--------
Jumat, 29 Mei 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (37):
Larangan
Mengharamkan Sesuatu Yang Baik Lagi Dihalalkan
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al Mâidah/5: 87)
Amat bahagia rasanya menjadi hamba Allah yang beriman ketika atas nikmat
iman itu, seorang
hamba berupaya dengan
sungguh-sungguh memaknai betapa besar kasih sayang Allah kepadanya, hingga persoalan sikap dan keyakinan yang agak
berlebih, yang
biasa dimiliki manusia atas semangatnya untuk melaksanakan ajaran agama, juga
tak luput dari perhatian Allah SWT kepada orang-orang beriman.
Quraish Shihab menukil pendapat
al-Biqâ’i bahwa: “Allah memuji
orang-orang memiliki rasa takut kepada Allah
yang biasa disebut rahbah, yang mendorong upaya menjauhkan diri dari gemerlapan
duniawi, karena memang hal itu baik, tetapi dalam prakteknya seringkali
pelakunya terlalu ketat sampai-sampai meninggalkan yang dibolehkan (mubah) –oleh Allah- padahal manusia
adalah makhluk yang lemah, sehingga seringkali kelemahan menghadapai keketatan
itu mengantar kepada kegagalan beragama.”
Nah, Allah SWT atas cinta dan kasih sayang-Nya menghendaki agar
orang-orang yang beriman itu tidak mengalami kegagalan dalam beragama, maka diajarkan-Nya untuk beragama secara
adil yakni tidak melebihkan dan tidak juga mengurangi.
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu!”
Jika Allah SWT telah menetapkan sesuatu yang baik itu halal, maka orang
beriman tidak boleh mengharamkannya dengan cara apapun– misalnya bersumpah,
bernazar, atau
apa saja untuk mengharamkan bagi dirinya- dan alasan apapun.
Dari sudut pandang kontekstual (burhani) dijumpai sebuah hadits yang
menerangkan sebab turunnya ayat ini, terkait dengan seorang yang mengharamkan
memakan daging bagi dirinya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At
Tirmidzi yang bersumber dari Ibni Abbas r.a, bahwa ada seorang laki-laki datang
menghadap Nabi s.a.w dan berkata: “Wahai Rasulullah, apabila aku memakan daging, timbullah rangsangan syahwatku
kepada istriku, oleh karena itu daging haram bagiku.”
Atas sebab dari sikap orang ini, Allah SWT mengingatkan lewat
firman-Nya: “yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ
tuharrimû thayyibâti mâ ahalla llâhu lakum…,wahai orang-orang yang beriman!Janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu…,” sebagai teguran untuk meluruskan
pandangannya itu.
Sikap beragama seperti ini juga
pernah menjadi kecederungan beberapa sahabat nabi. Quraish Shihab menukilkan
bahwa suatu ketika: “Sejumlah sahabat Nabi
s.a.w berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka dengan amal-amal Nabi s.a.w, dan akhirnya mereka
berkesimpulan untuk melakukan amalan-amalan yang berat.
Ada yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak akan menggauli istrinya, dan
ada juga yang akan berpuasa terus-menerus. Mendengar rencana itu –lanjut
Quraish Shihab- Nabi s.a.w menegur
mereka.
Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku adalah yang paling bertaqwa di antara kalian, tapi
aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa tapi juga berbuka, dan aku kawin.
Barang siapa yang enggan mengikuti sunnahku (cara hidupku), maka bukanlah ia
dari kelompok (umat)-ku.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas Ibn Mâlik). Demikian dinukil dari
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah.
Kecenderungan beragama dengan “modal
semangat” seperti ini, melanggar prinsip ‘adil’ dalam sikap beragama, sehingga tidak dianjurkan
sebagaimana Rasulullah s.a.w. menegur
sahabatnya yang berperilaku demikian.
Bahkan oleh Sayyid Quthb dikatakan
bahwa menentukan halal dan haram itu adalah persoalan pembuatan syari’at (tasyri’) yang notabene adalah wewenang Allah (uluhiyah) untuk
menghalalkan dan mengharamkan.
“Orang yang mengaku atau merasa
memiliki wewenang untuk membuat atau menciptakan syaria’at, -lanjut Sayyid
Quthb- berarti ia menganggap dirinya memiliki hak uluhiyah, padahal hak –uluhiyah-
ini hanya semata-mata kepunyaan Allah,”
ini adalah sifat dan sikap melampaui batas.
Lebih tegas lagi, apa yang dinukilkan
oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sikap seperti ini mengerjakan
dua sifat buruk sekaligus, yakni: “menggabungkan antara berdusta atas nama Allah dengan mengkufuri nikmat-Nya dan
meyakini –sesuatu- yang halal lagi baik sebagai –sesuatu- yang haram lagi buruk,
karena itu termasuk melanggar batas.”
Kemudian, Firman Allah SWT dalam lanjutan ayat ini: “dan janganlah kamu melampaui batas.” Yang dimaksud melampaui batas
dalam ayat ini, sebagaimana yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, dan
Allah SWT melarang perbuatan
melampaui batas itu.
Orang-orang yang suka melakukan
perbuatan melampaui batas itu diberi gelar al-mu’tadîn
(pelampau batas), dan setelah Allah
melarang, Dia pun menegaskan bahwa Dia tidak mencintai al-mu’tadin itu: “Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Bukan hanya ‘tidak
mencintai,’ bahkan Dia akan menghukum mereka al-mu’tadûn itu (QS Qâf/50: 24-25).
Selanjutnya, setelah Allah menyampaikan larangan-Nya kepada orang-orang
beriman, maka Allah SWT menegaskan
sikap yang seharusnya bagi hamba-Nya melalui firman-Nya pada ayat 88 dari
surah Al-Maidah ini: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Al-Maidah/5: 88)
Syekh As Sa’di memberikan penjelasan
tentang makanan halal yakni bukan hasil pencurian, bukan merampas hak orang dan
bukan pula harta-harta yang lain yang diambil dengan cara tidak benar,
sedangkan makna baik, yakni makanan yang tidak ada keburukan padanya, maka
tidak termasuk ke dalamnya binatang buas yang keji dan hewan-hewan yang
menjijikkan. Demikian, Syekh As Sa’di.
Quraish Shihab memberikan penjelasan:
“Di sini ditegaskannya perintah memakan yang halal, dan dengan demikian melalui
ayat ini dan ayat sebelumnya, yang menghasilkan makna larangan dan perintah
bolehnya memakan segala yang halal. Dengan perintah ini tercegah pulalah
praktek-praktek keberagamaan yang melampaui batas.”
“Dan
bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” Bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya sebagai bukti iman
kepada-Nya,
karena iman seseorang kepada Allah
mengharuskannya bertaqwa kepada-Nya dan menjaga hak-Nya yakni hak uluhiyah-Nya, karena iman tidak
sempurna kecuali dengan itu. (bersambung)
------
Artikel sebelumnya:
Larangan Mengambil Pemimpin yang Menjadikan Islam sebagai Bahan Ejekan
Allah akan Mendatangkan Kaum Pengganti Jika Orang Murtad dari Agama-Nya
Jangan Mengambil Orang Yahudi dan Nasara Menjadi Pemimpinmu
------
Artikel sebelumnya:
Larangan Mengambil Pemimpin yang Menjadikan Islam sebagai Bahan Ejekan
Allah akan Mendatangkan Kaum Pengganti Jika Orang Murtad dari Agama-Nya
Jangan Mengambil Orang Yahudi dan Nasara Menjadi Pemimpinmu