PENGGAGAS BAHASA INDONESIA. Muhammad
Yamin, Sanusi Pane, dan Mohammad Tabrani, oleh Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
diajukan ke khalayak sebagai calon “Penggagas Bahasa Indonesia.”
-------
PEDOMAN KARYA
Senin, 22 April 2019
Siapa
Penggagas Bahasa Indonesia
(Wartawan senior /
Ketua Umum Forum Bahasa Media Massa)
Hari
Minggu 2 Mei, empat aktivis pemuda diminta berkumpul. Tim perumus ini harus
membuat keputusan kongres para pemuda yang berkumpul di Jakarta sejak 30 April.
Yang sudah datang adalah Muhammad Yamin, anggota Jong Sumatranen Bond (JSB),
yang dipercaya membuat konsep unruk keputusan Kongres Pemuda I itu.
Sudah
tiba pula Djamaludin Adinegoro, wartawan dan juga tokoh pegerakan asal JSB.
Juga sudah hadir Mohammad Tabrani, wartawan Hindia Baroe, dan ketua panitia
Kongres. Tinggal satu anggota lagi, Sanusi Pane.
Namun,
tanpa Sanusi pertemuan pun dilaksanakan. Yamin, yang di Kongres Pemuda I tahun
1926 itu sudah mengetengahkan makalahnya yang berjudul “Kemungkinan-kemungkinan
untuk Bahasa-bahasa dan Kesusateraan Indonesia di Kemudian Hari”, membeberkan
konsepnya. Ia memberinya judul “Ikrar Pemuda.”
Ada
tiga butir isinya. Pertama, “Kami putera-puteri Indonesia mengaku bertanah
tumpah darah yang satu, tanah Indonesia”; kedua “ Kami putera-puteri Indonesia
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; ketiga, “Kami putera-puteri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu.”
Djamaludin
Adinegoro menyatakan setuju dengan konsep Yamin, sementara Tabrani menolak,
terutama butir ketiga.
“Nomor 1 dan 2 saya setuju. Nomor 3 saya tolak. Jalan
pikiran saya kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa
persatuannya harus disebut Bahasa Indonesia dan bukan Bahasa Melayu.”
Begitu
pernyataan Tabrani seperti ditulisnya dalam buku “Anak Nakal Banyak Akal”.
(Lihat buku Harimurti Kridalaksana Masa-masa Awal Bahasa Indonesia, Yayasan
Pustaka Obor, Jakarta 2018)
Yamin
naik pitam dengan alasan: “Tabrani menyetujui seluruh pikiran saya, tetapi
kenapa menolak konsep usul resolusi saya. Lagi pula yang ada Bahasa Melayu,
sedang Bahasa Indonesia tidak ada. Tabrani tukang ngelamun”.
Itu
tambahan yang ditulis Tabranai dalam bukunya. Ia pun tetap pada pendiriannya:
bahasa persatuan haruslah bernama bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.
Posisi
terhadap usul Yamin itu kini 2-1. Djamaludin mendukung Yamin lawan Tabrani.
Namun, kemudian anggota tim perumus keempat, Sanusi Pane, bergabung. Ternyata
pemuda Jong Batak itu, setuju dengan Tabrani. Kedudukan kini 2-2, dua setuju
dua menolak. Keempatnya pun sepakat konsep tentang Ikrar Pemuda itu, akan
diperjuangkan di kongres pemuda berikutnya.
Dalam
Kongres Pemuda II tahun 1928, Yamin berhasil menggolkan ikrar itu menjadi
putusan kongres. Lahirlah Sumpah Pemuda. Tabrani tidak ikut kongres yang kedua
itu karena sedang belajar jurnalistik di Jerman. Yamin, Adinegoro, Tabrani, dan
Sanusi juga ikut dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938, yang digagas wartawan
***
Tiga
dari empat anggota tim perumus keputusan Kongres Pemuda I itu, kini oleh Badan
Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
diajukan ke khalayak sebagai calon “Penggagas Bahasa Indonesia.”
Muhammad
Yamin, Sanusi Pane, dan Mohammad Tabrani dianggap memenuhi kriteria berjasa
terhadap bangsa dan negara, (karyanya) berdampak luas, menunjang pembangunan
bangsa dan negara, berkarya besar dan berhasrat, dan berjiwa konsisten. Badan
Bahasa meminta masukan masyarakat tentang ketiganya.
Tiga
calon itu memang tokoh perjuangan kemerdekaan kita. Sejak muda mereka sudah
bergerak untuk kemerdekaan bangsanya. Jasa mereka memperoleh penghargaan
negara.
Yamin
adalah Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan. Anak Usman Bagindo Khatib dan
Siti Saadah ini lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumbar, pada 24 Agustus 1903, dan
wafat pada 17 Oktober di Jakarta. Ia bersekolah HIS di Palembang lalu ke AMS
Yogya dan maneruskan ke Rechtshoogeshool te Batavia dan mendapat gelar Meester
inde Rechten tahun 1932.
Karena
bakat dan perhatiannya yang besar pada banyak bidang, dia dikenal sebagai
sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum. Tidak heran juga
jika ia beberapa kali menjadi menteri pada masa Bung Karno menjadi Presiden.
Bintang
Mahaputra dan Pahlawan Nasional adalah dua di antara banyak gelar yang
diterimanya. Banyak saudaranya yang menjadi tokoh, antara lain Djamaludin
Adinegoro dan Muhammad Yaman.
