Sahban kecil juga belajar pertama kali berceramah dan berpidato pada bulan Ramadhan di surau. Ia bersama teman-temannya sesama bocah, yang rata-rata masih duduk di bangku kelas IV hingga kelas VI sekolah dasar, diajar dan dilatih berpidato untuk tampil sebagai protokol atau sebagai penceramah tarwih.
--------
PEDOMAN
KARYA
Ahad,
25 November 2018
Biografi Sahban
Liba (3):
Terbiasa
Tampil di Mimbar Sejak SD
Penulis: Hernita
Sahban Liba
Selain
bertugas mencari rumput untuk makanan kuda, Sahban kecil juga bertugas membantu
kakak-kakaknya mencari kayu bakar di sekitar kebun dan di pinggir hutan. Itu ia
lakukan biasanya setelah pulang sekolah.
Mencari
kayu bakar rutin dilakukannya dan biasanya ia pergi mencari kayu bakar bersama
kakaknya, Abduh. Kebetulan usia keduanya memang agak dekat, sehingga mereka
seperti teman sebaya dan teman sepermainan. Kayu bakar yang dikumpulkan
kemudian diikat dan dibawa pulang sembari membawa pulang kedua ekor kuda
peliharaan keluarganya yang diberi nama Cabbo’ dan Bukku’.
Saat
magrib tiba, Sahban bersama saudara-saudaranya biasanya sudah ada di surau di
dekat rumahnya, yang juga berfungsi sebagai sekolah agama. Pada bulan puasa
atau bulan Ramadhan, Sahban dan anak-anak desa pada umumnya malah sudah ada di surau
sebelum magrib untuk berbuka puasa bersama, sampai pada malam hari setelah
shalat tarawih.
Bulan
Ramadhan bukan hanya membiasakan Sahban dan anak-anak lainnya untuk berpuasa
dan shalat berjamaah, melainkan juga menjadi ajang latihan berceramah bagi
mereka sebagai santri sekolah agama.
Sahban
kecil juga belajar pertama kali berceramah dan berpidato pada bulan Ramadhan.
Ia bersama teman-temannya sesama bocah, yang rata-rata masih duduk di bangku
kelas empat hingga kelas enam sekolah dasar, diajar dan dilatih berpidato untuk
tampil sebagai protokol atau sebagai penceramah tarwih.
Dengan
penuh semangat, Sahban dan teman-temannya berlatih berpidato dan satu per satu
naik ke mimbar untuk membiasakan diri berdiri di hadapan orang banyak. Mereka
tentu saja tidak langsung berbicara secara lisan, tetapi menulis teks pidato
atau teks ceramah dan membacanya di atas mimbar.
Setelah
dianggap sudah mampu tampil berceramah tanpa membaca teks tertulis, sang guru
pun menyuruh mereka satu per satu naik ke mimbar. Namun ternyata mereka tetap
membawa naskah teks ceramah saat naik ke mimbar.
Anak
yang dipanggil pertama untuk naik ke mimbar membawa naskah teks dan sang guru
kesal. Anak kedua yang dipanggil naik ke mimbar juga membawa naskah teks
ceramah dan lagi-lagi sang guru kesal. Sahban mendapat giliran ketiga naik ke
mimbar dan juga membawa naskah teks.
Kekesalan
sang guru pun memuncak dan langsung menyambar kertas berisi naskah ceramah yang
dipegang Sahban, padahal Sahban baru saja mengucapkan “Assalamu alaikum
warahmatullahi wabarakatuhu.”
Sang
guru kemudian menyuruh Sahban berpidato tanpa membaca teks, tetapi karena kaget
mendapat perlakuan seperti itu. Ia kaget karena naskah ceramahnya disambar
begitu saja di depan teman-temannya yang lain. Ia akhirnya tak bisa bicara
apa-apa, padahal ia sudah hapal isi ceramah dalam naskah tersebut, karena
ternyata Allah SWT memberikan kelebihan padanya yakni cepat dan kuat menghapal.
Karena
kaget dan gugup setelah naskah ceramahnya disambar begitu saja oleh sang guru,
Sahban sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Teman-temannya menyuruhnya bicara,
tetapi ia hanya diam, bahkan tak lama kemudian tangisnya pecah. Ia pun turun
dari mimbar sambil terisak.
Sahban
benar-benar syok. Ia malu mendapat perlakukan kurang enak dari gurunya. Ia kesal.
Ia akhirnya tak mau lagi muncul di surau. Keseringan berada di rumah pada saat
teman-temannya sedang berkumpul di surau, membuat kedua orangtuanya menjadi
iba. Perasaan iba itu semakin bertambah, karena guru agama Sahban juga datang ke
rumahnya menemuinya sekaligus bersilaturrahim dengan kedua orang tua Sahban.
Dengan
penuh kasih sayang, ayahnya yang ia dan saudara-saudaranya memanggilnya dengan
panggilan hormat Ambe’ Suba, dan ibunya yang mereka panggil dengan panggilan hormat
Indo’ Empa, mendekati Sahban, menghibur dan memberinya motivasi.
Mereka
berdua kemudian mengantarnya ke surau dan perlahan tapi pasti, semangat dan
kepercayaan diri Sahban pun kembali seperti sedia kala. Ia kembali belajar dan
berlatih berpidato. Ia kembali membiasakan diri tampil di mimbar untuk menjadi protokol
dan berlatih berceramah. Perlahan tapi pasti, akhirnya ia lancar berpidato. Sejak saat itulah ia terbiasa tampil di mimbar dan
tampil di depan orang banyak. (bersambung)
-----
Artikel
terkait: