Walikota Makassar, HM Dg Patompo (kiri) berjalan sambil merangkul wartawan foto senior Arfah Lewa. Keduanya kini sudah almarhum. Arfah Lewa memiliki banyak koleksi cerita tentang HM Dg Patompo dan sering diceritakannya dalam berbagai kesempatan, termasuk saat kumpul-kumpul dengan wartawan di Gedung PWI Sulsel, Jl AP Pettarani Makassar. (ist)
--------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 27 Juni 2020
Mati
Ketawa ala Patompo (9):
Minggir-ko, Saya Jadi Imam
Oleh: HM Dahlan Abubakar
(Wartawan Senior)
Suatu waktu di bulan Ramadhan, Andi Santo diperintahkan mengundang semua anak Losari. Patompo ingin melaksanakan salat tarawih bersama di rumah jabatan. Yang dipersiapkan bertindak sebagai imam adalah salah seorang ajudannya, Kapten Saleh.
(Wartawan Senior)
Suatu waktu di bulan Ramadhan, Andi Santo diperintahkan mengundang semua anak Losari. Patompo ingin melaksanakan salat tarawih bersama di rumah jabatan. Yang dipersiapkan bertindak sebagai imam adalah salah seorang ajudannya, Kapten Saleh.
Dan untuk sekadar
diketahui, tidak mudah menjadi imam jika Patompo termasuk salah seorang
makmumnya. Seorang imam harus paham dengan selera salah seorang “makmum”-nya, yakni
Patompo. Ada syaratnya, bacaan surahnya harus pendek dan indah.
Begitulah suatu hari sang
kapten (Kapten Saleh) yang didaulat sebagai imam. Kapten ini adalah teman
Patompo di pasukan militer dulu. Untuk tidak disebut “tak kenal teman lagi”,
Patompo merekrutnya menjadi ajudan.
Pada saat salat,
Patompo, Ismail Habie (Kepala Biro Humas Pemda Kota Madya Ujungpandang), dan
Pak Alam Makka, di dalam kamar. Anak-anak di luar.
“Ehhh..Saleh, ikona
riolo (Eh, Saleh, kamu saja yang di depan),” pinta Patompo. Maksudnya, sebagai
imam.
Kapten Saleh jelas
menurut saja. Tak boleh menampik. Hanya saja, dia dikenal menganut tarikat
tertentu. Kalau mengucapkan takbiratul ihram – Allah Akbar – dia ‘kunci’.
Seperti terdengar ‘uk’. Ternyata Kapten Saleh memang suka gagap.
Mendengar gaya Kapten
Saleh melafalkan “Allah Akbar” seperti itu, telinga Patompo merasa terganggu.
Patompo curiga.
“Eh….malasa ko katuh
(Eh… sakitkah kau)?” tanya Patompo. Padahal, imam sedang takbiratul ihram
memulai memimpin salat.
Kalau lagi memimpin
salat, Kapten Saleh biasa membaca surah-surah yang panjang. Benar juga, dia
ternyata memang membaca surah yang agak panjang.
“Ehh..Saleh, maponco’ena
(He.. Saleh, yang pendek saja),” Patompo nyeletuk padahal Saleh belum selesai
membacakan ayat. Maksudnya, Saleh harus memilih ayat yang pendek.
Selesai rakaat pertama,
Patompo yang tak tahan terlalu lama berdiri, langsung maju.
“Minggir ko, saya yang
jadi imam,” sergahnya, kemudian langsung “mengkudeta” Saleh yang jadi imam.
“Birmillahirrahmanirrahim…..”
dan seterusnya. Patompo membaca surah Al-Fatihah dengan cepat dan selesai. Setelah
bacaan Fatihah-nya selesai, tiba-tiba terdengar suara dari belakang, dari
barisan makmum.
“Huhh… qulhuwallahu
si…!” celutuk salah seorang jamaah.
Ternyata Patompo yang
lagi jadi imam, terganggu dengan suara usil dari belakang itu. Dia pun langsung
menangkis.
“Belum tentu dong,”
ujar Patompo.
Mendengar “tangkisan”
Patompo itu, beberapa jamaah pun terpaksa berupaya menahan tawanya. (bersambung)
-----
Keterangan:
- Cerita ini dikisahkan
oleh almarhum HM Arfah Lewa.
- Penulis, HM Dahlan
Abubakar, adalah mantan Kepala Humas Universitas Hasanuddin / Unhas Makassar,
dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat)
-----
Ditegur Saat Sedang Salat, Patompo Langsung Menjawab
Kau Pemain dari Australia kah?
Baru Pemanasan, Skor Sudah Langsung 5-5