Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
--------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 26 Juni 2019
Rabu, 26 Juni 2019
Cerpen:
Aku Membenci Suamiku Selama 10 Tahun (2)
Ketika
suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon
suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki
asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan
dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
Saat
itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup,
aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang
kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa
hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah
bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu
seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa
menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat.
Aku
tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya
untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang
adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku
telah tiada.
Ia
pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan
kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku
dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun
keluar
di kedua mataku.
Aku
sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan
erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika
jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah
itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.
Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin
dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu
dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku.
Aku
terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang
suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin
deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan
dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku
teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak
pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung
dan setelah melahirkan.
Ia
tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku
kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku
tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.
Hampir
seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi
kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan
mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya.
Aku
hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah
makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau
bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh
dari rumah.
Aku
tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya
karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat
pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya
hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. (bersambung)
--------
Cerpen bagian 1: Aku Membenci Suamiku Selama 10 Tahun (1)
Cerpen bagian 3: Aku Membenci Suamiku Selama 10 Tahun (3)
Cerpen bagian 1: Aku Membenci Suamiku Selama 10 Tahun (1)
Cerpen bagian 3: Aku Membenci Suamiku Selama 10 Tahun (3)
Dikutip
dari: http://pendengarnurani.blogspot.com/2012/04/aku-terpaksa-menikahimu-dan-akhirnya.html,
pada Rabu, 26 Juni 2019