Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (QS Al-Baqarah/2: 278).
--------
Sabtu, 18 Januari 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (10):
Tinggalkan Riba
Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (QS Al-Baqarah/2:
278).
Dalam ayat 278 ini Allah SWT meminta kepada orang-orang
beriman untuk bertaqwa dan meninggalkan sisa riba sebagai bukti keberimanannya.
Quraish Shihab mengatakan, riba dari segi bahasa berarti penambahan, demikian juga yang
tercantum dalam ensiklopedi Islam, riba berarti kelebihan atau penambahan.
Menurut hukum Islam, riba berarti tambahan pada modal yang dipinjamkan dan
harus diterima oleh yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan
persentase yang ditetapkan.
Riba dalam syariat Islam dikenal ada dua macam,
yaitu riba nasi’ah dan riba fadal. Riba nasi’ah adalah transaksi yang dilakukan oang Arab jahiliah, dimana kedua orang yang
melakukan transaksi telah sama-sama memahami kewajiban dan hak masing-masing.
Peminjam memahami bahwa ada tambahan sejumlah
uang dari pokok modal yang dipinjam sebagai imbalan jangka waktu, yang akan
diberikan kepada orang yang meminjamkan. Sebaliknya orang yang meminjamkan
memahami adanya penangguhan waktu pelunasan bagi orang yang berutang.
Adapun riba fadal ialah pertukaran barang dengan barang sejenis dengan
ketentuan terdapat kelebihan pada salah satu barang tersebut. Misalnya, satu
kilogram beras jenis A ditukar dengan dua kilogram beras jenis B, atau tiga gram emas 23
karat ditukar dengan empat atau lima gram emas 22 karat. Demikian uraian tentang
pengertian riba dalam ensiklopedi Islam.
Kata riba ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an, masing-masing dalam Surah
Al-Baqarah/2: 275, 276, 278; surah Ali Imran/3: 130; Surah An-Nisa/4: 161; dan Surah Ar-Rum/30: 39.
Uraian tentang riba ini dimulai pada
ayat 130 surah Ali Imran: “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Ali-Imran/3: 130).
Buya Hamka dalam tafsir Al-Ahzar
mengatakan bahwa menurut keterangan dari ahli-ahli tafsir, ayat 130 dari surah
Ali Imran ini adalah ayat yang mula-mula turun mengenai hal yang mengharamkan
riba.
Khalifah Umar bin Khattab memberikan
keterangan bahwa persoalan riba ini belum dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah, lalu beliau wafat.
Walaupun demikian, dalam ayat ini sudah tampak jelas tentang hal-hal yang
mengenai riba ini.
Riba adalah bentuk pemerasan
terstruktur dari pihak yang berpiutang terhadap pihak yang berutang. Dalam ayat
ini disebut adh’aafan,
berlipat-lipat; dan mudha’afatan,
berganda. Sudah berlipat ganda pula. Inilah bentuk pemerasan yang berkedok
menolong yang amat merusak proses kehidupan bermasyarakat.
Riba dapat merusak seluruh sendi
kehidupan persaudaraan. Riba dapat merusak “sambung tali persaudaraan hati”
antara pemberi dengan penerima utang, dan juga meruntuhkan sendi-sendi agama
lainnya.
Bagaiman shalat jamaah bisa khusuk
dan terbangun ukhuwah jamaah jika dalam ma’mum terdiri dari orang yang memeras
sesamanya dan orang yang diperas. Komunikasinya bukan lagi kepada Allah yang sedang disembah, melainkan komunikasi
“hati yang retak” antara pemberi utang dengan yang berutang.
Dalam kehidupan keseharian
diperintahkan untuk selalu menjalin ukhuwah kemasyarakatan, namun bagaimana
akan terjalin jika “si pemakan riba” senantiasa mencari mangsa, sementara orang
yang berutang terus-terus merasa dikejar-kejar oleh orang yang bakal
menghisapnya. Padahal ajaran agama Islam mengajarkan bahwa dimana saja kamu
berada selamanya akan diliputi kehinaan, kecuali jika manusia tetap memelihara
hubungan dengan Allah dan hubungan antar sesama manusia (QS Ali Imran/3 : 112).
Dengan kata lain Islam tidak mengajarkan agar hubungan diperbaiki hanya kepada Allah, melainkan juga kepada manusia.
Maka bagaimanakah persaudaraan dapat tetap terjalin jika dalam kehidupan ada
yang menjadi lintah pengisap dan ada yang diisap? Tentulah persaudaraan itu tidak
akan pernah tercapai.
Tegasnya! Riba adalah kehidupan jahat
yang meruntuhkan sendi-sendi bangunan persaudaraan. Sampai-sampai kejahatan
riba digambarkan dalam beberapa hadits Rasulullah s.a.w.
