Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
mendapat pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat)
kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (QS
Al-Baqarah/2: 178).
--------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 08 Januari 2020
Al-Qur’an Menyapa Orang-Orang Beriman (04):
Perintah
Qishash Berkenaan dengan Orang Dibunuh
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
mendapat pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat)
kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (QS
Al-Baqarah/2: 178).
Sayyid Qutb
menulis dalam Fi Zhilalil Qur’an
dengan menyatakan bahwa identitas ‘beriman’ yang melekat pada seseorang
memiliki konsekwensi dimana yang bersangkutan akan mau menerima segala sesuatu
yang datang dari Allah, termasuk pensyariatan qishash ini.
Allah SWT memanggil
orang-orang yang beriman untuk memberitahukan kepada mereka bahwa Dia telah mewajibkan qishash kepada mereka terkait dengan
orang yang dibunuh yang dijelaskan secara rinci pada ayat 178 ini.
Adapun hikmah
besar dari penetapan hukum qishash
ini dijelaskan dalam ayat 179 yang meneguhkan keberimanan bahwa dalam qishash itu ada jaminan kelangsungan
hidup bagi orang-orang yang berakal (ulil
albab) hingga menjadi jalan menuju puncak kemuliaan yaitu taqwa.
Dalam kondisi
kehidupan jahiliyah sebelum Muhammad al-amin
diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT, agama yang telah diajarkan
oleh leluhur Muhammad s.a.w., yakni Ibrahim a.s. tidak ditegakkan lagi, tinggal
sebutan saja.
Pusat perhatian
orang-orang Arab ketika itu adalah bagaimana mengurusi kabilah sendiri.
Akibatnya benturan antara kepentingan masing-masing kabilah yang sering
berujung dengan perkelahian --bahkan pembunuhan-- sering tidak dapat dihindari.
Pertengkaran
antara kabilah karena berebut tanah tempat gembala, ataupun karena persoalan
gembalanya sendiri, semakin sering tak terelakkan, sehingga timbullah
perkelahian antara suku dengan suku, atau antara kabilah dengan kabilah.
Dalam keadaan
yang demikian berlakulah hukum rimba, dimana kabilah yang kuat menindas kabilah
yang lemah. Karena terjadinya pembunuhan semena-mena terhadap kabilah yang
lemah maka tertanam rasa dendam antara suku dan kabilah.
Dengan agama
Islam, Rasulullah Muhammad s.a.w. telah mempersatukan kembali bangsa Arab yang
telah beratus tahun tidak mengenal persatuan sebagai akibat dari kecenderungan
hidup sendiri-sendiri (individualistis).
Buya Hamka
dalam tafsirnya al-Azhar mengutip
suatu keterangan dari Al Baidhawi seorang ahli tafsir terkenal. Riwayat ini
juga disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim dan Said bin Jubair, sebagai berikut: Di
zaman jahiliyah pernah terjadi pertumpahan darah di antara dua persukuan Arab,
yang kabilahnya kuat dan yang satu lagi kabilahnya lemah, maka terbunuh salah
seorang dari anggota kabilah yang kuat itu oleh kabilah lemah.
Lantaran merasa
sebagai kabilah yang kuat maka mereka mengeluarkan sumpah; akan mereka balas
bunuh; biarpun yang terbunuh di antara mereka adalah seorang budak, mereka
tetap minta ganti orang yang merdeka. Walaupun yang terbunuh di antara mereka
adalah perempuan, mereka akan minta ganti nyawa dengan seorang laki-laki. Lantaran
itu maka hukum qishash di zaman jahiliyah tidak ada, yang ada adalah
balas dendam yang mereka sebut “Tsar”.
Ayat 178 dari
surah Al-Baqarah ini turun pada
kondisi dimana masa dendam antara para kabilah Arab belum habis. Islam tidak dapat membenarkan pembunuhan atas
motivasi
balas dendam, melainkan harus dilakukan dengan dasar “hukum” yaitu “qishash”.
Selanjutnya
Buya Hamka memberikan keterangan bahwa dalam ayat ini terdapat dua kesan
penting yaitu; Pertama, urusan
penuntutan bela kematian telah diserahkan kepada orang-orang yang beriman.
