Jika marah yang memuncak yang dapat ditahan masih berpotensi menyimpan luka di hati, maka memaafkan inilah puncak dari muttaqien yang muhsinien ini, yakni dapat memaafkan manusia yang bersalah kepadanya tanpa meninggalkan goresan luka di hati, bahkan mampu membalas kejahatan orang dengan kebaikan.
-------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
18 Mei 2019
Suluh Ramadhan 1440 H – Jalan Menuju Taqwa (10):
Memaafkan Tanpa Meninggalkan Goresan Luka di Hati
Oleh:
Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel / Wakil Rektor I Unismuh Makassar)
Allah
SWT berfirman, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. (Ali Imran/3 : 134)
Sifat
orang-orang bertaqwa (muttaqin) yang dijelaskan pada ayat ini mengambil kata
mutttaqien sebagaimana disebutkan pada ayat 133. Sifat dan kebiasaan muttaqin
pada ayat ini memiliki derajat yang tinggi, hal ini ditandai dengan kata
almuhsinien, yakni para pelopor kebajikan yang dikatakan dalam ayat ini
dicintai oleh Allah SWT.
Dicintai
oleh Allah, itu adalah kebahagiaan yang tiada banding bagi orang yang memahami.
Ada dua gelar yang disandangkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya dalam ayat ini,
selain gelar muttaqien juga sekaligus gelar muhsinien, yang menunjukkan
keistimewaan di mata Allah SWT.
Berikut
ini tiga sifat yang istimewa dan mengistimewakan si pemilik sifat itu, yakni;
senantiasa berinfak baik dalam keadaan lapang maupun sempit, menahan amarah,
dan memaafkan manusia.
Sifat
ke-12, yakni senantiasa berinfak, baik dalam kondisi lapang maupun
sempit. Berinfak dalam kondisi memiliki harta yang cukup lapang menjadi hal
yang biasa, yang luar biasa ketika manusia itu mampu berinfak dalam keadaan
sempit.
Bagi
orang-orang yang telah merasakan kecintaan Allah dan diapun mencintai-Nya, maka
akan indah baginya kebiasaan berinfak dalam segala kondisi.
------
Artikel terkait:
Memohon Ampun di Waktu Sahur
------
Artikel terkait:
Memohon Ampun di Waktu Sahur
-----------
Tampaknya
ini adalah tingkatan ketaqwaan yang lebih tinggi jika disusun secara
berturut-turut –sebagaimana telah diuraikan sebelumnya- mulai dari melatih diri
membiasakan berinfak, lalu menjadi pemilik kebiasan berinfak (penginfak), kali
ini menjadi mampu berinfak dalam segala kondisi, tidak harus menunggu lapang,
tetapi dalam kondisi sempit sekalipun.
Sifat
ke-13, yakni menahan amarah. Quraish Shihab dalam tafsir al Misbah
menjelaskan kata al-kazhimin mengandung makna ‘penuh dan menutup rapat’,
seperti wadah yang terisi air penuh dan ditutup rapat.
Gambaran
ini menunjukkan betapa sesorang merasakan marah yang memuncak akibat kesalahan (berat) yang dilakukan orang kepadanya, namun seorang muttaqin yang muhsinien
mampu menahannya, sehingga tidak berefek pada ucapan dan tindakannya yang tidak
terkendali.
Sifat
ke-14, yakni memaafkan manusia. Jika marah yang memuncak yang dapat
ditahan masih berpotensi menyimpan luka di hati, maka memaafkan inilah puncak
dari muttaqien yang muhsinien ini, yakni dapat memaafkan manusia yang bersalah
kepadanya tanpa meninggalkan goresan luka di hati, bahkan mampu membalas
kejahatan orang dengan kebaikan.
Inilah
Al-qur’an mengajarkan manusia melatih diri berinfak dalam segala kondisi,
menahan marah, dan memaafkan manusia. Semoga kita memiliki sifat orang-orang
bertakwa (muttaqien).
-----
Baca juga;
Akui Kesalahan Agar Jiwa Sehat