Sanusi
Pane, nominee kedua Penggagas Bahasa Indonesia, seperti Yamin, juga punya
saudara yang terkenal. Selain Armin Pane yang sastrawan, juga pahlawan nasional
Lafran Pane, yang pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Anak
seorang guru yang lebih dikenal sebagai sastrawan, ini lebih tertarik dengan
dunia Timur dan dianggap sebagai ‘pembanding’ Sutan Takdir Alisjahbana yang
senang dengan Barat. Sanusi pun pernah belajar bahasa Sanskerta di India.
Karangannya tentang prasasti Talangtuo adalah salah hasil belajar bahasa
Sanskertanya.
Calon
ketiga, Mohammad Tabrani lahir di Pamekasan, Madura. Ia tokoh Jong Java, tetapi
lebih dikenal sebagai wartawan. Ia menjadi wartawan dan kemudian pemimpin
redaksi Hindia Baroe, menggantikan Agoes Salim.
Setelah
kembali dari belajar jurnalistik di Eropa, dia mengemudikan Revue Politiek,
organ partai politik yang didirikannya, Partai Rakyat Indonesia. Lalu ia
menangani koran milik Hadji Djoenaedi, Pemandangan. Sesudahnya dia menjadi
pemimpin di Suluh Indonesia.
Tabrani
pun pernah menjadi Ketua Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi). Juga pernah
menjadi pegawai pemerintah saat Belanda masih ada. Ia hadir ketika Persatuan
Wartawan Indonesia dibentuk tahun 1946, sebagai pegawai Kementerian Penerangan!
Dalam
perjalanan hidupnya, Tabrani yang berpendidikan MULO dan OSVIA (pendidikan
untuk pamongpraja), ikut mendirikan Institut Jurnalistik dan Pengetahuan Umum
bersama Mr Wilopo di Jakarta. Murid-muridnya antara lain Anwar Tjokroaminoto
dan Syamsudin Sutan Makmur. Ia juga pernah bekerja sebagai salah satu direktur
di Coca Cola Indonesia.
***
Dari
ketiga calon, jika dikaitkan dengan penjaringan tokoh Penggagas Bahasa
Indonesia, yang terjadi pada hari terakhir Kongres Pemuda I bisa menjadi
pertimbangan. Di situ kita tahu, siapa penyokong “Bahasa Melayu” dan siapa
“Bahasa Indonesia”.
Sesudah
2 Mei itu, ketiganya terus berkutat juga dengan bahasa. Bahkan, Yamin berhasil
mendorong ikrar yang dikonsepnya menjadi sumpah dua tahun kemudian. Namun,
sebelum Sumpah Pemuda, Tabrani-lah yang kita harus tengok.
Sebagai
pemimpin redaksi Hindia Baroe, dua bulan sebelum Kongres Pemuda I, berbagai
tulisan tentang bahasa Indonesia muncul di korannya. Gong dari tulisan tentang
bahasa Indonesia ini muncul pada 11 Februari 1926 pada rubrik
“Kepentingan”—ditilik dari koran sekarang bisa disebut sebagai “Tajuk
Rencana”—yang berjudul “Bahasa Indonesia”. Penulisnya Tabrani D I, singkatan
dari Djoernalis Indonesia.
Dalam
“Bahasa Indonesia” dia menyatakan bahwa bahasa adalah satu satu jalan untuk
menguatkan persatuan Indonesia dan karena itu haruslah berikhtiar untuk
memiliki satu bahasa ‘yang lambat laun akan dapat diberinya nama bahasa
Indonesia’.
Tambahnya,
pergerakan yang tak begitu keras dan lekas antara lain karena ‘kita tak
mempunyai bahasa yang gampang diketahui oleh sekalian bangsa kita Indonesia’.
Apakah
bahasa Indonesia? “Lain tidak dari bahasa Indonesia yaitu bahasa yang oleh kita
pada masa ini dianggapnya bahasa yang dipakai sebagai bahasa pergaulan oleh
bangsa kita kebanyakan,” tulisnya.
Itulah
bahasa yaang dipakai oleh perhimpunan Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia Merdeka
di Negeri belanda, dan pers, tambahnya.
Bukankah
bahasa Indonesia itu bahasa Melayu juga? “Dan jika bahasa Indonesia itu sungguh
bahasa Melayu, tapi tak urung juga kita menyebutnya ia bahasa Indonesia dan
bukan Melayu… Karena jika tidak begitu niscayalah bangsa kita yang tak mempunyai
bahasa Melayu itu akan merasa terancam dalam bahasanya,” sambungnya.
Dia
menyatakan, maksud gerakan menerbitkan bahasa Indonesia tidak lain agar
persatuan anak Indonesia akan bertambah keras dan cepat.
“Jika
menyebutnya bahasa itu bahasa Melayu salahlah kita. Karena sebutan semacam itu
seolah-olah dan mesti mengandung sifat imperialisme dari bahasa Melayu terhadap
kepada lain-lain bahasa bangsa kita di sini,” tambah Tabrani.
Pada
akhir tulisan, Tabrani dengan berani mengajak pembaca untuk menerbitkan bahasa
Indonesia, “Bangsa Indonesia beloem ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu!
Bahasa Indonesia beloem ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu! Karena
menoeroet kejakinan kita kemerdekaan bangsa dan tanah air kita Indonesia ini
teroetama akan tertjapai dengan persatoean anak-Indonesia jang antara lain-lain
terikat oleh b a h a s a I n d o n e s i
a.”
Jadi, menurut saya,
Tabrani lebih dulu menyebut bahasa Indonesia dibanding dua yang lain. ***