Muhammad Daeng Patompo (kanan) selaku Walikota Makassar, berjabat-tangan dengan Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud. (int) |
PEDOMAN KARYA
Senin, 08 Februari 2021
Mati Ketawa ala
Patompo
Patompo? Siapa itu Patompo? Mungkin banyak anak-anak muda sekarang yang tidak mengenalnya, tetapi di masanya, Patompo sangatlah terkenal. Bukan hanya di Makassar dan sekitarnya, melainkan juga hampir pada seluruh kota-kota besar di Indonesia.
Patompo (orang Makassar mengejanya dengan
penekanan pada akhir nama, yakni Patompo’) yang bernama asli Muhammad Daeng
Patompo adalah seorang perwira tentara Angkatan Darat dengan pangkat terakhir
kolonel.
Perjalanan hidup kemudian membawanya
menjadi Walikota Makassar (dulu namanya Wali Kotamadya Makassar). Ia bahkan
cukup lama memimpin Kota Makassar.
Dalam artikel “Daftar Wali Kota Makassar”
di wikipedia.org (dikutip pada Sabtu pagi, 06 Juni 2020), Kol. H. Muhammad
Daeng Patompo disebut sebagai Walikota Makassar ke-12, dengan masa jabatan
mulai tahun 1962 hingga 1978.
Patompo menggantikan H. Arupala
(1959-1962), dan kemudian digantikan oleh Kol. Abustam (1978-1983).
Saking lamanya ia menjadi Walikota
Makassar, sampai-sampai banyak orang yang mengira ia lahir dan besar di Kota
Makassar. Padahal, ia justru lahir dan besar di Kabupaten Polmas. Patompo lahir
pada 17 Agustus 1926.
Ayahnya bernama Puang Bakkidu. Dia seorang
pedagang besar serta keturunan bangsawan dan pemuka agama. Ibunya bernama Besse
Mappa, seorang keturunan raja di Kerajaan Binuang.
Polmas waktu itu adalah salah satu
kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Setelah terbentuk Provinsi Sulawesi
Barat, Polmas yang masuk dalam wilayah provinsi baru itu, akhirnya dimekarkan
menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mandar (disingkat Polman) dan
Kabupaten Mamasa.
Cukup banyak referensi tentang HM Dg
Patompo, karena banyak orang yang menulis tentang beliau. Salah seorang yang
menulis tentang Patompo yaitu wartawan senior HM Dahlan Abubakar, mantan
Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat.
Sekadar informasi, Harian Pedoman Rakyat
terbit perdana pada 01 Maret 1947 (didirikan oleh Soegardo dan Henk Rondonuwu),
dan terbit terakhir kalinya pada 2 Oktober 2007, di bawah kendali Ventje
Manuhua (anak dari LE Manuhua, mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi
Pedoman Rakyat).
M Dahlan Abubakar menulis tentang HM Dg
Patompo bukan secara keseluruhan tentang profil atau sosoknya, melainkan
cerita-cerita jenaka tentang Patompo. Karena cerita-cerita jenaka itu memang
lucu, maka kami memilih judul “Mati Ketawa ala Patompo” sebagai pengantar pada
tulisan awal ini.
Kami menyebutnya tulisan awal, karena
cerita-cerita jenaka tentang Patompo yang ditulis M Dahlan Abubakar ini akan
dimuat secara bersambung.
Cerita-cerita jenaka tentang Patompo ini
ditulis oleh M Dahlan Abubakar, dan dimuat di Harian Pedoman Rakyat secara
bersambung pada awal tahun 2000-an. Judul “Mati Ketawa ala Patompo” pada
tulisan awal ini kami “pinjam” dari buku berjudul “Mati Ketawa Cara Rusia” yang
terbit puluhan tahun silam.
Ide menulis cerita jenaka tentang Patompo
diperoleh Dahlan saat menghadiri sebuah acara bertajuk “Mengenang Patompo”, di
Societet de Harmonie, Jl Ribura’ne, Makassar, awal tahun 2000-an.
“Saya merekam puluhan kisah humor Patompo ini dari sang pelakunya, yakni
almarhum (semua) Djamaluddin Santo, M Arfah Lewa, Andi Ampa Uleng, dan Asdar
Muis RMS. Mereka, terutama tiga orang pertama, merupakan sosok yang
berinteraksi langsung dengan Patompo. Santo dan Ampa Uleng pernah menjadi
ajudannya. Arfah merupakan wartawan foto kesukaannya (disenangi oleh Patompo,
red),” kata Dahlan Abubakar, di akun Facebook-nya, 04 Juni 2020.
Cerita jenaka tentang Patompo kemudian
dimuat di Harian Pedoman Rakyat secara bersambung hingga 11 episode. Tulisan
yang diramu Dahlan Abubakar itu ternyata menarik pembaca. Saking menariknya,
sampai-sampai banyak pembaca yang bertanya, bahkan ada yang protes, ketika
tulisan itu berakhir. Mereka menelepon ke redaksi.
“Mengapa dihentikan kisah Patompo itu?”,
tanya seorang pembaca melalui telepon," ungkap Dahlan.
Ia mengatakan, Sekretaris Redaksi Harian
Pedoman Rakyat ketika itu, Haeriyani Yahya, pun kelabakan menerima telepon dari
pembaca yang bertanya atau protes dengan berahirnya kisah jenaka Patompo.
Seberapa jenaka kisah Patompo
sampai-sampai banyak pembaca Harian Pedoman Rakyat yang “protes” setelah
kisahnya berakhir? Berikut kami sajikan salah satu kisah yang diceritakan Asdar
Muis RMS, dan ditulis oleh Dahlan Abubakar.
Topi Walikota “Ditenggerkan” di Lutut
Suatu ketika, Patompo sedang asyik duduk
di kursi di Kantor Mendagri, Jakarta. Mungkin habis bertamu atau menunggu
giliran dipanggil bertemu sang menteri.
Patompo duduk di ruang tamu. Kakinya
dilipat dan badannya yang gemuk dihempaskan di kursi. Mungkin kepanasan, topi
kebesarannya (topi walikota) dia buka. Topi itu ia “tenggerkan” di lutut
sebelah kanan.
Tak lama berselang, Menteri Dalam Negeri
Amir Machmud tiba-tiba melintas di depannya. Dalam sekejap Patompo gelagapan.
Tidak sempat berpikir panjang. Secara refleks, tangannya langsung menghormat
kepada Mendagri, tapi ia tidak menyadari bahwa topinya masih sedang bertengger
di lutut.
Topi resmi walikota itu tak sempat ia
kembalikan ke tempatnya di kepala. Tentu saja pemandangan itu menjadi sangat
lucu, karena Patompo memberi hormat tanpa topi di kepala, kepada Mendagri Amir
Machmud.
“Luar biasa. Hormat model baru ‘kale’,”
kata Asdar Muis. (bersambung)
------
Editor: Asnawin Aminuddin