Suatu
hari, Sahban diajak oleh temannya, Kolonel
Amir Bima (almarhum), untuk pulang kampung ke Makassar. Amir Bima mengajak Sahban pulang kampung, karena dia akan
menikah dengan keluarga sepupunya. Amir
Bima meminta Sahban ikut berpartisipasi pada acara
Pedang Pora, sebuah tradisi apabila
seorang anggota di kalangan militer melangsungkan pesta
pernikahan.
--------
PEDOMAN
KARYA
Sabtu,
11 Mei 2019
Biografi Sahban Liba (16):
Pulang Kampung ke Makassar Berpartisipasi pada Pedang
Pora
Penulis: Hernita Sahban Liba
Suatu
hari, Sahban diajak oleh temannya, Kolonel
Amir Bima (almarhum), untuk pulang kampung ke Makassar. Amir Bima mengajak Sahban pulang kampung, karena dia akan
menikah dengan keluarga sepupu.
Amir
Bima meminta Sahban ikut berpartisipasi pada acara
Pedang Pora, sebuah tradisi apabila
seorang anggota di kalangan militer melangsungkan pesta
pernikahan atau dengan kata lain, Pedang
Pora merupakan prosesi pernikahan untuk menghormati perwira militer yang akan
melepas masa lajangnya.
Pedang
Pora sendiri berasal dari kata Pedang Pura atau Gapura Pedang yang maksudnya
adalah tradisi pernikahan bagi perwira militer. Prosesi itu dilaksanakan dalam
rangka melepas masa lajang perwira yang diiringi dengan rangkaian pedang
berbentuk gapura. Dengan kata lain itu merupakan sebuah penghormatan bagi
perwira yang akan memulai hidup baru dalam bahtera rumah tangga.
Selain
sebagai tradisi wajib yang sudah dilakukan turun-menurun, ada pula makna dan
tujuan yang dalam di balik prosesinya
Angkatan
bersenjata yang menjadi pengiring dan merangkai pedang-pedang tersebut biasanya
adalah rekan-rekan atau adik tingkat dari mempelai pria yang notabenenya adalah
seorang perwira.
Prosesi
Pedang Pora berlaku untuk para angkatan bersenjata yang masih aktif dalam
menjalankan tugasnya pada negara. Baik dari Kepolisian, Tentara Republik
Indonesia (TNI), Angkatan Bersenjata Republik Indonsia (ABRI), Angkatan Darat
(AD), Angkatan Laut (AL), atau Angkatan Udara (AU).
Tidak
hanya sebatas pada mereka, tetapi seluruh perwira pria baik Sepawamil, IDP,
Semapa PK, maupun Secapa reguler juga akan mendapatkan prosesi tersebut. Namun,
ada syarat yang berlaku, yakni upacara itu dilakukan hanya sekali seumur hidup.
Artinya, jika sewaktu-waktu mereka hendak menikah lagi, maka prosesi Pedang
Pora nggak akan lagi dilaksanakan.
Prosesi
Pedang Pora pun akan dimulai ketika kedua mempelai sudah siap berjalan memasuki
gerbang yang terdiri dari 12 orang pasukan Pedang Pora. Mereka berdiri
berhadap-hadapan dengan satu orang sebagai komandan regu.
Pasukan
Pedang Pora termasuk juga mempelai pria tentulah menggunakan seragam
militernya. Lengkap dengan segala atribut, serta pedang pora atau pedang
panjang yang masih berada di dalam sarung dan tergantung pada pinggangnya
masing-masing.
Saat
komandan regu sudah melaporkan kesiapan mereka pada kedua mempelai, pasukan
Pedang Pora pun kemudian dipersiapkan untuk mulai menghunus pedangnya. Pedang
yang terhunus pun memiliki makna sendiri, yakni dengan jiwa ksatria, kedua
mempelai siap menghadapi segala rintangan yang akan mereka hadapi di dalam
kehidupan.
Setelah
itu, secara perlahan pedang pora mulai terangkat ketika mempelai berjalan pelan
tapi pasti di bawah pedang tersebut. Suara tambur pun mengiringi keduanya yang
tengah melewati deretan pedang itu, diikuti oleh pasukan Pedang Pora yang
berjalan tegap di belakang mempelai.
Kemudian
mereka membuat formasi lingkaran yang mengelilingi mempelai sembari
menghunuskan pedang ke atas hingga seolah membentuk payung. Adapun makna di
balik bentuk Payung Pora itu, yakni Tuhan Yang Maha Esa akan senantiasa
melindungi kedua mempelai dalam menghadapi segala rintangan kehidupan dan
selalu ingat untuk memohon lindungan dan petunjuk kepada-Nya.
Selanjutnya,
kedua mempelai pun akan menerima pemasangan cincin yang juga melambangkan kalau
kedua mempelai akan selalu bersama-sama dalam mengarungi bahtera kehidupan
baru. Khusus untuk mempelai wanita, dia akan mendapatkan pakaian atau sebuah
simbol lain sebagai lambang jika dirinya telah siap menjadi istri seorang
prajurit.
Setelah berpartisipasi pada pedang pora dalam pesta pernikahan
Kolonel Amir Bima, Sahban memohon ijin
pulang ke kampung halamannya di Kalosi,
Enrekang.
Ia berencana pulang kampung selama dua hari. Sahban ingin pulang kampung karena sudah lama memendam rindu akan kampung halamannya, terlebih kepada ibundanya tersayang yang telah lama ditinggalkan oleh ayahnya. Sang ayah meninggal dunia saat Sahban berada dalam pendidikan tahun 1967. (bersambung)
Ia berencana pulang kampung selama dua hari. Sahban ingin pulang kampung karena sudah lama memendam rindu akan kampung halamannya, terlebih kepada ibundanya tersayang yang telah lama ditinggalkan oleh ayahnya. Sang ayah meninggal dunia saat Sahban berada dalam pendidikan tahun 1967. (bersambung)
Editor:
Asnawin Aminuddin