Kedua, bahwa pembelaan atas kehilangan nyawa itu diatur dengan seadil-adilnya, yang di antaranya
telah diberikan contoh-contohnya; kalau laki-laki merdeka membunuh laki-laki
merdeka maka wajiblah dilakukan hukum qishash
kepadanya, yaitu dia dibunuh pula (setelah ada penetapan hukumnya) dan
seterusnya.
Kumpulan
orang-orang beriman adalah masyarakat islam, sedang masyarakat islam mempunyai
badan musyawarah (syuura); …wa amruhum syuuraa bainahum…(dan urusan
mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka…; (QS 42 : 38).
Di dalam Al-Qur’an surah Al Maaidah ayat 45
dijelaskan bahwa hukum qishash ini telah ditetapkan di dalam kitab Taurat: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di
dalam Taurat bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka pun ada
qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan hak qishashnya, maka melepaskan haknya
itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang ditentukan Allah, maka mereka itu orang-orang yang dzhalim (QS
Al-Maidah/5: 45).
Ayat tersebut
kemudian ditegaskan dalam surah Al Baqarah ayat 178 ini, dimana nampak bahwa
hak menuntut agar si pembunuh dibunuh, ada pada keluarga terbunuh. Hanya saja
tidak lagi didasarkan atas dendam, melainkan atas dasar keadilan dan proses
penyelesaiannya pun atas dasar kekeluargaan dan persaudaraan karena
sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara (QS Al-Hujurat/49 : 10).
Atas dasar
persaudaraan ini, maka selain hukum qishash
ada jalan lain, yaitu keluarga terbunuh memberi ma’af kepada keluarga yang membunuh
sementara keluarga terbunuh membayar diyat kepada keluarga terbunuh.
Saling
memaafkan dan diyat ini didasarkan atas rahmat Allah dan tidak diikuti dengan tindakan yang tidak terpuji setelah
maaf-memaafkan dilakukan. “Yang demikian
itu adalah keringanan buat kamu dari Rabbmu dan suatu rahmat”, karenanya
keringanan dan rahmat ini hendaknya disyukuri dan diikuti pula dengan hidup
baru yang penuh kedamaian.
“Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang pedih”.(QS
Al-Baqarah/2 : 179).
Sayyid Quthb
menambahkan uraiannya demikian: Marah kepada orang yang menumpahkan darah
adalah sesuatu yang fitrah dan alami, maka Al-Qur’an
(Islam) menyambutnya dengan mensyariatkan hukum qishash.
Keadilanlah
yang dapat mematahkan kemarahan jiwa, meredakan kebencian dalam hati, dan
menjerakan si pelaku kejahatan dari meneruskan tindakan jahatnya. Namun
demikian, pada waktu yang sama Al-Qur’an
(Islam) menganjurkan memberi maaf, membuka jalan untuknya, dan menetukan batas
baginya.
Sehingga, seruannya untuk memaafkan setelah ditetapkannya hukum qishash itu merupakan seruan untuk “melakukan anjuran yang sangat tinggi
nilainya”, bukan sebagai “kewajiban
yang memasung fitrah manusia” dan membebaninya dengan sesuatu yang tidak
dapat dipikulnya.
Qishash itu bukanlah
pembalasan untuk menyakiti, bukan pula untuk melampiaskan sakit hati. Tetapi,
ia lebih agung dan lebih tinggi, yaitu untuk kelangsungan kehidupan, di jalan
kehidupan, bahkan ia sendiri merupakan jaminan kehidupan.
Kemudian untuk
dipikirkan
dan direnungkan hikmah diwajibkannya, juga untuk menghidupkan hati dan
memandunya kepada ketaqwaan kepada Allah. Selanjutnya, yang terpenting dan
menjadi faktor utama untuk memelihara kehidupan adalah terfokusnya perenungan
terhadap hikmah Allah dan agar bertakwa kepadaNya. “Supaya kamu bertaqwa”.
Demikian kita
tutup dengan argument dari Sayyid Quthb tersebut! (bersambung)
---------
Artikel sebelumnya:
Bagian 4 : Makanlah dari Rezeki yang Baik-baik
Bagian 3 : Mohonlah Pertolongan dengan Sabar dan Shalat