“Bu, kalau mau ke Surabaya
kota, jalannya kemana?”
“Ya, mau ke kota. Kota apa?” tanya ibu itu.
“Ya, ke kota yang ramai
toko-toko dan sekolahan disana,” jawab Sahban.
“Kalau
begitu anak naik trem, kalau sudah ketemu kotanya berhenti di halte trem,” kata ibu itu
“Dimana
tremnya bu?” tanya Sahban.
-------
PEDOMAN
KARYA
Senin,
24 Desember 2018
Biografi Sahban Liba (10):
Berjuang Hidup di Surabaya
Penulis: Hernita Sahban Liba
Setelah
mengarungi laut lepas selama dua hari dua malam, kapal kecil yang ditumpangi
Sahban Liba bersandar di
dermaga Tanjung Perak, Surabaya. Pada saat akan turun, Sahban sempat
bercakap-cakap dengan seorang penumpang, bapak tua, yang berdekatan
tidur dengannya di dek kapal.
“Nak, mau kemana?” tanya bapak tua itu.
“Ya, mau ke Surabaya,” jawab Sahban.
“Ini
Surabaya. Anak tinggal dimana di Surabaya?”
tanya bapak tua itu lagi.
“Belum
tahu,” jawab Sahban.
“Untuk
apa anak ke Surabaya?” tanya bapak tua
itu.
“Mau
sekolah,” jawab Sahban
“Dimana?”
tanya bapak tua itu.
“Belum
tahu,” jawab Sahban.
Dialog
singkat ini membuat bapak
tua ituheran, tapi kemudian
para penumpang bergegas-gegas turun sehingga dialog tidak dilanjutkan dan para
penumpang turun ke darat.
Turun
di darat, Sahban mencari warung makan yang murah, satu
piring nasi putih, satu biji telur, dengan sausnya dan segelas teh manis.
Dengan harga Rp5,- (lima rupiah). Hidangan
ini telah cukup mengenyangkan perut untuk melanjutkan perjalanan. Sahban
bertanya pada ibu pemilik warung.
“Bu, kalau mau ke Surabaya
kota, jalannya kemana?”
“Ya, mau ke kota. Kota apa?” tanya ibu itu.
“Ya, ke kota yang ramai
toko-toko dan sekolahan disana,” jawab Sahban.
“Kalau
begitu anak naik trem, kalau sudah ketemu kotanya berhenti di halte trem,” kata ibu itu
“Dimana
tremnya bu?” tanya Sahban.
“Ya
itu, yang panjang
bergandeng-gandengan,” jelas ibu
pemilik warung itu sambil geleng-geleng kepala, yang kemudian mengantar Sahban
ke halte trem dan Sahban pun naik ke trem(*).
Di atas trem, Sahban merasa tegang. Mau bertanya kepada
siapa, dan apa pertanyaannya
semuanya serba bingung. Tapi hati tetap tegar menghadapi semua ini, karena
Sahban berprinsip, asal niat yang baik
pasti dikasih petunjuk oleh Allah SWT.
Selain
itu, Sahban selalu membaca lembaran kertas yang bertuliskan ayat kursi berkali-kali,
sesuai nasehat orang-tuanya
sebelum berangkat.
Tak
lama kemudian, secara tidak sengaja mata Sahban melihat Hotel Orange di sebelah
kiri jalan. Ia teringat pidato Bung Tomo yang selalu didengarkan di radio pada tahun 1945, saat ia berusia delapan
tahun.
Pidato
itu berbunyi bahwa Bung Tomo dan kawan-kawanya bertahan di Hotel Orange dan
seorang pemuda sedang naik ke puncak hotel merobek warna biru dari bendera
Belanda yang berwarna merah, putih, dan
biru.
Dengan
lantang Sahban berteriak STOP-STOP. Trem berhenti di tempat pemberhentian trem
di Jl. Tunjungan Surabaya, dekat dengan Hotel Orange tersebut.
Sahban pun turun diemper-emper
sebuah toko. Sambil memperhatikan kendaraan yang mondar-mandir, Sahban duduk
berjongkok menikmati kacang rebus yang dibungkus dengan daun pisang. Makanan
itu begitu nikmat rasanya dan turut membantunya mengendurkan urat saraf yang
masih tegang.
Sambil
mengunyah kacang rebus,
mata Sahban tertuju ke toko seberang jalan, tertulis jelas toko MATTALITTI. “Pemilik toko ini pasti
orang dari Sulawesi Selatan,” pikir Sahban, karena nama Matalitti adalah nama
yang umum di Sulawesi Selatan. Lagi pula, pada saat itu, Mattalitti adalah
saudagar Bugis-Makassar yang terkenal di Surabaya.
Pelan-pelan
tapi pasti, Sahban menyeberang ke pintu toko MATTALITTI. Di depan toko duduk
seorang tua, mengawasi setiap tamu yang akan masuk berbelanja kain di toko
tersebut. Kepada orang tua itulah
Sahban bertanya tentang lokasi masjid di daerah tersebut.
Setelah
beliau jelaskan, maka Sahban mulai menyelusuri lorong di belakang Jl Tunjungan.
Setelah berjalan kurang lebih dua jam, sebuah masjid yang lumayan besar berada
di dekat lapangan Kampung
Kaliasin.
