RUANG PERPUSTAKAAN merupakan tempat yang disediakan untuk perpustakaan, yang harus terpisah dari aktivitas lain. Selain itu, pembagian ruangan harus disesuaikan juga dengan sifat kegiatan, sistem kegiatan, jumlah pengguna, jumlah staf, dan keamanan tata kerja, sehingga kelancaran kegiatan dalam perpustakaan tersebut berjalan efektif. (ist)
---------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 22 Juli 2020
OPINI
Perpustakaan Rentan Terdampak Bencana
(Pustakawan pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi
Selatan)
Dalam rentang waktu beberapa
bulan, di tahun 2020 ini, kita disuguhkan pemandangan yang memprihatinkan.
Bagaimana tidak, bencana alam banjir menimpa sejumlah kabupaten di Sulawesi
Selatan, mulai dari Bantaeng, Luwu Utara, Wajo, dan Sidrap.
Catatan terkait bencana
banjir jika mau dirunut pada tahun-tahun sebelumnya, juga pernah menimpa
Jeneponto, pada Januari 2019, dan Sinjai di Juni 2006. Deretan bencana banjir
itu bukan saja merendam permukiman penduduk, tapi juga area persawahan, kebun
dan tambak, merusak infrastruktur dan fasilitas layanan publik, serta ada pula yang
menelan korban jiwa.
Salah satu yang juga
mengalami kerugian, yakni gedung perpustakaan, berikut sarana, dan koleksi
perpustakaan yang ada di dalamnya.
Koleksi Rusak
Dampak bencana terhadap
perpustakaan bisa dilihat saat banjir menghantam Bantaeng. Ribuan judul buku
rusak parah, dan kemungkinan tidak bisa dibaca lagi. Begitu pun di Luwu Utara.
Koleksi perpustakaan rusak akibat air yang bercampur lumpur merendamnya.
Pelayanan publik yang
berkaitan dengan perpustakaan, lumpuh, tidak dapat berjalan seperti biasanya.
Saat terjadi bencana banjir di Jeneponto dan Sinjai, perabot dan koleksi
perpustakaan rusak tak berbentuk.
Di Sinjai lebih parah
lagi, karena tidak satupun buku yang bisa terselamatkan, sehingga Perpustakaan
Nasional (Perpusnas) RI terpanggil turun tangan membantu menyelesaikan persoalan
perpustakaan yang terdampak bencana.
Pertanyaannya kemudian,
mengapa perpustakaan tidak luput dari bencana banjir? Jawabnya, ada beberapa,
menurut penulis. Pertama, gedung perpustakaan sejak awal tidak didesain
untuk mengantisipasi apabila terjadi bencana.
Kedua,
kebanyakan Dinas Perpustakaan menempati gedung bekas dinas/kantor lain. Mirip
pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi. Dengan kata lain, pemerintah tidak merencanakan
untuk menyediakan fasilitas ruang layanan perpustakaan, pengolahan buku,
pemeliharaan buku, ruang staf dan ruang yang mendukung aktivitas perpustakaan
lainnya.
Ketiga,
kelembagaan perpustakaan dan kearsipan di kabupaten/kota yang sudah berbentuk
dinas, sayangnya tidak dibarengi dengan ketersedian gedung yang cukup memadai,
sesuai standar perpustakaan.
Begitulah kondisi
gedung perpustakaan di banyak kabupaten/kota, yang kondisinya memprihatinkan.
Gedung perpustakaan itu, ada yang mirip tempat tinggal/rumah –atau bisa jadi
rumah yang dijadikan perpustakaan– ada yang seperti ruang sekolah, atau bekas
gedung organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya.
Kondisi ini pernah
dikritik oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, saat membuka Rapat Koordinasi
Perpustakaan dan Kearsipan Nasional se-Sulawesi Selatan, di Makassar, tahun
2018.
Gubernur yang namanya
biasa ditulis singkat NA itu, berharap agar fasilitas perpustakaan bisa lebih
representatif. Dia mengeritik program perpustakaan yang seakan-akan bukan
menjadi prioritas. Padahal, kita selalu bicara soal mencerdaskan kehidupan
bangsa (Fajar.co.id, 20/10/2018).
