Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di
jalan
Allah, maka telitilah
dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang
yang mengucapkan “salam” kepadamu: “kamu
bukan
seorang mu’min” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak.
Begitu
jugalah keadaan kamu dahulu,
lalu
Allah
menganugrahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah maha
Mengetahui apa
yang
kamu kerjakan. (QS An-Nisa/4: 94)
-------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 25 Maret 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (24):
Perintah untuk Tabayyun dan Menghindari Konflik Kepentingan dalam Suasana Perang
Oleh:
Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh
/ Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di
jalan
Allah, maka telitilah
dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang
yang mengucapkan “salam” kepadamu: “kamu
bukan
seorang mu’min” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak.
Begitu
jugalah keadaan kamu dahulu,
lalu
Allah
menganugrahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah maha
Mengetahui apa
yang
kamu kerjakan. (QS An-Nisa/4: 94)
Sebelum menguraikan ayat 94 dari Surah An-Nisa ini, ada baiknya diperhatikan
dua
ayat sebelumnya yakni ayat 92 dan 93 di
surah ini juga.
Allah SWT berfirman: ”Dan tidak layak bagi
seorang mukmin
membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja,
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman, serta membayar diat yang
diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang
ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayardiat yang
diserahkan kepada
keluarganya
(si
terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya
yang
beriman. Barangsiapa
yang
tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan adalah Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana (92). Dan barangsiapa
yang
membunuh seorang
mukmin dengan
sengaja maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya
serta
menyediakan
azab yang besar baginya. (QS
An-Nisa/4: 93)
Dua ayat
tersebut membangun kesadaran akan pentingnya memelihara hak-hak hidup
atas sesama muslim. Jangan sampai karena
kecerobohan
ataupun dorongan benci dan dendam membawa akibat hilangnya nyawa sesama hidup.
Kecerobohan dapat berakibat hilangnya nyawa seseorang
yang mungkin tidak disengaja,
misalnya menembak binatang buruan namun
salah sasaran
lalu membunuh
orang,
mengendarai kendaraan yang remnya rusak sehingga tak terkendali lalu menambrak orang yang menyebabkan kematian, dan kasus
lain yang tidak disengaja namun berujung musibah kematian.
Bila terjadi demikian maka ketetapan Allah SWT bahwa (1) pelaku
pembunuhan diganjar dengan hukuman berupa “memerdekakan seorang
hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat --yaitu pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap satu jiwa atau
anggota badan-- yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu). Kecuali jika pihak
keluarga terbunuh mau bersedekah yakni
membebaskan si
pembunuh
dari
pembayaran diat.
(2) Bila tidak mendapatkan
budak
untuk dimerdekakan, maka si
pembunuh wajib menunaikan puasa dua bulan
berturut-berturut: “Barangsiapa yang
tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut
untuk penerimaan taubat dari Allah”.
Adapun membunuh
seorang
mukmin
dengan
sengaja dan dorongan motif apa saja; apakah benci, dendam, iri dan dengki
maka
ketentuan Allah SWT bahwa ganjaran bagi si pembunuh adalah “neraka
jahannam, dan dia kekal di dalamnya dan
Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya
serta menyediakan azab yang
besar baginya.”
Demikian Allah SWT menampaikan firman-Nya sebagai tuntunan untuk menjaga hak-hak hidup orang lain dalam kehidupan ini. Membunuh tanpa sengaja diganjar dengan hukuman: memerdekakan
budak
serta membayar diat atau puasa dua bulan
berturut-turut.
Sedangkan membunuh dengan sengaja amat
berat ancamannya di sisi
Allah SWT yakni; (1) kekal dalam neraka jahannam, (2) mendapat murka
dari
Allah, (3) mendapat kutukan dari Allah, serta
(4) adzab yang besar dari Allah
SWT.
Ada lagi perlanggaran terhadap hak-hak hidup orang lain yang lebih
berat dari membunuh yakni melemparkan fitnah kepada seseorang.
Hal seperti ini terkadang dilakukan oleh orang-orang yang bersaing dalam
mencari popularitas
dan
jabatan sehingga tidak segan-segan menebar finah terhadap
orang-orang
yang dianggap pesaingnya,
dan berbagai motivasi yang lain.
Orang yang
suka menebar fitnah ini dikatakan oleh Allah SWT bahwa ia lebih kejam
dari membunuh
sebagaimana firman-Nya: “dan fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan”,
(QS Al Baqarah/2: 191), dan juga pada ayat yang lain
Allah SWT mengingatkan bahwa: “dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh…” (Al-Baqarah/2: 217).
Betapa Allah SWT atas kasih sayang-Nya ingin menjaga hamba-hamba-Nya agar selalu hidup dalam
ketenteraman, baik ketenteraman batin terlebih lagi menjaga ketenteraman hidup secara nyata di dalam menjalani roda kehidupan di dunia yang
hanya sementara ini.
Ada lagi kondisi lain yang menyebabkan orang melakukan pembunuhan
kepada orang
lain yakni tidak tabayyun (kurang
teliti) sebagaimana yang diingatkan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang
beriman pada ayat 94 surah An-Nisa yang menjadi
topik ini,
yakni:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di
jalan Allah, maka telitilah”.
