BERSAMA SAUDARA.
RA Kartini (paling kiri) foto bersama dua saudara
perempuannya, Kardinah (tengah), dan Roekmini. (int)
-----
PEDOMAN
KARYA
Jumat,
24 April 2020
Mengenal
dan Mengenang RA Kartini (1)
Dipingit,
Belajar di Rumah, Berkorespondesi dengan Orang Eropa
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan / Pengajar)
Pahlawan Nasional dan
simbol perjuangan wanita Indonesia, Raden Adjeng (RA) Kartini, ternyata rajin
membaca koran (surat kabar) dan majalah. Wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah,
21 April 1879, juga rajin membaca buku.
Surat kabar, majalah,
dan buku-buku yang dibacanya pun bukan sembarangan, karena hampir semuanya
berbahasa Belanda, dan sebagian buku yang dibacanya tergolong “bacaan berat”,
seperti “Max Havelaar”, “De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib)” karya Louis
Coperus, serta buku karya Van Eeden yang bermutu tinggi.
Selain itu, Kartini
juga membaca buku “Surat-Surat Cinta” karya Multatuli (yang pada November 1901
sudah dibacanya dua kali), “Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata)” karya Berta
Von Suttner yang merupakan sebuah roman anti-perang, serta buku-buku karya
Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, dan roman-feminis karya Nyonya Goekoop
de-Jong Van Beek.
Koran atau surat kabar
yang dibacanya antara lain “Semarang De Locomotief” yang diasuh oleh Pieter
Brooshooft. Kartini juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan
toko buku kepada langganan).
Di antara
majalah-majalah tersebut, terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang
cukup berat. Juga ada majalah wanita Belanda, “De Hollandsche Lelie”. Kartini
pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di majalah “De
Hollandsche Lelie.”
Koran, majalah, dan
buku-buku berbahasa Belanda tersebut dibacanya sebelum berusia 20 tahun. Itu
menunjukkan, betapa hebat dan majunya seorang RA Kartini, yang pada saat
bersamaan, wanita Indonesia pada umumnya belum mengenal tulis menulis, belum
mengenal bangku sekolah, dan sebagian besar masih buta huruf. Kondisi itu
pulalah yang membuat RA Kartini merasa prihatin.
Ia pandai membaca dan
menulis, karena dirinya diperbolehkan belajar dan bersekolah sampai usia 12
tahun di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah itu, Kartini antara lain
belajar bahasa Belanda. Sayangnya, setelah usianya menginjak 12 tahun, ia harus
tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Sahabat
Pena
Meskipun dipingit,
Kartini tidak berputus asa. Ia tetap belajar sendiri di rumah. Ia tetap rajin
membaca, bahkan ia kemudian menulis surat dan berkorespondensi menggunakan
Bahasa Belanda dengan beberapa sahabat penanya yang tinggal di Negeri Belanda.
Salah satu sahabat
penanya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran,
dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Maka timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat
bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Dari surat-suratnya,
tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau
mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi
wanita, melainkan juga masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Kartini melihat
perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum,
sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Dari Kegelapan Menuju
Cahaya
Hal itu terungkap
setelah Rosa Abendanon, yang tidak lain isteri dari Mr JH Abendanon (Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda), mengumpulkan dan membukukan
surat-surat yang pernah dikirimkan RA Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Kumpulan surat-surat RA
Kartini dijadikan buku yang diberi judul “Door Duisternis tot Licht” (Dari
Kegelapan Menuju Cahaya) dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1911. (bersambung)
-------
Sumber referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini, dikutip
pada 24 April 2020
- http://www.biografipedia.com/2016/04/biografi-ra-kartini-wanita-indonesia.html
-------
Artikel berikutnya: