Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada Muhammad); “raa’ina”, tetapi katakanlah “unzurna”, dan dengarlah. Dan
bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al-Baqarah/2 : 104)
------------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 04
Januari 2020
Al-Qur’an Menyapa Orang-Orang Beriman (01):
Jangan Bersikap Tidak Sopan Terhadap Rasulullah dan Ajarannya
Oleh : Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh Makassar / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
(Wakil Rektor I Unismuh Makassar / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada Muhammad); “raa’ina”, tetapi katakanlah “unzurna”, dan dengarlah. Dan
bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al-Baqarah/2 : 104)
Dalam Asbabun Nuzul, karya Shaleh dan Dahlan (2007), beberapa keterangan yang dapat diperoleh tentang ayat ini berkenaan dengan sebab turunnya ayat ini, di antaranya yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Mundzir yang bersumber dari As-Suddi.
Diceritakan bahwa dua
orang Yahudi bernama Malik bin Shaif dan Rifa’ah bin Zaid, tatkala bertemu
dengan Rasulullah Muhammad SAW, mereka
berkata: “ra’inaa sam’aka wasma’ ghaira
musma’in”.
Mendengar
ucapan kedua orang Yahudi itu, orang-orang muslim pada masa itu mengira bahwa kata-kata ini adalah
suatu kata penghormatan yang digunakan oleh ahli kitab untuk menghormati
nabi-nabi mereka, sehingga mereka pun mengucapkan kata-kata tersebut kepada Rasulullah Muhammad SAW, sehingga turunlah ayat 104 dari Surah
Al-Baqarah ini.
Masih
dalam Asbabun Nuzul, diperoleh keterangan lain disampaikan oleh Abi Na’iem
dalam kitab Ad Dalail, dari As Suddi
As Shaghir dari Al-Kalabi dari Abi Shalih yang bersumber dari Ibni Abbas, bahwa
kata “raa’ina” dalam bahasa Yahudi
mengandung makna yang buruk atau caci maki.
Ketika
orang-orang Yahudi mendengar bahwa orang-orang muslim telah mengucapkan kata-kata
tersebut kepada Rasulullah Muhammad SAW, mereka pun bersegera
mengumumkan kepada khalayak ramai, dan apabila mereka mendengar para sahabat
mengucapkannya lagi maka mereka pun tertawa sebagai tanda penghinaan.
Pada
kondisi demikian inilah, Allah SWT menurunkan ayat ini. Dengan turunnya ayat ini seorang sahabat
bernama Sa’ad bin Mu’adz tampil dan berkata kepada orang-orang Yahudi: “Hai sekalian musuh Allah! Sungguh, jika aku
mendengar kata-kata ini diucapkan oleh salah seorang di antara kamu setelah
adanya keterangan yang jelas ini, maka akan aku penggal batang lehernya”.
Dalam
Al-Qur’an pun dikisahkan bahwa orang-orang kafir Quraisy menuduh Nabi Muhammad sebagai
orang gila (QS Al-Hijr/15: 6, Al-Qalam/68: 51, QS Ash Shaffat/37: 36, Ad
Dukhan/44: 14) dan Allah SWT membantahnya bahwa Muhammad bukanlah orang gila
seperti tuduhan mereka (QS Al A’raf/7: 184, QS Al-Mu’minun/23 : 70, QS Saba/34:
8 dan 46, At Thur/52: 29, QS Al-Qalam/68: 2 dan QS At Takwir/81: 22).
Selain
itu, Rasulullah
juga dituduh sebagai penyihir (QS Al An’am/6: 7, QS Yunus/10: 2, QS Hud/11: 7,
QS Al Isra’/17: 47, QS Al Anbiya’/21: 3, QS Al Furqan/25: 8, QS Saba’/34: 43,
QS Ash Shaffat/37: 15, QS Shad/38: 4, QS Az Zukhruf/43: 30, QS Al Ahqaf/46:7,
dan QS Al Muddatstsir/74: 24),
lalu Allah SWT pun
membantahnya.
Allah SWT berkata kepada
nabi-Nya: Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu, bukanlah seorang tukang tenung dan
bukan pula seorang gila (QS Ath Thur/52: 29).
Dan Allah SWT mengingatkan
kepada orang yang menuduh Rasulullah Muhammad SAW bahwa: “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) benar-benar
wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang
mulia. Dan ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali
kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali
kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan
dari Tuhan seluruh alam” (QS Al Haqqah/69: 40-43).
Ayat
dari surah Al Baqarah/2: 104 yang bernada teguran ini memberikan pelajaran yang
amat dalam bagi kaum muslimin betapa sopan santun itu merupakan hal yang sangat
penting untuk ditegakkan, apalagi terhadap Rasulullah Muhammad SAW. Kata raa’ina, adalah
bentuk penghinaan orang-orang Yahudi di zaman Rasulullah saw.
Penghinaan dan Tuduhan
Di
zaman abad kemudian. setelah Rasulullah wafat, berbagai penghinaan disampaikan oleh para
penginjil dan para orientalis yang memang tidak suka dengan ajaran Nabi Muhammad yang dimuat dalam
berbagai bentuk tulisan, seperti “Cerita Muhammad” yang disiarkan oleh Reinand dan Fracisque
Michel (1831).
Muhammad
Husain Haekal (terjemah Ali Auda, 2000) pada bagian prakata dalam bukunya yang
berjudul “Sejarah hidup Muhammad” memberikan gambaran bahwa; sejak zaman
penulis Bizantium, tanpa mau bersusah payah mengadakan studi, telah mempelajari
Islam dengan berbagai macam
penghinaan.
Para
penulis dan penyair menyerang muslim Andalusia dengan cara yang amat rendah.
Mereka menuduh bahwa Muhammad adalah perampok unta, orang-orang yang hanyut
dalam foya-foya, tukang sihir, kepala bandit dan perampok.
Malah ada tuduhan mereka
yang mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang pendeta Romawi yang marah dan
dendam,
karena tidak dipilih menduduki kursi Paus.
Bahkan
Gubert de Nuigen, mengatakan, Muhammad mati karena krisis mabuk yang jelas sekali, dan bahwa
tubuhnya kedapatan terdampar di atas timbunan kotoran binatang dan sudah
dimakan babi. Oleh karena itu lalu ditafsirkan bahwa itulah sebabnya minuman
keras dan daging babi diharamkan.
Demikian
dikutipkan sebagian kecil dari bentuk-bentuk penghinaan yang dilakukan oleh
para orientalis Barat dan para penginjil.
Masih
terdapat berbagai macam bentuk penghinaan, baik dengan nada yang sama maupun
lebih keji lagi. Nama-nama mereka dapat dituliskan, seperti Rudolph de Ludheim,
Nicolas de Cuse, Vives, Maracci, Hottinger, Bibliander, Prideaux, semua ini
memberikan andil yang cukup besar terhadap penghinaan Islam.
Orang-orang
seperti mereka ini terus bertambah, seperti Raymond Lulle (abad XIV), Guellaume
Postel (abad XVI), Roland dan Gagnier (abad XVIII), Pendeta de Broglie dan
Renan (abad XIX), Salman Rusdhie (abad XX), dan tentu akan masih banyak lagi
yang akan bermunculan kemudian.
Mereka
ada yang menuduh bahwa Rasulullah Muhammad SAW beserta pengikutnya sebagai penipu, kaum bidat, heretic (pelanggar
agama Kristen) dan bermacam-macam lagi. Tuduhan-tuduhan semacam ini banyak pula
dilancarkan oleh kalangan missionaris dengan cara yang amat rendah di
daerah-daerah Islam, bahkan berusaha
membelokkan kaum muslimin dari ajaran agamanya kepada agama Kristen.
Mereka
menuduh bahwa Muhammad telah menyimpangkan ajaran agama karena tidak sesuai lagi dengan ajaran agama
mereka, padahal justru mereka semualah yang menyelewengkan agama Tauhid yang ditanamkan oleh penghulu Tauhid Ibrahim a.s, yang diteruskan oleh
Musa a.s, Isa a.s, yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab Taurat dan Injil.
