--------
Senin, 17 Februari 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (21):
Jangan Shalat dalam Keadaan Mabuk atau Junub
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu
mengerti apa yang kamu
ucapkan. Dan jangan pula dalam
keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musyafir atau kembali dari
tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kamudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah
kamu
dengan tanah yang baik (suci). Sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha
pema’af lagi Maha Pengampun.” (QS An- Nisa (4):
43)
Terdapat tiga tuntunan pokok dari Allah SWT kepada orang-orang beriman dalam ayat ini, yakni (1)
Jangan shalat dalam keadaan mabuk
hingga tersadar, (2)
Jangan shalat dan atau
masuk masjid dalam keadaan junub hingga selesai mandi, dan
(3) Bertayammum bagi orang yang
mendapat halangan untuk berwudhu dan mandi.
Pertama, jangan shalat
dalam
keadaan mabuk hingga tersadar kembali. Dari riwayat asbabun nuzul didapatkan keterangan
di masa sebelum ada ayat larangan tentang minum khamar,
bahwa suatu
ketika sahabat Rasulullah Abdurrahman bin ‘Auf membuat makanan untuk
Ali
bin
Abi Thalib dan beberapa orang sahabat.
Dalam hidangan tersebut disediakan antara lain minuman khamar, rupanya minum khamar tersebut menyebabkan terganggunya pikiran mereka. Hingga tiba waktu
shalat, lalu ditunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam, dan pada saat itu dia membaca
surah Al-Kaafirun
dengan keliru.
Terdengar beliau membaca sebagai berikut: “Qulya ayyuhal
kaafiruwn, la a’budu ma
ta’buduwn, wa nahnu na’budu ma ta’buduwn”, (Katakanlah wahai orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kalian sembah,
dan kami akan menyembah apa yang kalian sembah).
Kondisi shalat seperti
ini yang menyebabkan turun
ayat ini; “wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan
mabuk,…” dan seterusnya.
Ini diriwayatkan oleh para imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An- Nasa’i dan
Al-Hakim dimana sanad/sumbernya dari Ali r.a sendiri.
Sebagaimana sudah lumrah dipahami bahwa Ali bin Abi Thalib
menerima ajaran Rasulullah SAW yakni
tauhid semasa kecil dan dalam perkembangan usianya beliau terkenal
cerdas,
taat, dan
gigih membela Islam (Tauhied), bahkan pernah menggantikan Nabi
di pembaringan
untuk menjadi objek/tumbal
ketika kaum Quraisy
hendak membunuh nabi.
Beliau pun tidak pernah tercemar dengan penyembahan behala. Namun dalam shalatnya beliau mengucapkan bacaan,
“nahnu na’budu ma ta’buduwn” (kami
akan menyembah apa yang kalian sembah).
Hal inilah yang dipastikan bahwa beliau membaca dalam keadaan tidak sadar
(mabuk) dan pasti tidak mengetahui (menyadari) apa yang diucapkannya. Setelah ayat
ini turun, para sahabat sudah mulai menjauhi minuman khamar,
terutama
sekali ketika waktu shalat sudah dekat.
Tentu hikmah besar
dari kejadian ini
adalah bahwa ada tersimpan pelajaran bagi generasi kaum muslimin kekinian, dimana Allah SWT melarang melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk hingga
orang yang shalat itu dapat memahami (menyadari) apa yang
diucapkannya.
Bahkan Rasulullah s.a.w. menganjurkan agar orang yang mengantuk menghindari shalat dan harus menghilangkan ngantuknya terlebih
dahulu (apakah dengan tidur atau
aktivitas lain yang dapat menghilangkan ngantuk).
Sebuah
hadits dari Anas bin Malik
r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Idza
na’asa ahadukum wa huwa yushallie,
fal yansharif fal yanam hattaa ya’lama maa yaquwl,” (Apabila
mengantuk seorang dari kamu, padahal dia shalat, maka berpalinglah dan
tidurlah, hingga dia
tahu apa
yang dia ucapkan).
Isi shalat itu adalah
komunikasi dan do’a antara Allah SWT dan
hamba-Nya. Oleh karena itu, seorang hamba yang shalat
haruslah benar-benar sadar dan tahu bahwa dirinya sedang bertutur di hadapan Allah. Sekaligus mengandung makna anjuran agar orang yang shalat itu
membaca apa dia
ketahui dari ayat-ayat Al-Qur’an
supaya dapat merasakan apa yang sedang ia tuturkan di hadapan Allah SWT, dan karena itu
diapun dapat menikmati
makna shalat dan dapat menjadi khusyuk.
Kedua, jangan shalat
dan atau masuk masjid dalam
keadaan junub hingga selesai
mandi. Tuntunan ini mendidik orang-orang yang beriman agar tidak melakukan shalat bila mereka dalam keadaan junub yang biasa juga dikenal berhadats besar (yakni setelah berhubungan intim bagi suami-istri,
selesai masa haid dan atau
nifas bagi perempuan, atau keluarnya sperma-ovum karena mimpi).
