Sahban lulus dari semua ujian fisik, ujian senjata, ujian intelegensi, dan lain-lain.
Pada tahun 1967, Sahban dan
rekan-rekannya dilantik menjadi perwira marinir Angkatan Laut.
-------
PEDOMAN
KARYA
Senin,
06 Mei 2019
Biografi Sahban Liba (12):
Lolos dari Kebiadaban G-30-S PKI, Masuk Jadi Prajurit
Marinir
Penulis: Hernita Sahban Liba
Setelah
tamat belajar dan bertugas
mengajar di beberapa SD dan SMP sampai memperoleh kembali tugas belajar di IKIP
Erlangga Malang, Sahban tinggal di Asrama
Sulawesi, Jl Kunir No 15 Malang
(sekarang sudah menjadi bagian dari kawasan permukiman mewah).
Kuliah
di IKIP Erlangga Malang cukup mengasyikkan. Teman-temannya
sesama mahasiswa sopan-sopan dan suka saling
membantu. Salah satu sahabat Sahban dari
IKIP Malang, yaitu Wardiman
Djojonegoro (1).
Usianya tiga tahun lebih tua dari Sahban.
Sahban
juga menjadi anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di HMI, Sahban bertemu dengan Malik
Fajar (2) dan menjadi sahabat.
Usia malik Fajar dua tahun lebih
muda dari Sahban.
Di saat-saat asyik kuliah, siaran radio dari Jakarta
berkumandang menyampaikan adanya Gerakan 30 September (G-30-S) tahun 1965. Sebagai
imbas dari peristiwa tersebut, setiap hari situasi kota Malang tidak aman.
Pergolakan
mahasiswa terjadi dimana-mana, terutama yang bergabung dalam organisasi seperti HMI, PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan
CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).
HMI
dan PMII berorientasi pada Islam, GMNI nasionoalis, dan CGMI komunis.
Masing-masing organisasi menganggap dirinya yang paling benar. Masing-masing
juga saling menghujat, menuntut lawannya untuk dibubarkan. Akibatnya, bentrokan tidak bisa dihindari.
Perkuliahan sendiri tidak diliburkan. Hanya beberapa dosen tidak hadir di
kampus karena khawatir situasi tersebut. Lagi pula, mahasiswa banyak yang sudah
malas kuliah dan lebih senang turun ke jalan-jalan untuk melakukan demo.
Bagi
Sahban dan rekan-rekan mahasiswa yang tinggal di Asrama Sulawesi di Jl Kunir No
15, terdapat kecemasan yang besar. Sebagian besar mahasiswa di asrama adalah
aktivis HMI dan PMII,
sedangkan di sekitar daerah tersebut, kebanyakan aktivis dan simpatisan PKI.
Dugaan
para mahasiswa tepat sekali, karena tiga
bulan setelah G-30-S, asrama Sulawesi
Malang diserbu tukang becak, dibantu oleh Polisi Brimob simpatisan PKI yang
datang memukul dan menendang para mahasiswa yang tidak berdaya, baik dengan tangan
kosong, senjata tajam, maupun popor senjata.
Menariknya,
Sahban menjadi satu-satunya mahasiswa yang luput dari pemukulan ini. Ia luput karena
bersembunyi di bawah kolong tempat tidur
dengan cara merapatkan kedua kaki dan kedua tangannya pada bagian dalam
tempat tidur di bawah kasur.
Tentu
saja sangat berat melakukan hal tersebut kalau tidak memiliki tangan dan kaki
yang kuat dan terlatih. Dengan cara begitu, tubuhnya tidak terlihat karena
tersembunyi di bawah kasur dan berada sekitar dua jengkal dari lantai.
Mahasiswa
lainnya menempel badannya di lantai, sehingga terkena
ayunan pedang dan senjata dari orang-orang PKI yang memeriksa kolong tempat tidur. Di antara teman-temannya yang menjadi
korban kebiadaban PKI yaitu sahabat baiknya Abdul
Pandare.
Teman-teman
Sahban saat itu sempat mengira bahwa Sahban memiliki ilmu menghilang, karena ketika orang-orang PKI melakukan penyerangan ke
asrama mahasiswa, ia tak terlihat dan luput dari aksi kebiadaban PKI.
