelah dua tahun menuntut ilmu
dan berkutat dengan berbagai macam pelajaran di Muallimin dan SMP Perindo, ia terpaksa
harus berhenti bersekolah.
Sahban terpaksa berhenti karena ia harus pindah tempat
tinggal ke daerah Pasar Butung. Ya, Sahban harus membantu kakaknya, Hanafi,
yang menjual kain di sana. Walaupun tidak lagi bersekolah, Sahban ternyata
masih dibutuhkan oleh teman-temannya yang belajar mengaji padanya. Mereka tetap
datang menemui Sahban untuk belajar mengaji dan juga belajar berbagai mata
pelajaran sekolah.
Ia tidak menjadi guru privat, tetapi menjadi teman belajar
sekaligus tempat bertanya kalau ada pelajaran yang mereka tidak tahu, karena
ternyata Sahban memiliki kelebihan kemampuan belajar dibandingkan teman-teman.
Editor: Asnawin
Aminuddin
Artikel terkait: