Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya, dan binatang-binatang qalaaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhan-nya. Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al Maidah/5: 2)
------
Selasa, 12 Mei 2020
Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (29):
Jangan Melanggar Syiar-syiar
Allah
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang hadya, dan binatang-binatang qalaaid, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keridhaan dari
Tuhan-nya. Dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al Maidah/5: 2)
Sapaan Allah SWT terhadap orang-orang beriman dalam ayat ini meliputi sembilan hal. Ada yang bersifat melarang
dan ada yang bersifat membolehkan, serta ada pula perintah.
Namun inti dari ayat ini adalah
larangan kepada orang-orang beriman melanggar syiar-syiar Allah sebagai bukti keimanan mereka, dan menaati atau menghormati
aturan-aturan Allah SWT untuk
mencapai derajat ketaqwaan.
Berikut ini adalah sapaan-sapaan
tersebut. Wahai orang-orang yang beriman!
Pertama,“Janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah!”Menurut penjelasan
Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah,
kata ‘sya’a’ir’ adalah jamak dari
kata ‘sya’irah’ yang berarti tanda.
Dapat juga dinamai ‘syi’ar’yang seakar
dengan kata ‘syu’ur’ berarti rasa.
Jadi syi’ar dapat dimaknai tanda yang ‘seharusnya’ menghasilkan rasa
hormat dan agung kepada Allah SWT. Ada bermacam-macam tanda-tanda
itu, lanjut Quraish Shihab.
Ada yang merupakan tempat, seperti Shafa dan Marwah, serta Masy’ar al Haram, ada juga berupa waktu
seperti bulan-bulan Haram (Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram), dan ada lagi yang dalam
wujud sesuatu, seperti al-hadya dan al-qala’id yakni binatang qurban yang dipersembahkan kepada Allah.
Sayyid Quthub dalam tafsir Fie Zhilalil Qur’an menuliskan bahwa
yang disebut syiar-syiar Allah–yang
dilarang melanggarnya-- dalam ayat ini adalah syiar-syiar haji dan umrah dengan
segala sesuatu yang diharamkan atas orang-orang yang sedang melakukan ihram dan
umrah hingga hajinya selesai dengan menyembelih qurban yang dibawa ke baitul
haram.
Kata sya’a-irillah, yakni kata syi’ar-syi’ar yang telah disebutkan,
dinisbatkan kepada Allah adalah untuk
menunjukkan keangungan-Nya dan larangan menghalalkannya (untuk dilanggar: pen.).
Ibnu Abbas menafsirkan sya’a-ir
dengan manasik, yaitu rukun syarat haji yang mesti dipenuhi, misalnya miqat yakni mengenakan pakaian ihram di perbatasan
yang ditetapkan. Tidak boleh mencukur rambut, tidak boleh mendekati istri
selama belum selesai wukuf di Arafah atau mabit (bermalam) di Muzdalifah
dan seterusnya.
Barulah seseorang itu bebas dari
lingkungan sya’a-ir apabila dia telah
tahallul, yakni setelah semua rukun
selesai, kemudian bercukur rambut dan menyembelih hewan qurban (hadyu).
Sebelum semua rukun itu selesai,
jangan dihalalkan (laa tuhillu), artinya jangan melanggar syi’ar dengan semau-maunya saja.
Demikian Ibnu Abbas yang dinukil oleh Buya Hamka dalam tafsir Al-ahzarnya.
Kedua,“Janganlah melanggar kehormatan bulan-bulan haram.”Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di memaknainya, yakni jangan menodai bulan-bulan haram (yang
dihormati) dengan melakukan peperangan dan berbagai bentuk kedzaliman di
dalamnya.
Bulan-bulan haram sebagaimana
disebutkan pada bagian pertama adalah bulan yang disyariatkan oleh Allah tentang keharamannya atas perintah-Nya sejak saat Dia
menciptakan langit dan bumi sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS At Taubah/9: 36)
Buya Hamka menambahkan uraiannya
bahwa kesucian bulan-bulan yang empat itu harus tetap dipelihara
selama-lamanya, kecuali jika pihak musuh yang memulai, sehingga menjadi kewajiban untuk
selalu tetap waspada.
Jadi, jika terjadi hal di dalam bulan
suci itu, dimana musuh memerangi kaum muslimin, atau mereka terlebih dulu
menghalangi kaum muslimin mengerjakan ibadah hajinya sehingga peperangan tidak
dapat dielakkan lagi, maka terlalu sia-sia jika kaum mulimin tidak menghadapi
tantangan yang demikian.
