PERIBAHASA aslinya berbunyi: ‘Ketika Ada Jangan Dimakan, Telah Habis Maka Dimakan”. Peribahasa ini terkesan kontradiktif. Bagaimana mungkin dapat makan jika ketika ada makanan tidak boleh dimakan, sementara ketika tidak ada makanan, baru boleh makan.
---------
PEDOMAN
KARYA
Kamis,
24 Oktober 2019
Biografi Sahban Liba (36):
Kalau Ada Jangan Dimakan, Kalau Tidak Ada Baru Dimakan
Penulis: Hernita Sahban Liba
Poin
ke-10 dari 12 Mutiara Pemikiran Hidup Sahban, yaitu “Kalau Ada Jangan Dimakan,
Kalau Tidak Baru Dimakan.”
Dalam
bidang manajemen keuangan, Sahban bertopang pada motto ini: kalau ada jangan
dimakan, kalau tidak ada baru dimakan. Sahban
mendapatkan peribahasa ini dari gurunya saat masih duduk di
bangku sekolah dasar (SD).
Ini merupakan salah satu
peribahasa yang telah langka diucapkan. Peribahasa aslinya berbunyi: ‘Ketika Ada Jangan
Dimakan, Telah Habis Maka Dimakan”. Peribahasa ini terkesan kontradiktif.
Bagaimana mungkin dapat makan jika ketika ada makanan
tidak boleh dimakan,
sementara ketika tidak ada makanan, baru boleh makan.
Kesan
kontradiktif dalam peribahasa yang dipegang teguh oleh Sahban ini, memiliki makna
mendalam terkait manajemen keuangan. Peribahasa ini dapat dipahami jika
peribahasa tersebut membicarakan hal yang berbeda antara “ada” dan “dimakan”.
Sesuatu
yang dimaksud “dimakan” dalam peribahasa tersebut adalah simpanan, tabungan,
atau deposito, sedangkan sesuatu yang dimaksud
“ada” dalam peribahasa tersebut adalah dana yang berada di luar dana simpanan
atau tabungan.
Dengan
kata lain, peribahasa tersebut bermakna bahwa ketika terdapat dana lebih di
luar simpanan, maka dana simpanan tidak boleh diambil. Dana simpanan hanya
boleh diambil jika dana di luar simpanan telah kosong.
Sahban
baru benar-benar paham dan menerapkan peribahasa ini ketika ia telah cukup memiliki uang. Ia menyisihkan
sebagian uangnya sebagai dana deposito, sementara sebagian lagi digunakan
sebagai dana yang dapat digunakan. Ia selalu menggunakan dana yang dapat
digunakan tersebut dan tetap menyimpan, bila perlu menambah, dana deposito.
Sahban
menyadari bahwa pepatah inilah yang dipegang oleh
masyarakat Tionghoa di Jakarta. Ia melihatnya sendiri ketika rumah-rumah
Tionghoa di Jalan Keramat dibongkar seluruhnya di masa Ali Sadikin.
Hanya
dalam beberapa bulan, rumah-rumah tersebut
dapat berdiri kembali. Seolah-olah penduduk Tionghoa tiba-tiba memiliki uang
yang sangat banyak untuk dapat kembali membangun rumah.
Namun
ini dapat dipahami jika mereka sebenarnya memiliki
dana cadangan yang tidak pernah diambil dan hanya dikeluarkan saat dana lancar
benar-benar habis. Malahan, dana cadangan ini, menurut Sahban, akan terus
dibawa oleh orang Tionghoa hingga ia meninggal. Dana cadangan ini disimpan di
dalam kuburan mereka.
Sahban
sangat kagum dengan ilmu ini. Ia menyarankan agar setiap orang menabung pada
jumlah tertentu setiap bulan untuk mengisi ruang cadangan yang tidak dapat
diganggu tersebut. Jika perlu, istri atau suami tidak mengetahuinya.
Pernah
suatu kejadian,
anak dan istri Sahban terheran-heran ketika Sahban tiba-tiba memiliki banyak
uang di saat uang mereka telah benar-benar habis sementara mereka sangat
memerlukannya.
Beli Karena Butuh
Poin
ke-11 dari 12 Mutiara Pemikiran Hidup Sahban, yaitu membeli sesuatu karena
kebutuhan, bukan karena keinginan.