Jadi Prajurit Marinir
Setelah
kejadian itu, Sahban kemudian memutuskan meninggalkan asrama dan
langsung ke Kesatrian Angkatan Laut di Malang. Pada awalnya, ia bermaksud untuk
meminta perlindungan Angkatan Laut. Ia akrab dengan Angkatan Laut karena
menjadi pelatih judo di Kesatrian ini.
Setelah
dipikirkan, akhirnya Sahban memutuskan untuk mendaftar masuk KKO AL (Korps
Komando Operasi Angkatan Laut) yang
sekarang berubah nama menjadi Marinir Angkatan Laut.
Pimpinan
KKO saat itu adalah Mayor KKO E W A Pangalila. Beliau
wafat dua tahun kemudian dalam kecelakaan pesawat terbang. Beliau saat itu akan
menjalankan tugas sipil KKO AL. Pangalila
adalah pelopor pembentukan Sekolah Perang
Khusus (Serangsus) KKO di Ksatrian Gunungsari Surabaya.
Pesawat
yang membawa Pangalila,
Electra GIA “Candi Borobudur”,
jatuh di daerah Mapanget, Manado, tanggal 16 Februari 1967. Beliau wafat
bersama 21 penumpang lainnya dari total 84 penumpang di pesawat tersebut.
Menurut
penuturan saksi mata yang masih hidup, beliau wafat karena keluar masuk pesawat
untuk menolong penumpang lainnya keluar dari pesawat.
Setelah
mengikuti tes selama satu setengah bulan, Sahban dinyatakan lulus masuk
SEDASPAKO (Sekolah Dasar Perwira Komando, Angkatan Laut). Saat itu, ia langsung
diperintahkan naik truk menuju asrama KKO AL di Jl Gubeng Surabaya (sekarang
telah menjadi kompleks perbelanjaan Grand City Mall), sehingga tidak sempat
pulang ke asrama untuk mengambil baju dan lain-lain.
Sesampai
di Gubeng, Sahban dan rekan-rekannya mendapatkan pakaian loreng. Rambut mereka
dicukur dan dipersilahkan makan siang.
Ada
hal lucu yang terjadi saat itu. Saat itu, sekitar jam 14.00, Sahban dan
rekan-rekannya berbaris di bawah terik matahari. Mereka berpakaian lengkap
dengan pakaian loreng dan sepatu boot.
Satu persatu dipersilahkan ke meja makan untuk makan siang oleh para senior
dengan senjata lengkap ditangan. Walau begitu, di atas meja hanya ada piring
omprengan tanpa nasi dan lauk.
Para
senior kemudian
mengucapkan kata-kata, “Rupanya saudara-saudara
sudah jadi tentara. Tentara itu tidak boleh makan sebelum lari keliling
lapangan”. Akhirnya, para senior memerintahkan agar semua tentara baru untuk
keluar dan berlari tiga putaran di lapangan sebelum makan siang.
Setelah
makan siang, para tentara yunior diperintahkan agar cepat ke tempat tidur
dengan tetap berpakaian lengkap. Para senior mengontrol ke kamar-kamar agar
menjamin para yunior telah menutup mata dan tidur.
Setelah
semalamnya tidur pulas, para calon dikagetkan dengan tembakan dan ledakan TNT
yang menguncang asrama di dalam Kesatrian Angkatan Laut.
“Keluar-keluar
ada musuh, tiarap semua!” teriak para senior, sambil memukul pantat dan badan
prajurit yang terlambat bangun.
“Tiarap-tiarap!”
teriak lagi senior. Akhirnya para calon seluruhnya berada di lapangan dengan
jalan tiarap. Wajah mereka penuh peluh,
bahkan ada yang terluka terkena benda-benda yang dilalui.
Di
sinilah Sahban dan para calon marinir baru
merasakan bahwa inilah babak pertama latihan di asrama KKO AL Surabaya.
Rutinitas yang dilalui adalah bangun shalat jam 04.30, langsung latihan sampai
malam jam 19.00. Hal ini dilakukan rutin selama 4 (empat) bulan dengan bermacam-macam
bentuk latihan.
