---------
Sabtu, 06 Juni 2020
Al-Qur’an
Menyapa Orang-orang Beriman (39):
Allah
Menguji dengan Suatu Kemudahan
Oleh: Abdul
Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil
Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu, supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih. (QS Al Maidah/5: 94)
Dalam memberikan uraian tentang ayat
ini, ada baiknya dimulai dengan pertanyaan Allah
SWT dalam firman-Nya: “Apakah manusia
itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman,
sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al Ankabut/29: 2)
Firman Allah SWT ini mengantar seorang hamba pada kesadaran bahwa iman itu
tidak cukup hanya dengan ucapan dan pengakuan dari dirinya, melainkan harus melalui ujian untuk
kemudian dikukuhkan menjadi sebuah keyakinan, dan dibuktikan dengan tindakan yang
benar berdasarkan keimanan yang tertuju kepada Sang Pemberi petunjuk atas
keimanan itu.
Ujian keimanan dari Allah SWT pun ternyata beragam, ada
dengan cara memberi nikmat kepada hamba-Nya, namun ada juga justru dengan
cara mengambil nikmat itu darinya, ada dengan cara memberi fasilitas kemudahan
dan ada pula justru dengan mengalami kesusahan.
Dalam ayat 94 surah Al Maidah ini Allah SWT memberikan ujian kepada hamba-Nya berupa kemudahan dalam
bentuk hadirnya: “binatang buruan yang
mudah didapat oleh tangan dan tombakmu.”
Artinya, binatang tersebut hadir di sekitar
mereka dan dalam keadaan jinak, bisa ditangkap dengan tangan atau bisa ditombak.
Ujian ini terkesan sangat mudah dan ringan, namun secara hakiki justru merupakan
ujian kemampuan menahan diri dan kehati-hatian yang sangat tinggi.
Dalam suasana yang sangat mudah untuk
bertindak seperti ini, jika tidak ada rasa takut kepada Allah, maka akan sangat
gampang mencari cara pembenaran untuk melakukan kehendaknya.
Oleh karenanya, Allah SWT menyampaikan
tujuan ujian ini, yakni; “supaya Allah
mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya.”
Takut kepada Allah bagi orang beriman
walaupun dia tidak melihat-Nya, melahirkan aqidah yang kokoh, perilaku yang lurus, serta tanggung jawab yang
amanah.
Dalam sejarah perjalanan zaman, umat
terdahulu juga diuji oleh Allah SWT.
Disampaikan dalam Al-Qur’an bagaimana orang Bani Israil (Yahudi) yang meminta kepada
Nabi Musa a.s. agar diberi hari khusus untuk beribadah, dimana pada hari itu
mereka berjanji untuk tidak akan melakukan kegiatan apa pun kecuali beribadah, maka ditetapkanlah
oleh Allah SWT bagi mereka hari Sabtu sebagai hari ibadah, dan diberi aturan bahwa
mereka tidak boleh melanggar ketentuan tersebut.
Kemudian Allah menguji mereka dengan
mendatangkan buruan laut pada hari Sabtu, yang menepi ke pinggir laut dan
terlihat oleh mereka begitu banyak dan jinak dan sangat mudah untuk ditangkap.
Apa yang terjadi? Mereka tenyata
tidak mampu lulus dari ujian itu. Mereka melakukan rekayasa pembenaran
(baca: tipu daya) dengan memasang jaring di hari Sabtu untuk kemudian diambil
hasil tangkapannya pada keesokan hari atau pada hari yang lain.
Dikisahkan dalam Al-Qur’an melalui kalam
Allah SWT: “Dan tanyakanlah kepada Bani
Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar
aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di
sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan
Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku
fasik.” (QS Al A’raf/7: 163)
Kalau ujian bagi kaum muslimin adalah
larangan berburu hewan darat -pada waktu sedang berihram- dimana hewan-hewan
tersebut juga jinak dan mudah didapatkan, kemudian orang-orang beriman itu
berhasil melaluinya dengan tidak melanggar ketentuan Allah, maka orang-orang
Yahudi Bani Israil diberi larangan berburu hewan laut hari Sabtu dimana hewan lautnya juga
jinak dan mudah didapatkan, namun orang-orang Bani Israil tidak lulus dari ujian
itu, dan
mereka membuat rekayasa pembenaran untuk memenuhi hasratnya. Begitulah ujian!
Bila dibawa ke dalam kehidupan
kekinian, kondisi yang paling dekat yang dapat dijadikan permisalan adalah
orang-orang yang diberi amanah memimpin sebuah instansi, lembaga atau
perusahaan dimana pemimpinnya dihadapkan pada ujian kemudahan-kemudahan berupa “hewan buruan” dalam bentuk fasilitas
kantor, yang
digunakan tanpa batas lantaran begitu gampangnya diatur, karena berada dalam genggaman
kekuasaannya.
Kenyataannya, tidak sedikit orang yang tidak
lulus dalam ujian ini. Sungguh pun demikian masih tetap ada
orang-orang yang takut kepada Allah,
lalu dia senantiasa menjaga dirinya agar tidak tergiur untuk menyalah-gunakan amanah yang
diberikan kepadanya.
Itulah iman yang megantar orang-orang
yang memilikinya untuk takut kepada Allah
SWT, walaupun Allah itu ghaib
baginya.
Kedua ujian ini adalah untuk melihat
watak sesorang atau suatu kaum, sehingga ketika bicara watak, ini berarti
berlaku untuk manusia di segala zaman. Inilah gambaran firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah Menge-tahui orang-orang yang benar
dan sesungguhnya Dia Mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al Ankabut/29: 3)
Kalau ternyata -hewan buruan darat,
hewan buruan laut, fasilitas yang begitu gampang diperoleh- semuaini hanyalah
merupakan ujian dari Allah SWT untuk mengetahui siapa yang takut kepada-Nya, maka hati-hatilah,
latihlah diri untuk tidak melanggar ujian yang kelihatan seperti “hal biasa-biasa”
dan “seolah-olah” tidak berefek ini, karena hal ini pada akhirnya dapat
mengatar sesorang untuk bertindak melanggar batas.
Maka diingatkanlah orang-orang
beriman itu dengan firman Allah: “Barang
siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih.”
Untuk terhindar dari kegagalan ujian yang
berakibat melanggar batas itu, maka: (1) hendaknya orang-orang
beriman melatih diriuntuk bersifat qana’ah,
yakni ‘merasa cukup dengan pemberian Allah’ dan bersyukur atas pemberian itu,
sehingga Allah SWT akan menambahkan nikmatNya sesuai dengan janji-Nya (QS Ibrahim/14: 7).
(2) Melatih diri untuk bersikap wara’, yakni hati-hati dalam segala
sikap, keputusan dan tindakan seorang hamba yang beriman, sehingga terhindar
dari hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal atau haram) apatah
lagi jika memang sudah jelas haram, serta jauh dari kemurkaan dan adzab Allah SWT. (bersambung)
-------