Allah SWT berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang
pada bulan haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar;
tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar
(dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh...” (QS Al-Baqarah/2: 217)
Ketiga,“Jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya, dan binatang-binatang
qalaaid”. Al-hadya adalah binatang yang akan disembelih di Mekah dan sekitarnya
dan yang dijadikan persembahan kepada Allah,
sedangkan al-qala-id adalah
binatang-binatang yang dikalungi lehernya sebagai tanda bahwa binatang tersebut
disediakan sebagai persembahan pilihan atau istimewa.
Kedua status binatang ini yakni al-hadya dan qala-id–yang terdiri dari binatang-binatang ternak, baik unta atau
sapi, kambing dan domba-- tidak boleh diganggu dengan cara apapun, semuanya
harus dijaga hingga sampai pada waktu dan di tempat penyembelihannya.
Keempat,“Jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah sedang
mereka mencari karunia dan keridhaan dari RabbNya.”
Quraish Sihab dalam Al-Misbahnya menjelaskan; siapapun yang
ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah sedang mereka melaksanakan hal
tersebut dalam keadaan mencari karunia Allah dengan sungguh-sungguh baik dalam
bentuk keuntungan duniawi –dengan perniagaan yang dibolehkan-- ataupun mencari
keridhaan ukhrawi dari Tuhan mereka.
Allah SWT mengajarkan kepada orang
beriman agar orang-orang yang demikian ini jangan dihinakan dan ditimpakan keburukan kepada mereka,
bahkan sebaliknya harus dimuliakan dan dihormati.
Kelima, apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, maka bolehlah berburu.” Tanda telah selesainya seseorang
melaksanakan ibadah haji dan atau umrah disebut tahallul yang berarti “telah halal.”
Setelah terselenggaranya semua
pekerjaan haji atau umrah dan keluar dari tanah haram, maka berburu yang
tadinya dilarang, sudah dibolehkan.
Buya Hamka mengibaratkan larangan
berniaga ketika seruan Jum’at sudah datang, maka apabila Jum’at sudah selesai
bolehlah berniaga kembali, bahkan diperintahkan bertebaran di muka bumi mencari
karunia Allah.
Keenam,“Jangan sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka).”
Menurut Quraish Shihab, kata ‘syana’an’ dalam ayat ini berarti
“kebencian yang mencapai puncaknya.” Ayat ini –lanjut beliau-- merupakan bukti
betapa Al-Qur’an
menekankan keadilan.
Musuh yang dibenci – walau telah
mencapai puncak kebenciannya sekalipun- lantaran menghalang-halangi
pelaksanaan tuntunan agama, masih harus diperlakukan secara adil, apalagi musuh
yang dibenci tapi belum sampai ke puncak kebencian dan oleh sebab lain yang
lebih ringan (tetaplah harus bersikap adil).
Ketujuh,“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.”Abdurrahman
bin Nashir As Sa’di menafsirkan: ‘Al-birr’
yang berarti “kebajikan” adalah nama yang mengumpulkan segala perbuatan baik,
lahir maupun batin, baik hak Allah
maupun hak manusia yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
‘Taqwa’ dalam ayat ini adalah
nama yang mengumpulkan sikap meninggalkan segala perbuatan-perbuatan lahir dan
batin yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kedelapan,“Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Lanjut Syekh As-Sa’di menafsirkan;
jangan saling mendorong melakukan kemaksiatan, dimana pelakunya memikul beban
berat dosa. Dan jangan tolong menolong dalam pelanggaran, yakni pelanggaran
terhadap manusia terkait darah, harta, dan kehormatan mereka.
Seorang hamba wajib menghentikan diri dari segala
kemaksiatan dan kezhaliman lalu membantu orang lain untuk meninggalkannya.
Kesembilan,“Bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Bertaqwa kepada Allah dalam ayat ini bermakna takutlah kepada siksa-Nya yang diberikan-Nya kepada orang-orang
yang bermaksiat kepada-Nya dan berani melanggar aturan-aturan terkait yang
diharamkan-Nya. (bersambung)
------
Artikel sebelumnya:
Perintah Memenuhi Seluruh Aqad
Larangan Mengambil Orang Kafir Menjadi Pemimpin
Perintah Memperteguh Keimanan
------
Artikel sebelumnya:
Perintah Memenuhi Seluruh Aqad
Larangan Mengambil Orang Kafir Menjadi Pemimpin
Perintah Memperteguh Keimanan