Hadits tersebut antara lain yang diriwatkan oleh Imam
Muslim dari Jabir: “Rasulullah s.a.w
mengutuk orang yang makan riba, orang yang memberi makan dari riba, dua
saksinya dan juga penulisnya” (HR. Muslim).
Dalam sabda Rasulullah yang lain dari
sahabat Abdillah bin Hauzalah: “Satu
dirham dari uang riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tau, lebih berat
dosanya dari tiga puluh enam perzinahan” (HR. Ahmad).
Dan juga Nabi bersabda: “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling
ringan adalah semisal dosa seorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri,
sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan
saudaranya”(HR Al Hakim dan Al Baihaki).
Riba juga merupakan suatu
ancaman bagi suatu negeri, sebagaimana sabda Nabiullah s.a.w: “Apabila
telah tampak
perzinaan dan riba pada suatu negeri maka sungguh penduduk negeri tersebut
telah menghalalkan diri mereka untuk diazab oleh Allah” (HR. Al Hakim).
Demikian ancaman keburukan riba dalam
kehidupan. Karenanya pada lanjutan ayat ini orang-orang yang beriman
dilarang melakukan riba dan
diperintahkan bertaqwa kepada Allah,
hanya dengan dasar taqwa manusia akan
senantiasa mengikuti jalan yang diridhai Allah SWT.
Dalam hal ini bagi orang yang bertaqwa
tidak akan sampai hati bertindak sebagai “lintah” pengisap sesamanya, melainkan
akan senantiasa membangun masyarakat dinamis dalam bentuk perniagaan, karena
yang dihalalkan adalah jual beli dan yang diharamkan adalah riba (QS Al-Baqarah/2
: 275).
Dengan demikian, akan tercipta hubungan
kemasyarakatan dengan dasar ridha Allah
dan ukhuwah yang sejati.
Selanjutnya Allah memberikan gambaran
kehidupan orang-orang yang makan riba,
sebagaimana firmannya: “Orang-orang yang
memakan riba itu tidaklah akan berdiri; melainkan seperti berdirinya orang yang
kerasukan syetan karena tamparan. Menjadi demikian karena sesungguhnyaa mereka
berkata: Tidak lain perdagangan itu adalah seperti riba juga. Sedangkan Allah
telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Karena itu maka barang
siapa telah memperoleh pengajaran dari Rabb-nya lalu dia berhenti, maka baginya
apa yang telah berlalu, dan perkaranya terserahlah kepada Allah, akan tetapi
barang siapa yang kembali (lagi), maka mereka itu menjadi ahli neraka; mereka
akan kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah/2: 275).
Orang-orang pemakan riba senantiasa
dalam penampilannya adalah penampakan syetan, karena syetan telah merasuk ke dalam
jiwanya yang mengakibatkan orang itu menjadi gila. Pembawaannya penuh dengan
kekasaran, tatapannya penuh nafsu angkara, senyumnya sinis seakan-akan akan
menerkam siapa saja yang ada di hadapannya.
Meskipun telah memiliki harta yang
banyak, namun yang tampak di wajahnya hanya kegagalan, gundah gulana, resah dan gelisah,
semuanya akibat ia senantiasa “dihantui” oleh syetan yang senantiasa
menggiringnya ke dunia khayal; kalau-kalau hartanya tidak terbayar kembali;
bunga uangnya sudah berapa, dan seterusnya, hingga jika orang yang berutang
tidak mampu membayarnya maka bertambah kasarlah perangainya.
Harta benda, rumah tinggal, bahkan
gadis umur belasan tahun bisa menjadi barang sitaan seorang kakek-kakek yang
sudah tua renta.
Orang-orang pemakan riba jika disampaikan kepadanya bahwa
janganlah
memakan riba, dijawabnya bahwa riba sama saja dengan berdagang. Padahal amat
jelas bedanya. Inilah pandangan nafsu duniawi yang penuh dengan keserakahan,
nafsu ammara bissu’, nafsu yang ditunggangi syaithan.
Hendaklah kiranya disadari oleh
orang-orang yang beriman untuk kembali pada aturan Allah, jika kembali pada-Nya
Dia pun akan sudi menerima taubat semua hamba-Nya, jangan diambil melainkan cukup
modalnya saja (atau sesuai perjanjian awal) dan urusannya kepada Allah.
Akan tetapi jangan sekali-kali
kembali kepada riba setelah taubat,
jika kembali maka adzab Allah sajalah yang menjadi jawaban dari semua sikap
dan sifat itu.
Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
mereka mendapat pahala di sisi Rabb-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan mereka tidak bersedih hati” (QS Al-Baqarah/2: 276-277).