Demikian
itulah tuduhan-tuduhan orang-orang yang membenci agama Islam, agama Allah. Tentu saja tuduhan itu tidak benar, justru pada kenyataannya,
orang-orang Yahudi dan Nasrani bertengkar hanya karena Yahudi berkata bahwa
Uzair anak Allah, dan Nasrani berkata Isa ibnu Maryam-lah yang anak Allah
(QS At Taubah/9 : 30-31).
Mereka
telah mengikuti hawa nafsu mereka, dan mengungkung kemerdekaan yang hakiki pada
diri mereka, lalu mengangkat rahib-rahib mereka sebagai penghapus dosa.
Amat
berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, kemerdekaan yang sangat luas dan hanya
mengabdi kepada Sang Khalik, karena memang hanya Dia-lah yang berhak disembah.
Inilah
makna ikhlash yang sesungguhnya, karena itu maka salah satu surah dalam Al-Qur’an tentang tauhidullah diberi nama Surah Al Ikhlash.
“Imanilah bahwa Dialah Allah yang Maha Esa, Allah tempat bergantung
segala sesuatu, tiada beranak dan tiada
pula diperanakkan. Dan tiada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya. (QS Al-Ikhlash/112: 1-4)
Wahai
umat muslim, sekarang ini Rasulullah Muhammad SAW telah tiada, hal ini dapat dikatakan “ghaib” bagi kita, namun telah diimani
secara utuh tentang kebenarannya.
Jaga dan Lestarikan
Tentu
saja tidak akan pernah terdengar lagi kata-kata “raa’ina” sebagaimana ucapan penghinaan orang-orang Yahudi terhadap
Rasulullah Muhammad SAW, junjungan orang-orang beriman, akan tetapi bentuk-bentuk lain dari ucapan
tersebut masih terlihat di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sangat
majemuk sekarang ini.
Tugas
generasi muslim selanjutnya adalah menjaga dan melestarikan ajaran-ajaran yang
ditinggalkan beliau, sebagai warisan yang tak ternilai harganya sehingga umat Islam dapat menjadi
benteng kemuliaan Rasulullah Muhammad
SAW yang tercermin dalam perilaku hidupnya.
Buya
Hamka menulis di dalam tafsirnya “al-Azhar”,
bahwa mengucapkan perkataan tak senonoh kepada Nabi merupakan alamat runtuhnya
budi. Dan apabila budi telah runtuh, maka berangsur-angsur tertutup pintu iman dan semakin terbukalah
pintu kufur. Dan jika diri sudah
bersifat kufur, maka akan dirasailah
siksa yang pedih baik di dunia maupun di akhirat kelak. Karenanya pada ujung
ayat ini berbunyi: “Dan bagi orang-orang
kafir adalah siksaan yang pedih”.
Tegasnya!
Sikap sopan santun harus senantiasa dipelihara di dalam kehidupan keseharian
kita, walaupun sekedar menjaga lisan dari perkataan yang tak pantas.
Oleh
Kiyai Haji Djamaluddin Amien (salah seorang ulama dan tokoh Muhammadiyah, tokoh Islam Indonesia dari Sulawesi Selatan) disebutnya sebagai “akhlak keseharian”, yakni
akhlak yang menuntun orang-orang beriman untuk menata kehidupan rutinitasnya
sehari-hari,
agar tetap berada di jalan kebenaran dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga dia selalu
dalam keridhaan-Nya.
Demikian
kiranya agar kita senantiasa melatih diri untuk selalu hidup dalam tatanan
akhlakul karimah menuju Islam yang rahmatan
lil ‘alamin! (bersambung)
-------
Artikel terkait:
Tulisan Bagian (1): Al-Qur’an Menyapa Orang-Orang Beriman
-------
Artikel terkait:
Tulisan Bagian (1): Al-Qur’an Menyapa Orang-Orang Beriman