JALAN PANELEH. Asrama
sekolah PGAN
(Pendidikan Guru Agama Negeri) berada
di Jl Peneleh,
Nomor 30, Surabaya (sekarang
menjadi lokasi dari Apotek Bahagia Farma). Satu kamar di asrama ditempati oleh
empat orang. Tentu
saja sumpek, tapi bagi Sahban Liba dan kawan-kawan, tidak ada kata sumpek.
Mereka sudah terlalu gembira karena mendapat tempat tinggal gratis dan juga
sekolah tanpa bayar.
---------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 23 Januari 2019
Biografi Sahban Liba (11):
Suka Duka Tinggal di Asrama
Penulis: Hernita Sahban Liba
Asrama sekolah PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) berada di Jl Peneleh, Nomor 30, Surabaya (sekarang menjadi lokasi dari Apotek Bahagia Farma). Satu kamar di asrama ditempati oleh empat orang.
Tentu
saja sumpek, tapi bagi Sahban Liba dan kawan-kawan, tidak ada kata sumpek.
Mereka sudah terlalu gembira karena mendapat tempat tinggal gratis dan juga
sekolah tanpa bayar.
Jatah
makan untuk pelajar juga dirasakan sudah cukup, apalagi semuanya gratis alias tak perlu dibayar, karena
disediakan oleh pemerintah untuk mereka. Toh, kedatangan mereka dari berbagai daerah bukan
untuk bersenang-senang dan foya-foya, melainkan untuk belajar agar dapat
memiliki masa depan yang cerah dan juga dapat mengabdikan diri untuk bangsa dan
negara.
Sahban
dan kawan-kawan juga dapat setiap hari berolahraga untuk menjaga kebugaran
tubuh sekaligus berlatih berkompetisi, karena asrama sekolah mereka memiliki
fasilitas olahraga dan itu membuat Sahban merasa sangat senang.
Soal
makan, Sahban memiliki kelebihan, karena ia pandai memasak. Ia dan
kawan-kawannya juga tidak perlu susah-susah pergi ke sumur menimba dan mengambil
air, karena asrama mereka memiliki fasilitas air bersih dari perusahaan air
minum (PAM). Karena sumber airnya dari PAM, maka airnya tentu saja dapat
langsung digunakan untuk masak dan mandi.
Tapi
di manapun
kita berada, di tanah
manapun tempat berpijak, tentu selalu saja
ada permasalahan
atau persoalan yang terjadi dan harus dihadapi.
Dan itu merupakan tantangan dalam hidup. Begitu
pula dengan kehidupan pelajar di asrama.
Masalah
yang kerap dihadapi Sahban dan teman-temannya di asrama antara lain
perselisihan antar-pelajar di asrama yang kadang berujung perkelahian.
Perkelahian
di asrama dapat dipicu hanya oleh masalah sepele, antara lain soal mandi, suara keras dalam kamar,
dan soal makan.
Perkelahian
bukan hanya duel atau satu lawan satu, tapi kerap juga
dengan cara keroyokan, terutama jika itu menyangkut perselisihan antar-person
dari etnis berbeda. Kadang-kadang persoalan pribadi tetapi akhirnya melibatkan
teman-teman dari daerah yang sama, sehingga terjadilah perselisihan atau
perkelahian kelompok antar-etnis.
Sahban
berpikir, seharusnya keanekaragaman suku dan etnis dapat menjadi pemersatu,
tetapi justru sebaliknya, keanekaragaman itu menjadi pembeda yang kerap
berujung menjadi pemecah-belah.
Kebetulan,
mayoritas pelajar yang tinggal di asrama tersebut berasal dari Kalimantan,
sedangkan pelajar asal Sulawesi Selatan hanya dua orang, yaitu Sahban Liba dan
seorang kawannya yang berasal dari Maroanging bernama Kasim Pallanyu.
Para
pelajar dari Kalimantan yang jumlah cukup banyak itulah yang kerap membuat
keributan. Mereka sering membuat ulah. Karena Sahban hanya dua orang dari
Sulawesi Selatan, akhirnya mereka sering mengalah dalam setiap terjadi perselisihan,
meskipun mereka dalam posisi benar.
Selain
itu, Sahban juga selalu ingat pesan kedua orangtuanya, yakni ayahnya Ambe’
Suba, dan ibunya, Indo Empa. Pesan mereka, carilah teman, jangan cari lawan.
Bukan
hanya mengalah di asrama, Sahban dan kawannya juga kerap mengalah di lapangan
olahraga. Kadang-kadang mereka sesungguhnya mampu mengalahkan lawannya dalam
setiap kompetisi atau pertandingan, tetapi Sahban dan kawan-kawannya sering
mengalah, karena lawannya kadang-kadang tidak mau menerima kekalahan.
Kondisi
tersebut diperparah dengan lemahnya pengawasan, baik dari pembina, maupun dari
pihak pengamanan asrama. Akhirnya terjadilah smacam hukum rimba. Siapa yang
kuat, dialah yang berkuasa. Semua diatur sesuai hukum rimba.
Akibatnya, sulit memperoleh ketenangan di
dalam asrama.
Di sinilah Sahban
merasakan sesuatu yang berbeda yang perlu disimak sedalam-dalamya dengan
menggunakan hati nurani. Pesan orang tua, kalau persoalan kecil mengalah, tapi
kalau persoalan besar, umpama menginjak-injak kepala, ya apa boleh buat harus
hadapi tantangan.
Sahban
tinggal selama dua setengah tahun di asrama pelajar
PGAN, Jl Peneleh, Surabaya. Dari
berbagai kejadian dan suka-duka selama tinggal di
asrama, Sahban mendapatkan pengalaman yang sangat berharga.
Ia
telah bertemu dengan pemuda pelajar dari seluruh Indonesia dengan karakter yang
bermacam-macam. Ia juga belajar
menjadi orang dewasa yang bijak dalam menghadapi setiap masalah, termasuk
mengalah untuk menang. (bersambung)
Editor:
Asnawin Aminuddin
Artikel
Terkait:
Berjuang Hidup di Surabaya
Angin Laut Penuh Inspirasi