Selanjutnya kita kembali kepada
uraian ayat 278 surah al-Baqarah ini. Jika pada ayat 130 surah Ali Imran yang
merupakan larangan riba yang pertama turun ayatnya ditutup dengan perintah bertaqwa kepada Allah SWT, maka pada ayat 278 surah al-Baqarah
ini justru dimulai dengan perintah untuk bertakwa kepada Allah.
Dengan bekal taqwa inilah orang-orang yang beriman diperintahkan untuk
membersihkan diri dari segala bentuk riba
dan meninggalkan sisa-sisanya .
Sebagimana yang lazim diketahui bahwa
ayat-ayat yang dimulai dengan “yaa
ayyuhalladziina aamanuu” adalah ayat yang diturunkan pada periode Madinah
(ayat Madaniyah), maka dapat dimengerti bahwa ayat ini turun setelah
terbentuknya masyarakat Muslim. Maka jika masih ada sisa dari bentuk riba itu, hendaklah ditinggalkan dan segeralah membina hidup dengan
tatanan Islam.
Buya Hamka di dalam tafsirnya al-Azhar menulis suatu riwayat yang
disampaikan oleh Ibnu Jurair dan Ibnul Mundir dan Ibnu Abi Hatim dari As Suddi:
Ayat ini turun berkenaan dengan diri paman Rasulullah
s.a.w. yaitu Abbas bin Abdul Muthalib.
Di zaman jahiliyah beliau mendirikan
suatu persekutuan dengan seorang dari bani al-Mughirah dimana usaha mereka
adalah menternakkan uang (riba). Mereka pernah meminjamkan uang kepada seorang
Bani Tsaqif di Thaif.
Abbas pada masa itu belum memeluk
agama Islam. Setelah beliau hijrah ke Madinah lalu menyatakan diri masuk Islam,
masyarakat pun sudah diatur dengan aturan Islam, maka peraturan ini diwahyukan Allah SWT bahwa
jika telah menjadi orang yang beriman hendaklah meninggalkan sisa-sisa riba
yang pernah dilakukan dulu.
Dalam hal ini orang Thaif yang
berhutang itu hendaknya tidak ditagih bunga lagi, cukup diminta pokok uang yang
telah dipinjamkan dulu. Itu adalah salah satu tanda pengakuan iman, cinta
kepada harta diganti dengan kecintaan kepada Allah.
Renungkanlah firman Allah berikut ini:
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tempo sampai ada kelapangan; tetapi kalau kamu menyedekahkan,
adalah itu lebih baik buat kamu jika kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah/2: 280).
Riba adalah
suatu bentuk penjajahan
Apa yang dipahami tentang riba yaitu
penguasaan hak-hak orang yang tertindas atas orang-orang yang bermodal adalah
bentuk perampasan kemerdekaan atar diri seseorang, ini berarti riba adalah
bentuk penjajahan dalam skala kecil (perorangan).
Jika bentuk riba itu meningkat pada
skala yang besar berbentuk badan-badan usaha maka bentuk penjajahannya pun
mulai berskala besar. Badan-badan usaha selaku penyandang
dana dari suatu negara mendatangi negara lain dengan memberikan pinjaman
kepada negara
tersebut, kemudian mereka menyusup masuk lebih jauh lagi hingga dapat menguasai
sumber-sumber kekayaan.
Demikian selanjutnya hingga rakyat
mulai menderita, rasa was-was mulai merayap dalam hati kecil mereka karena
bukan hanya hak-hak perekonomiannya yang mulai terjajah, melainkan martabat dan harga dirinya pun sudah
ikut terjajah pula.
Sudah mulai terpaksa menunduk-nunduk
di hadapan pemilik modal yang sesungguhnya hati kecil mereka sangat tidak
setuju. Hal ini pula yang ingin ditegaskan dalam bagian ini, bahwa meminjam
dana bantuan luar negeri dengan alasan memperbaiki ekonomi rakyat, pada akhirnya
menyengsarakan rakyat pula.
Apalagi sistem pengelolaan
permodalan dan perusahaan tidak bertumpu pada ekonomi kerakyatan, maka perekonomian lebih
dikuasai oleh para konglomerat yang ternyata dililit utang yang menyebabkan
utang per kapita seluruh rakyat negeri semakin membengkak. Bukankah jika
demikian maka rakyat –Negara-- berarti sedang terjajah? (bersambung)
-------
Artikel sebelumnya:
Bagian ke-10: Infak Hasil Usaha dan Hasil Bumi
Bagian ke-9: Jangan Merusak Sedekah
Bagian ke-8: Infakkanlah Sebagian Rezeki Yang Diberikan Allah