Petuah
keuangan ini
diajarkan Sahban berdasarkan kisah hidupnya,
yaitu membeli sesuatu karena kebutuhan, bukan
karena keinginan. Hal ini adalah kunci mengapa dengan bekal hanya Rp140 dan
tiga sarung, Sahban dapat bertahan hidup di Surabaya selama beberapa bulan.
Agar
uang sedikit itu dapat bertahan hingga Sahban diterima di asrama, Sahban harus
berhemat dengan ketat. Ia hanya memakan ubi jalar rebus atau pisang rebus yang
dijual penjaja makanan pada waktu pagi hari. Ia memilih yang paling murah sekadar untuk membuat perut
kenyang.
Di
siang hari, ia juga memakan menu yang sama. Baru pada malam hari ia mengisi
perutnya dengan nasi, itupun hanya separuh porsi. Hal ini membuatnya terbiasa
untuk hidup hemat.
Begitu
pula, di saat bekerja di Pemda DKI Jakarta, Sahban hampir tidak pernah makan di
luar kantor. Sahban menghitung-hitung,
mungkin ia keluar kantor untuk makan hanya sekali dalam tiga atau
empat bulan.
Ketika
para pegawai istirahat jam 12 siang, Sahban memakan bekalnya dari rumah di
kantor. Walaupun saat itu ia telah memiliki cukup uang, kebiasaan telah
membuatnya merasa normal untuk melakukan disiplin ini. Alasannya adalah karena
jika makan di luar, ia akan mengeluarkan banyak uang dan juga menghabiskan
banyak waktu. Ia bertahan 25 tahun di Pemda DKI Jakarta dengan perilaku ini.
Kebiasaan
untuk tidak boros ini terus dipegangnya hingga saat ini. Ia mampu menjaga
kesehatan dan beraktivitas fisik dengan baik,
karena selektif dalam makanan. Ia hanya memakan makanan yang bergizi dan murah.
Intinya
adalah, ia hanya memakan apa yang sebenarnya ia butuhkan. Ia tidak membeli apa
yang ia inginkan, tetapi apa yang ia butuhkan. Ia sampai sekarang hanya
memiliki satu pasang sepatu, karena menurutnya memiliki dua pasang sepatu atau
lebih adalah pemborosan.
Lagi
pula, setiap orang tetap akan memakai satu pasang sepatu setiap saat membutuhkannya.
Ia tidak pernah pula menggunakan fasilitas pembelian produk secara online
karena adanya risiko kalau produk yang dipesan hanya memunculkan keinginan,
bukan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan.
Perilaku
hemat juga ditunjukkannya saat membesarkan anak-anaknya. Sahban tidak
memberikan uang jajan pada anak-anaknya. Mereka terlebih dahulu sarapan di
rumah. Setelahnya mereka jalan kaki ke sekolah yang memang tidak jauh jaraknya
dari rumah.
Hal
ini didukung oleh kondisi sekolah yang memang masih jarang memiliki kantin
ataupun pedagang. Perilaku ini terus dilakukan dari
anak-anak usia TK hingga SMA. Kalaupun ada uang, mereka gunakan untuk
naik becak.
Pandangan
ini sangat relevan dengan kehidupan saat ini yang dipenuhi dengan berbagai
produk konsumen. Pada dasarnya, saat ini orang telah menjual barang yang
digunakan untuk memenuhi keinginan, bukan memenuhi kebutuhan.
Iklan
yang sangat banyak bertebaran, produk dengan desain yang menarik, dan berbagai
trik penjualan lainnya. Akibatnya, banyak orang yang merasa memiliki sedikit
kelebihan uang terdorong untuk membeli melebihi apa yang ia butuhkan. Konsumerisme semacam ini berakibat pada
menipisnya keuangan dan akhirnya kehabisan sebelum periode pendapatan berakhir.
Banyak
pegawai yang kehabisan uang di pertengahan bulan, hanya karena di awal bulan
membeli sejumlah barang yang tidak diperlukan, semata karena bagus atau
menarik. Barang-barang
itu sekarang ada di rumah dan tidak terpakai. (bersambung)
Editor:
Asnawin Aminuddin
--------
Artikel edisi sebelumnya:
Biografi Sahban Liba
(35): Dari Desa ke Kota Kembali ke Desa
Biografi Sahban Liba
(34): Tujuan Akhir Hidup adalah Mencari Ketenangan