Alhamdulillah,
bisik Sahban dalam hati memuji
Allah SWT, karena memang tujuan pertama dan utama adalah masjid tempat
menginap, walau mungkin hanya untuk beberapa hari saja sembari mencari tempat
layak dan murah.
Langkah
ini diambil karena memang uang yang tersedia sangat terbatas, hanya cukup satu
kali makan nasi dan satu kali makan ubi atau tempe goreng setiap hari. Hemat
tapi nikmat.
Walau
rencananya adalah tinggal untuk beberapa hari saja, Sahban akhirnya tinggal
selama lima bulan di Masjid
Djami tersebut. Hal ini
dapat dilakukan karena Sahban dibantu oleh pengurus mesjid.
Pengurus
mesjid memberikan izin tinggal karena Sahban melakukan aktivitas yang sangat
membantu bagi mesjid. Sahban setiap hari membantu menimba air dengan
menggunakan pompa dragon, dari sumur sedalam 10 meter.
Selain
itu, setiap masuk
waktu shalat,
Sahban selalu menjadi muadzin dan kadang-kadang
membaca al-qur’an melalui pelantang masjid.
Setelah
beberapa lama menginap, tiba saatnya ujian
sekolah. Ujian ini bernama Ujian
Persamaan Sekolah Guru
Bawah (SGB) dan Tes
Masuk Sekolah Guru Atas
(SGA).
Sahban
pagi-pagi telah bangun dan bersiap-siap berangkat. Ia berangkat dengan berjalan
kaki sejauh 6 (enam) kilometer ke tempat ujian di PGAN Surabaya. Sekolah ini
berada di Karang Menjangan, Airlangga, Surabaya.
Sesampai
di sekolah, ia
bertemu dengan sesama pelajar
dari berbagai daerah yang akan ikut ujian. Satu dengan yang lainya belum saling
mengenal, sehingga hanya saling
pandang dan sekali-sekali mengulur senyum.
Saat
lonceng berbunyi masing-masing masuk kelas dan duduk di kursi yang telah
disediakan. Jarak antar kursi
kurang lebih satu meter. Mulut Sahban mulai berkomat-kamit dengan bacaan doa
dengan perasaan yang tegang.
Mata
pelajaran yang pertama diujikan adalah aljabar. Dalam tempo seperampat jam
Sahban selesaikan jawabannya dan menyerahkan hasil ke panitia. Panitia pun yang menerima
kertas jawaban merasa kaget, mungkin disangkanya adalah meminta izin atau minta
tambahan kertas, sehingga Sahban langsung menjelaskan “selesai pak”.
Peserta ujian lainnya
pun kaget dan menoleh ke arah Sahban yang berdiri dan
keluar ke ruangan
untuk istrahat. Situasi seperti itu kembali berulang
saat ujian ilmu ukur dan ujian ilmu
alam.
Satu
bulan kemudian tiba hari penentuan kelulusan. Sahban pagi-pagi telah bangun
shalat subuh, mandi dan jajan seadanya,
kemudian berangkat ke sekolah. Seperti sebelumnya, ia jalan kaki di sekolah dan
tiba kurang lebih jam 11.00
siang.
Saat
itu, para peserta ujian sudah banyak yang berkumpul di depan papan pengumuman.
Sahban pun
mendekat dengan keyakinan akan lulus. Dari jarak satu meter jelas terbaca nomor
ujian Sahban, yaitu nomor 64, sebagai salah satu peserta yang lulus. Sahban
langsung sujud syukur saat itu juga.
Sahban
kemudian bergegas pulang ke masjid tempat menginap. Kegembiraan hatinya begitu meluap-luap,
tetapi hanya ia rasakan sendiri. Akhirnya hanya duduk tafakkur di serambi
masjid dengan berkali-kali mengucapkan hamdalah.
Tidak
terasa Sahban meneteskan air mata kebahagiaan, tapi kebahagiaan yang hampa
karena tidak ada tempat berbagi, tidak ada tempat melampiskan kepuasan.
“Ya
Allah, Engkau telah terima doa hamba-Mu ini. Engkau tidak
sia-siakan upaya hambamu
yang jauh-jauh datang dari Sulawesi menempuh ujian Ikatan Dinas. Semoga kesuksesan
pertama ini akan membawa hamba-Mu
menjadi orang yang berguna dan taat beribadah. Terima kasih ya Allah,” ucap Sahban.
Doa
itulah yang pertama kali diucapkan Sahban saat tiba serambi
Masjid Djami Surabaya
saat lulus ujian.
Berita
gembira itu ingin segera ia sampaikan kepada kedua orang-tua dan saudara-saudaranya di
Desa Kalosi, Enrekang.
Sahban pun
mengirim surat melalui pos. Surat ini baru sampai setelah satu bulan dalam perjalanan dari
Surabaya ke Kalosi. (bersambung)
Editor:
Asnawin Aminuddin
---
Keterangan:
(*) Di Surabaya saat itu masih terdapat trem. Trem adalah sejenis angkutan umum
kereta api dalam kota. Trem pernah dioperasikan di Batavia (Jakarta) dan
Surabaya sejak tahun 1886. Terdapat tiga jalur trem saat itu, salah satunya
jalur yang dilalui Sahban, yaitu jalur Tanjung Perak – Tunjungan – Darmo –
Kebon Binatang. Trem di Surabaya tidak lagi beroperasi sejak tahun 1975.