Standar Gedung
Perpustakaan
Perpusnas RI sebenarnya
telah menerbitkan beberapa standar gedung perpustakaan, salah satunya standar
gedung perpustakaan umum. Dalam Peraturan Kepala Perpusnas Nomor 8 Tahun 2017,
tentang Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten/Kota itu, disebutkan bahwa gedung
perpustakaan harus memiliki tempat yang terdiri atas sejumlah ruangan, di mana
tiap-tiap ruangan mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Ruang perpustakaan
merupakan tempat yang disediakan untuk perpustakaan, yang harus terpisah dari
aktivitas lain. Selain itu, pembagian ruangan harus disesuaikan juga dengan
sifat kegiatan, sistem kegiatan, jumlah pengguna, jumlah staf, dan keamanan
tata kerja, sehingga kelancaran kegiatan dalam perpustakaan tersebut berjalan
efektif. (Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan, 2000).
Selain Perpusnas, ada
juga standar gedung perpustakaan berbasis ISO/TR 11219:2012. Standar ini memberikan
panduan untuk menentukan perencanaan bangunan/gedung perpustakaan.
Selain itu, juga
memberikan panduan tentang pemilihan peralatan teknis untuk
area fungsional yang berbeda di dalam perpustakaan yang akan
dibangun.
Standar tersebut
memberikan panduan untuk perencanaan bangunan perpustakaan dengan
mengidentifikasi kebutuhan ruang dan peralatan teknis. Tujuan standar gedung
lainnya, yakni agar dapat mendukung pengambilan keputusan bagi pustakawan,
arsitek, dan lembaga pembiayaan dalam perecanaan bangunan/gedung perpustakaan.
Dalam rangka merencanakan
bangunan baru atau proses rekonstruksi pascabencana, dibutuhkan data lengkap untuk
membantu menghitung kebutuhan ruang dan peralatan teknis bangunan perpustakaan
yang akan dibangun kembali.
Gedung perpustakaan
yang akan didirikan kembali itu harus mampu difungsikan untuk menyimpan koleksi
perpustakaan. Perlu juga dialokasikan ruangan untuk area pengguna yang cukup
memadai, serta area kerja untuk operasional staf perpustakaan.
Sejauh ini, data-data
seperti itu, belum tersedia dalam standar yang ada di Indonesia.
Standar ISO 11219 lebih
ketat lagi. Karena mencakup aspek teknis, seperti keamanan dan keselamatan
sistem, pembebanan lantai, sistem transportasi, kondisi akustik ruangan, sistem
pencahayaan agar nyaman bagi pembaca,serta kabel dan masalah konstruksi
yang mesti bebas hambatan dan berkelanjutan.
Sudah sepatutnya bencana
alam, seperti banjir yang bisa datang kapan saja, diantisipasi dengan membangun
gedung perpustakaan yang layak, artistik, dan membanggakan.
Pemerintah, sebagaimana
harapan Gubernur Sulawesi Selatan, mesti menjadikan gedung perpustakaan sebagai
sarana layanan publik yang nyaman di setiap kabupaten/kota. Gedung-gedung
perpustakaan tersebut, sebaiknya didesain untuk meminimalisasi kemungkinan
terburuk akibat bencana alam, baik itu banji atau gempa.
Lihat saja,
perpustakaan-perpustakaan dunia yang mampu bertahan, salah satunya Perpustakaan
Al-Qarawiyyin di Maroko yang oleh Unesco disebut sebagai perpustakaan tertua di
dunia.
Perpustakaan yang masih
berjalan sejak dibuka pertama kali ini, dibangun oleh seorang perempuan sarjana
progresif muslim bernama Fatima al Fihri, pada tahun 859.
Upaya membangun gedung
perpustakaan yang kokoh dan memadai, tak lain untuk menyelamatkan dokumen
sejarah dan pemikiran-pemikiran yang berguna bagi keberlangsungan peradaban
manusia.