Dalam keadaan seperti ini,
seorang hamba Allah tidak boleh shalat atau pun mendekati tempat shalat
sebelum bersuci, yakni mandi junub atau sering disebut
mandi wajib. Ini yang dapat dipahami dari firman Allah: “Dan jangan pula dalam keadaan junub.”
Juga
ayat ini menuntun hamba Allah SWT agar tidak mendatangi
(masuk) ke dalam masjid dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu
saja --untuk kepentingan sesaat dan tetap
menjaga kesucian masjid--
hingga telah bersuci, yakni mandi wajib itu, sebagaimana firman-Nya: “terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi.”
Di sini amat terasa betapa Allah
SWT mendidik hamba-Nya agar menjaga kesucian batin agar
tidak beribadah dan mendekati tempat ibadah dalam keadaan tidak suci, sekaligus
menjaga nilai-nilai kesucian peribadatan maupun
tempat-tempat beribadah.
Ketiga, bertayammum
bagi orang yang mendapat halangan untuk berwudhu dan mandi. Arti kata tayammum adalah ‘memilih’ atau ‘mencari’ (QS Al-Baqarah/2: 267).
Ketika memilih atau mencari tanah
untuk pengganti wudhu, maka istilah ini menjadi istilah tetap untuk tata cara bertaharah atau bersuci.
Sebagaimana
dikemukakan tentang
kewajiban mandi
bagi –semua-- orang yang berhadats
besar dan berwudhu bagi yang berhadats kecil apabila hendak shalat, maka dikecualikan pada empat keadaan bagi seseorang yang terkena keadaan
tersebut, yakni (1) kepada orang yang sedang sakit, (2) orang yang
sedang musafir, (3) kembali dari –tempat-- buang air, dan (4) menyentuh perempuan bagi laki-laki dan sebaliknya.
“Dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musyafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu
telah meyentuh perempuan”.
Menurut penjelasan Sayyid Quthb dalam Fie Zhilalil Qur’an, dalam semua kondisi tersebut, baik dalam
keadaan yang mewajibkan mandi atau mewajibkan wudhu untuk shalat; “kemudian kamu tidak mendapatkan air”, –atau didapatkan air tapi penggunaannya dapat membahayakan yang bersangkutan, atau tidak diperkenankan menggunakannya-- maka mandi dan
wudhu itu dapat
diganti dengan tayammum.
Ini sesuai dengan nash
ayat: “maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” Tanah yang suci
(sha’i dan thayyiban) dalam hal ini adalah segala sesuatu
yang termasuk jenis tanah yang berupa
debu, batu, dan dinding.
Debu apa saja, walaupun
debu yang di atas punggung hewan tunggangan
(kendaraan), atau di atas tempat tidur yang terdapat padanya debu-debu. Jadi asalkan di sana
terdapat debu ketika ditempel di tangan.
Adapun cara
melakukan tayammum dengan mengikuti firman Allah SWT yakni: “Sapulah mukamu dan tanganmu”. Boleh dengan
dengan satu kali tepuk lalu ditiup, kemudian diusapkan pada wajah dan
kedua tangan, ataupun dua kali tepuk; satu kali untuk diusapkan ke wajah dan tepukan kedua untuk tangan.
Hikmah kemudahan cara dalam
bertayammum ini
menunjukkan makna kemudahan
menjalankan agama yang diperintahkan Allah
SWT dalam suatu
kondisi tertentu.
“Sesungguhnya Allah Maha
pema’af lagi Maha Pengampun”. Demikianlah Maha Kasih Sayang Allah SWT: kelembutan bagi yang
– sedang-- lemah, kelapangan bagi yang
–sedang- terbatas,
dan pengampunan terhadap adanya kekurangan dalam menunaikan kewajiban kepada-Nya. (bersambung)
----------
Catatan:
Bagi pembaca yang budiman, yang ingin
mendalami tata cara melaksanakan thaharah atau bersuci (mandi wajib dan
tayammum serta istinja) dapat merujuk pada buku-buku fiqhi yang ada, misalnya
FIQHU SUNNAH, Sayyid Sabiq Jilid I, Muhtashar NAILUL AUTHAR, Mu’Ammal Hamidy,
dkk. Jilid I, Bulughul Maram bab Kitab Thaharah, Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah (HPT) Jilid I bab Kitab Thaharah. dan sumber-sumber lain.
--------
Artikel sebelumnya:
Jangan Memakan Harta Sesama dengan Cara Batil dan Jangan Membunuh
Jangan Mewarisi Wanita dengan Jalan Paksa
Bersabar, Tingkatkan Kesabaran, dan Bersiap-siagalah
--------
Artikel sebelumnya:
Jangan Memakan Harta Sesama dengan Cara Batil dan Jangan Membunuh
Jangan Mewarisi Wanita dengan Jalan Paksa
Bersabar, Tingkatkan Kesabaran, dan Bersiap-siagalah