Walaupun di medan perang
tetaplah harus tabayyun (berhati-hati),
jangan sampai salah sasaran / orang dalam
membunuh,
misalnya orang-orang
yang benar-benar Islam namun
tidak
dikenal.
Karena itu, kata Allah:
“janganlah kamu mengatakan kepada
orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “kamu bukan seorang
mu’min (lalu
kamu
membunuhnya)”.
Apapun namanya, kalau
orang
sudah
mengucapkan
salam, apalagi dalam kondisi ketakutan, setidaknya dia bermaksud
minta damai, maka sebagaimana tabiat Islam yang mengutamakan keselamatan (Islam), maka salam
tandanya orang minta keselamatan.
Karena itu, orang beriman tidak boleh berkata: “kamu bukan seorang
mukmin” lalu tetap membunuhnya. Apatah lagi jika ada
maksud yang timbul dalam hati untuk mengambil harta
mereka sebagai
harta
rampasan perang (ghanimah).
Allah SWT menegur
jangan lakukan
itu: “dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia,”.
Kata Buya
Hamka dalam tafsir Al-Ahzarnya, ini adalah celaan yang keras –atas
tindakan gegabah ini-- namun dilakukan dalam bentuk teguran secara
halus oleh Allah SWT.
Walaupun ghanimah itu adalah barang halal dalam
suasana perang, tetaplah tidak boleh melakukan
pembunuhan atas motivasi ghanimah tersebut; “karena di sisi Allah ada harta yang banyak”.
Maknanya, harta tidak harus didapatkan dari ghanimah itu, tetapi Allah SWT dapat memberi
rezki
yang
banyak dengan cara yang
lain, jika Dia ridha kepadamu,
maka janganlah
bertindak
gegabah dan semberono
seperti itu.
Lanjutan
ayat ini
berbunyi:
“Begitu jugalah keadaan
kamu
dahulu”, hal ini
menggambarkan bagaimana para sahabat
yang
dahulunya sudah menerima ajaran Rasulullah (ajaran Islam) namun mereka tidak
menampakkannya secara terang-terangan karena mereka
masih hidup di
tengah-tengah keluarga
besarnya.
Bahkan Rasulullah sendiri dalam
proses penguatan
dan
peneguhan Islam bagi para sahabatnya belum dilakukannya secara terbuka yakni di rumah Al Arqam bin Abil Arqam, nanti setelah Umar Ibn Khattab menerima hidayah Allah, lalu ajaran
Rasulullah s.a.w disampaikanlah secara terbuka.
Demikianlah keadaanmu
dahulu, wahai orang-orang yang beriman;
“lalu Allah menganugrahkan nikmat-Nya atas kamu”.
Itulah kenyataannya. Seiring dengan berjalannya waktu, perjalanan kenabian dan kerasulan Muhammad s.a.w. dengan
penuh perjuangan, Allah SWT menganugerahkan
nikmat-Nya kepada Rasulullah dan umatnya; nikmat
masuknya orang-orang pilihan ke
dalam Islam seperti Umar Ibn Khattab, dan terutama
nikmat berupa
terbukanya kesempatan hijrah ke Madinah, yang mana di Madinah inilah
Rasulullah dapat menerapkan ajaran Allah SWT melalui kepemimpinan
beliau dan dalam kekuasaannya.
Ingatlah keadaan seperti itu yang kalian
alami
dulu, “maka telitilah”. Jangan membunuh dengan mencari-cari
“alasan pembenaran” tapi haruslah dengan alasan yang dibenarkan secara
hukum. “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu
kerjakan”.
Buya Hamka memberikan uraian tentang ujung ayat ini untuk
memberi peringatan jangan sampai terjadi percampur-adukan nafsu
menginginkan harta rampasan dengan alasan yang dicari-cari
untuk membunuh seseorang yang
telah
mengucapkan salam. Karena meskipun
orang
dapat berkilah dengan ucapan “aku tidak tau”, namun hakekat yang
sebenarnya Allah SWT lebih tahu.
Dalam ayat
ini, dua kali Allah SWT mengulangi kata
“fa tabayyanu” (telitilah, selidikilah) untuk tidak
ceroboh dalam bertindak. Dengan ini dapat pula dipahami betapa
pentingnya “Badan Penyelidik/Intelijen” dalam
suatu angkatan perang yang
selain
untuk mengetahui situasi medan perang dan keadaan musuh,
juga untuk mengetahui
keadaan penduduk yang mungkin sedang tertindas kemudian membutuhkan pembelaan, pembebasan dari kezaliman dari penguasa negeri yang menjadi sasaran medan
perang.
Hindarilah sikap ceroboh yang dapat merenggut nyawa orang, jangan sengaja membunuh, jangan
memfitnah
karena fitnah lebih
kejam dari
membunuh,
jangan membunuh dengan motif kehidupan dunia, karena Allah
SWT
Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (bersambung)
Artikel sebelumnya:
Perintah Bersiap-siaga untuk Bertempur
Perintah untuk Taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri
Jangan Shalat dalam Keadaan Mabuk atau Junub