Setelah
cukup 4 (empat) bulan mengikuti ujian fisik, para prajurit yang lulus langsung
berangkat ke hutan di Kampung Pasewaran, sekitar
16 kilometer dari kota Banyuwangi. Fisik Sahban dan
para prajurit lainnya digembleng di hutan.
Menembak, snapring, berlari sambil melempar
pisau hingga menancap ke sasaran, melompat dari truk yang sedang melaju dengan
kecepatan 40 km/jam, dan meluncur dengan tali dari pohon dengan ketinggian 30
m. Latihan ini berlangsung kurang lebih enam bulan.
Pada
latihan bertahan hidup, Sahban bersama sekitar satu kompi (empat pleton)
dilepaskan untuk tinggal di hutan selama satu bulan. Mereka hanya dibekali tiga
atau empat balok garam, korek, dan rokok.
Para
prajurit terpaksa harus makan ular, kera, dan hewan liar lainnya. Hewan-hewan
ini dibakar dan dimakan dengan garam. Selain untuk memenuhi rasa lapar, para
senior mengatakan bahwa daging monyet atau ular dapat membantu mengatasi
kedinginan di atas gunung.
Hutan
Pesawaran berada di Gunung Ijen dengan ketinggian maksimal 2.443 meter di atas
permukaan laut. Udara yang ada sangat dingin dan menusuk hingga ke tulang
belakang dan dada.
Sudah
sangat beruntung jika mereka menemukan ayam hutan atau buah-buahan yang dapat
dimakan. Tidak ada orang lain yang hidup di hutan ini. Hanya ada penduduk dari
kota Banyuwangi yang sekali-sekali datang untuk mencari kayu gelondongan untuk
tiang rumah. Tidak ada pula bantuan lainnya yang disediakan di hutan Pesawaran,
sehingga mereka harus hidup dari usaha sendiri-sendiri.
Setelah
pelatihan di hutan berakhir, pasukan berkumpul di Banyuwangi. Disini dilakukan
latihan terakhir yaitu jalan kaki dari Banyuwangi ke Surabaya. Walaupun jarak
Banyuwangi dan Surabaya sebenarnya hanya sekitar 300 km jika melalui jalan
raya, jarak ini menjadi 500 km bagi pasukan marinir.
Hal
ini karena medan yang dilalui adalah pegunungan, jurang, medan berpasir dan
berbatu, serta lembah yang terdapat di pegunungan Ijen, Argopuro, Tengger, dan
Bromo. Jarak ini ditempuh tujuh hari tujuh malam.
Para
prajurit hanya berhenti pada waktu makan dan istirahat santai sekitar satu jam dan tidur. Hampir
semua pasukan menghabiskan tiga
buah sepatu,
dua sepatu laras dan satu sepatu karet. Kegiatan lintas medan dari Banyuwangi
ke Surabaya ini hingga sekarang rutin dilakukan dalam pelatihan marinir di TNI
Angkatan Laut.
Sahban lulus dari semua ujian fisik, ujian senjata, ujian intelegensi, dan lain-lain.
Pada tahun 1967, Sahban dan
rekan-rekannya dilantik menjadi perwira marinir Angkatan Laut.
Ia
mendapatkan pangkat tingkat pertama letnan muda marinir. Pelantikan dilakukan
di Lapangan Gunung Sari Surabaya. Ijazah Sahban langsung ditandatangani oleh
Presiden Soeharto. Sahban sendiri memperoleh nomor induk NRP 5256.P. (bersambung)
Editor: Asnawin Aminuddin
-------
Keterangan:
(1) Wardiman Dojonegoro di
kemudian hari terangkat Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998).
(2) Malik Fajar di kemudian hari menjabat Menteri Agama
pada kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999; Menteri Pendidikan Nasional pada
Kabinet Gotong Royong 2001-2004, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
ad interim bulan April – Oktober 2004.
------
Artikel Terkait:
Biografi Sahban Liba: Suka Duka Tinggal di Asrama
Berjuang Hidup di Surabaya
Artikel Terkait:
Biografi Sahban Liba: Suka Duka Tinggal di Asrama
Berjuang Hidup di Surabaya